Anger Management or a Higher Education

Tadi malam saya melihat rekaman video yang dibuat wartawan televisi swasta untuk siaran berita. Kerusuhan, begitu definisi yang diberikan, pada kejadian yang tidak singkat namun hanya ditampilkan sebagian saja oleh televisi tersebut.

Di Bojong, Bogor, calon tempat pembuangan sampah baru bagi 2000 ton sampah dari ibukota dan dari Bogor sendiri, beberapa lelaki (yang mungkin saja warga setempat yang tidak rela rumahnya kebauan sampah) melakukan semacam protes. Lalu pecahlah "kerusuhan" dimana polisi tampak berlarian mengejar massa yang semburat lari dihiasi dengan ledakan tembakan, entah kemana dibidikkan, ke angkasa, ke tanah, atau ke badan manusia. Beberapa orang terkejar dan tertangkap dan lalu menjadi sasaran tendangan dan tonjokan (bukan sekedar pukulan biasa) dengan berbagai alat bantu yang tersedia bagi para penegak keamanan dan keadilan tersebut; tongkat kayu, pentungan, sepatu boots yang dari kejauhan saja terlihat sungguh perkasa, dan tameng-tameng juga. Menurut mbak pembaca berita, 14 orang harus dirawat di rumah sakit akibat luka parah. Beberapa gambar menunjukkan kepanikan dan kesedihan "para perusuh", ada yang digotong oleh kawan-2nya dengan kaki berlumuran darah. Asumsi muncul bahwa itu salah satu hasil latihan di lapangan tembak selama akademi kepolisian. Jitu kena sasaran.

Lalu saya merasa marah.Tadinya terkejut, lantas kesal luar biasa, lantas saya marah. Ngomel-ngomel selama limabelas menit sebelum akhirnya saya menyadari gerundelan itu kurang ada gunanya karena toh memang tak akan mengubah fakta bahwa "kerusuhan" telah terjadi, "tindak kekerasan aparat" juga telah terjadi.

Adalah wajar bagi warga Bojong tersebut untuk melakukan protes. Sekarang coba bayangkan, tetangga anda sebelah rumah tiba-tiba buang sampah di teras rumah. Reaksi anda mungkin akan mendatangi tetangga tersebut dengan sampah yang telah mereka buang dan menanyakan sebab musabab sampah rumah tangganya mendarat di kediaman anda. Kalau si tetangga tidak mau menjawab dan mungkin bersikukuh bahwa adalah hak dia untuk buang sampah di teras rumah anda, pasti anda jadi kesal. Bahkan mungkin marah. Anda akan berpikir si tetangga itu kurang ajar dan tidak tahu aturan. Nah masalah di Bogor ini lebih kompleks. Tetangga tersebut adalah pemerintah dan sampahnya adalah produksi wilayah Jabotabek yang penduduknya lebih 10 juta. Anda mau protes dan mendatangi siapa dengan membawa sekian banyak sampah itu?

Kemarahan penduduk Indonesia biasanya ditunjukkan dengan cara yang sedikit kurang beradab. Pernah suatu ketika seseorang marah karena sanak keluarganya baru saja meninggal dan diyakini oleh sebab-sebab yang tidak dapat dijelaskan. Kebetulan almarhum memiliki masalah dengan seorang nenek A yang umurnya sudah renta dan tinggal sendirian. Nenek ini agak nyentrik mungkin dan di mata keluarga almarhum dia tidak ada bedanya dengan mak lampir. Maka dengan marah mereka mendatangi si nenek, mendampratnya. Si nenek mungkin merasa tidak bersalah, nyawa itu kan urusan Tuhan, jadi si nenek pasti juga jadi marah. Karena merasa si nenek A ini ingkar, maka keluarga almarhum menghajarnya dan menyulut si nenek dengan api. Biar saja, biar dia tidak mengguna-gunai orang lain, begitulah keputusannya. Ingkar tidak ingkar nenek itu pasti akan mati karena nyawa balas nyawa.

Di Indonesia praktik ilmu gaib masih sangat dahsyat, tindakan ini masih sering terdengar terjadi. Hukum jelas tidak bisa membantu, bagaimana caranya membuktikan terjadinya pengguna-gunaan gaib ini? Kalau kasus foto porno digital masih bisa dilacak dari mana dibuatnya, oleh siapa, pada jam berapa. Tapi kalau kasus muntah paku payung berkarat, darimana asalnya benda itu bisa masuk lambung orang? Sementara di kitab hukum yang warisan Belanda itu, paling-paling hanya bisa dijerat menggunakan pasal "Perbuatan Tidak Menyenangkan", dan ditambah pembunuhan terencana kalau korban terlanjur tewas. Itu juga kalau bisa dibuktikan. Di lain kasus sekolompok pemuda merasa marah karena tim kesayangan mereka kalah dalam sebuah pertandingan sepoakbola antar kota. Dalam perjalanan pulang ke rumah mereka lalu merusak segala macam bentuk benda yang ditemui di jalan, terutama yang memiliki tanda bahwa benda itu berasal dari kota tempat tim yang menang.

Dalam hal kejadian bentrok antara aparat dan warga yang berunjuk rasa di Bojong tersebut, ada sesuatu yang cukup aneh bila dipikirkan benar-benar. Aparat keamanan dimaksudkan untuk menjaga keamanan. To serve and to protect, istilah kerennya begitu. Mereka ada agar rakyat merasa aman dari gangguan. Tetapi dalam prakteknya to serve and to protect ini diterapkan tetapi objek yang dilayani dan dilindungi adalah bukan masyarakat.

Terpilih untuk menjadi pahlawan orang banyak yang berhak menggunakan seragam dan menenteng senjata dan bahkan mungkin juga license to kill, atau ijin untuk membunuh tentunya seorang harus melewati berbagai ujian. Setelah lulus terpilih masuk ke dalam akademi kepolisian juga tentunya mereka dididik keras karena harusnya para pelindung keamanan ini adalah para ksatria terpilih. Tapi yang tertangkap oleh kamera dan disiarkan di siaran berita tersebut adalah bukan sekelompok ksatria pelindung rakyat tetapi lebih kepada sekelompok preman berseragam yang sedang ngamuk.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh "oknum" adalah bukan berita yang baru di Indonesia. Bahkan antara kesatuan ksatria juga seringkali terjadi bentrokan dan kekerasan. Ternyata menjadi ksatria tidak berarti mereka luput dari ledakan kemarahan yang kurang beradab. Karena begitu banyak kasus pelanggaran HAM dan kekerasan tak berujung pangkal yang terjadi di antara para "oknum", ada baiknya kesatuan para ksatria pelindung rakyat Republik Indonesia mulai memikirkan sebuah program khusus berupa "anger management" atau manajerial kemarahan. Dengan program ini, seseorang "oknum" dapat belajar untuk mengatasi rasa marahnya, mengekspresikannya dengan sehat dan tidak merugikan orang lain. Rasa marah itu hendaknya diolah secara positif dan produktif. Nah dengan anger management ini tentunya toh lembaga penegak hukum ketertiban dan ketentraman bermasyarakat justru akan untung besar, selain produksi "oknum" dari lembaga tersebut berkurang, nama dan reputasi lembaga tersebut akan pulih.

Atau kemungkinan lain adalah dengan meningkatkan standar kelayakan untuk menjadi seorang penegak hukum ketertiban dan ketentraman bermasyarakat. Setiap calon ksatria pembela rakyat harusnya pernah mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang hukum atau sosial dan kebudayaan. Dengan demikian tingkat pemahaman dan pengertian akan situasi yang dihadapi lebih tinggi, lebih tidak emosional karena lebih kepada rasional, serta simpatik menawan.

Tapi entahlah, karena tampaknya dua usulan program ini kemungkinan akan menelan biaya yang banyak, mungkin nasib Republik Indonesia masih harus menunggu datangnya sang ratu adil, yang konon bijaksana dan berwawasan luas. Mungkin seratus tahun lagi?

Senin, 06 Desember 2004, 14:54:46

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa