Mencegah Celaka di Dalam Bioskop (bagian 1)
Bahkan sebelum terjadi pengaturan keuangan yang cukup ketat seperti akhir-akhir ini, saya sebetulnya sudah mulai pilah-pilih kalau harus mengeluarkan uang untuk film atau buku. Saya pernah beberapa kali membuang buku karena isinya menurut saya tidak bisa dibaca. Membuang secara harafiah, ke tempat sampah. Kalau buku yang masih bisa dibaca isinya tapi ternyata bukan selera saya, nasibnya lebih baik: berpindah tangan ke orang lain. Saya pernah menulis tentang langkah-langkah memilih sebelum membeli buku, klik langsung saja di sini.
Perlakuan pada film hampir sama. Saya berpikir dua kali untuk nonton film di Bioskop, berpikir tiga kali untuk membeli dvd bajakannya, dan empat kali lipat untuk membeli dvd aslinya. DVD bajakan biar kata murah dan ukurannya nggak makan tempat kayak Kaset video VHS atau Betamax, tapi kalau didiamkan lama-lama numpuk bisa jadi banyak juga. Percuma beli dvd bajakan atau asli kalau ditonton hanya satu kali. Saya cuma mau membeli DVD film yang kira-kira akan saya tonton lebih dari satu kali, misalnya film animasi Studio Ghibli.
Tidak satu-dua kali saya masuk ke dalam bioskop, duduk di dalam kegelapan yang sejuk, dan menahan mengumpat terlalu kencang selama 1.5 - 3 jam karena ternyata filmnya butut. Kalau nonton DVD masih bisa saya fast-forward, atau saya matikan sekalian dan berharap si tukang dvd mengizinkan saya menggantinya dengan judul lain. Amin.
re·sen·si /résénsi/ n pertimbangan atau pembicaraan tt buku; ulasan buku (Sumber: KBBI Daring)
dan
rang·kum·an kl n 1 pelukan; 2 ringkasan; ikhtisar (dr uraian) dsb (Sumber: KBBI Daring)
adalah dua hal yang berbeda. Entah kenapa sewaktu pelajaran dasar Bahasa Indonesia selama sekolah, kedua istilah ini menjadi rancu. Setidaknya itulah yang saya alami. Ketika guru Bahasa Indonesia kesayangan saya di SMA menugaskan kami menulis resensi dan bukan rangkuman, barulah sebagian besar murid di kelas menyadari bahwa kedua mahluk itu berbeda sifat.
Rangkuman hanyalah ikhtisar, sedangkan resensi berisi ulasan yang artinya ada semacam opini subjektif dari penulis resensi tersebut; apakah objek yang diresensi ini bagus atau tidak, tentu saja disertai alasan dan argumen penjelas. Kadang-kadang resensi dapat ditemukan dengan nama pop-nya: REVIEW.
Lalu ada lagi mahluk lain yang serupa tapi tak sama:
si·nop·sis n ikhtisar karangan yg biasanya diterbitkan bersama-sama dng karangan asli yg menjadi dasar sinopsis itu; ringkasan; abstraksi (Sumber: KBBI Daring)
Ketiga mahluk ini dapat digunakan untuk memutuskan apakah akan menonton film itu di bioskop, ataukah cukup membeli dvd-nya saja. Biasanya ketiganya dapat ditemukan di media massa, atau di website jaringan bioskop yang menayangkan filmnya. Di Indonesia baru ada dua jaringan bioskop, 21cineplex dan blitzmegaplex.
Kadang-kadang di televisi atau di internet ada trailer alias potongan film yang bisa dilihat. Namanya juga iklan, trailer film seringkali dirancang sedemikian memikat sampai terlihat lebih keren atau malah gagal dirancang sehingga jadi lebih buruk dari filmnya sendiri. Menurut saya, memutuskan ingin menonton film hanya berdasarkan trailer-nya bisa cukup menjebak. Saya pernah terjebak tidak menonton film karena keburu males melihat trailernya, dan pernah juga terjebak menonton sampah karena trailernya bagus sekali.
BACA! berburu sinopsis dan resensi di internet atau media masa adalah cara yang baik untuk mendapatkan informasi apakah film bersangkutan kira-kira cukup oke untuk ditonton.
Kalau ternyata informasi mengenai film tersebut minim, sementara hati penasaran ingin menonton, gunakanlah metode yang pernah saya gunakan ini: mengajak teman yang cukup seru untuk nonton bersama. Metode ini sudah terbukti sukses berkali-kali, termasuk waktu saya harus nonton film yang memiliki potensi memicu pendarahan dan muntaber.
Jadi, ingatlah wahay para pria, wanita, muda-mudi maupun manula, jika hendak menonton film di bioskop, baik dibayarin maupun bayar sendiri, baik bersama pacar, anak, keluarga, teman, ataupun sendiri, janganlah menjadi yang semacam ILNS. Apakah ILNS itu? Silahkan klik di sini untuk membaca contoh kasus ILNS.
Lakukan langkah sebagai berikut:
1. Lihat posternya.
2. Cari dan baca sinopsis, resensi, atau reviewnya.
3. Lihat trailernya.
Tiga langkah sederhana itu sudah cukup. Sesudah tiga langkah sederhana ini, kalau rasanya filmnya gak asik, atau gak sreg, jangan dipaksakan. SEKALI LAGI! JANGAN DIPAKSAKAN!
Terima kasih telah membaca postingan ini, dan semoga bisa diterapkan dalam kehidupan bernonton film sehari-hari.
Comments
1. nope I can't remeber. TAPI bukunya tebal, genre filosofi dan saya buang setelah dua lembar karena terjemahannya jelek sekali. Tidak mungkin dibaca! Padahal waktu itu saya ingat betul harganya berapa ... 45 ribu. Talkabout fugged yes.
2. Buku ciklit, penulisnya orang Indonesia. Kayaknya resensinya pun saya unggah di goodreads, berakhir tragis karena cuma halaman sekian, terus berhenti baca karena cape. oh, untungnya yang ini gak beli, tapi minjem. Kalau beli.. beeeeuuhh.....
3, can't remember the other 2-3 .
begitulah. :D
masih banyak kok yang bisa dinikmati, kenapa menghabiskan waktu menciptakan wasir?
aku nggak banyak nonton di bioskop nih hehee