Metropolis, Penuh Misteri, Tersusun Rapi
Inilah dia novel kedua Windry Ramadhina setelah romansa sederhana dalam novel debutnya dulu yang berjudul Orange.
Metropolis sesungguhnya adalah karya yang lebih kuat, dan tentunya mengejutkan pembaca yang sudah pernah membaca Orange. Penyebabnya antara lain karena perubahan genre yang dapat dikategorikan drastis; dari romansa nyaris remaja ke genre kriminal yang lebih dewasa.
Saya merasa senang karena sekali lagi Windry menggunakan petilan dari plot cerita Metropolis sebagai kunci pemikat di sampul belakang novel ini, tidak sekedar umbar endorsement dari rekan penulis seperti strategi penulis pada umumnya. Sayangnya, dibandingkan dengan kunci pemikat Orange, petilan plot Metropolis yang ini kurang menarik sebenarnya sebagai kunci pemikat calon pembeli (dan pembaca) novel ini. Saya pernah membaca bab pertama Metropolis yang sengaja Windry lepas ke publik melalui web blog pribadinya, dan terus terang bab pertama itulah yang meyakinkan saya untuk rela membeli novel kedua Windry ini, yang harganya juga lumayan lebih mahal dari Orange.
Ya! Bab pertama! Karena saya orang yang sesungguhnya pelit untuk mengeluarkan uang membeli buku, langkah-langkah yang saya lakukan sebelum memutuskan untuk membeli adalah:
- 1. Membaca kunci pemikat di bagian belakang sampul buku tersebut. Jika penulisnya asing bagi saya alias saya tak pernah tahu kualitas tulisannya, strategi endorsement, sekalipun dari tokoh Sastra yang mumpuni, tidak akan membeli simpati saya. Biasanya novel yang hanya mengandalkan endorsement untuk memikat perhatian akan langsung saya lewatkan. Jika berbentuk sinopsis, dan menarik, maka saya akan mengambil langkah kedua, yaitu
- 2. Membaca bab pertama. Sebetulnya dari dua-tiga paragraf awal biasanya sudah ketahuan apakah novel tersebut akan menarik atau tidak untuk dibaca. Kalau sampai lebih 2 halaman saya baca cepat dan saya tidak merasa ingin tahu kelanjutannya, maka saya akan menaruh kembali buku itu di rak dan pindah ke buku lainnya.
- 3. Jika halaman pertama buku itu menarik, tetapi agak lamban atau rasanya kurang sreg, saya akan secara acak membuka halaman tengah buku tersebut dan membaca satu halaman. Sesudahnya, jika ternyata timbul rasa ingin tahu saya akan plot yang terlewat , dan juga plot berikutnya, maka buku itu menjadi layak untuk dipertimbangkan dibeli.
Tetapi apa yang terjadi dengan Metropolis? Bab pertamanya berjudul Kematian Leo Saada, dan paragraf pertamanya sangat menarik dan kuat menurut saya:
Hari ini Leo Saada dikembalikan ke bumi. Jasadnya yang digosongkan api disembunyikan di dalam peti kayu, lalu diarak dari sebuah gereja kecil di daerah pinggiran Jakarta ke pemakaman pribadi milik keluarga Saada. Pemakaman Leo dipimpin seorang pastor tua yang pantas dikuburkan lebih dahulu, Seluruh keluarganya yang tamak menyaksikan, begitu pula teman-teman terdekatnya yang gemar berutang, relasi-relasi bisnis, dan anggota geng yang Leo pimpin sebelum mati.
Dahsyat betul! Hanya dari satu paragraf itu sudah tersedia begitu banyak bibit intrik dan konflik, narasinya demikian serius, nuansa yang timbul berkesan begitu kelam, pembaca jadi ingin tahu lebih banyak kisah di balik nama Leo Saada dan kematiannya.
Jujur saja, sedikit sekali isi rak buku populer-kontemporer, yang ditulis oleh orang Indonesia, dalam jaringan toko buku terbesar di Indonesia, yang memiliki paragraf pembuka sekuat ini.
Baiklah, mari kita lanjutkan, apakah jalinan plotnya semenarik yang dikesankan oleh paragraf pertama yang digdaya ini? Apakah isi buku ini akan serapi paragraf pertamanya?
Segera pembaca dikenalkan pada tokoh utama Metropolis, seorang perwira kepolisian RI dari Reserse Narkotika, bernama Agusta Bram. Lebih akrab dipanggil Bram. Sepanjang cerita, pembaca akan mengikuti upaya Bram memecahkan kasus kematian Leo Saada yang ternyata berkaitan dengan sepak terjang sebuah jaringan kejahatan terorganisir yang menguasai Jakarta.
Leo adalah bagian dari 12 bos besar mafia kejahatan yang menguasai wilayah-wilayah Jakarta yang luas. Nampaknya satu per satu bos-bos mafia ini mati dibunuh. Pertanyaannya adalah, siapa orang di balik rentetan pembunuhan ini, dan apa motifnya? Apakah sekedar perebutan kekuasaan biasa, ataukah ada hal lain yang menyebabkan equilibrium dunia hitam Jakarta tersebut terganggu?
Dalam upayanya menelusuri jejak-jejak petunjuk Bram pun membawa pembaca mengenal satu tokoh kunci bernama Miaa, perempuan muda yang tadinya dengan misterius selalu terlihat di setiap lokasi kejahatan.
Lalu dari Miaa, pembaca pun menelusur jejak misteri pada seorang lagi tokoh utama kedua, pemuda yang dari deskripsinya segera mengingatkan pada karakter dalam cerita manga bergenre kriminal dan misteri berjudul Death Note.
Johan Al nama tokoh itu, begitu rapuh dan misterius, selalu tersembunyi di belakang layar, dan dengan segera dapat ditebak apa perannya dalam serangkaian kejadian kriminal yang sedang ditangani Bram. Tidakkah ia mirip L, protagonis dalam Death Note? Ia protagonis tetapi juga tidak putih. Dalam Metropolis Johan adalah kebalikan L, dia antagonis tetapi juga tidak hitam. Ah, nama belakangnya saja Al, hampir seperti… yah… El. :D
Windry menggunakan semacam teka-teki berbentuk kode urutan pembunuhan untuk merajut plot di antara Bram dan Johan (dengan Miaa di tengah-tengah), tapi teka-teki ini terasa lemah daya gunanya karena kemudian pudar fungsinya begitu tokoh Johan diperkenalkan kepada pembaca.
Tapi terlepas dari itu, sampai dengan pertengahan novel, plot misteri terjalin cukup lancar, menggelitik rasa penasaran dan menimbulkan ketegangan malah, ketika si pembunuh bayaran yang seperti ninja sakti menghabisi satu-persatu incarannya sesuai urutan.
Di tengah buku, rajutan plot berpindah pusat pada sebuah klab malam bernama Metropolis, yang saya rasa diambil cetak birunya dari sebuah klab hiburan malam yang sungguh-sungguh ada di daerah Jakarta Pusat, dekat Sudirman-Thamrin. Di Metropolis inilah semua kunci jawaban berbagai misteri yang dirajutkan Windry dalam plot novel ini akan bertemu dan bermuara
Karena sang antagonis yang jauh lebih simpatik daripada tokoh protagonisnya sudah diperkenalkan dari pertengahan buku, fokus plot pun bergeser tidak lagi pada kasus pembunuhan bos-bos mafia. Cerita menjadi berfokus pada pertarungan secara tidak langsung antara dua tokoh utama Metropolis; Bram berusaha menangkap basah dan menghentikan Johan, sementara Johan memburu waktu untuk menyelesaikan “misi”nya.
Beberapa tokoh kunci lainnya dimunculkan, uniknya hampir semuanya perempuan, memberikan lebih banyak penjelasan tentang asal-usul Johan Al dan alasan di balik rancangan yang sedemikian rumit di balik pembunuhan bos-bos besar Sindikat 12.
Dalam Metropolis diberikan juga berbagai puntiran dalam plot, misalnya cerita tokoh Miaa, yang walaupun sudah bisa tertebak semenjak bab 6, tetapi tetap dapat diceritakan dengan baik oleh Windry hingga 5 bab berikutnya saat akhirnya puntiran tersebut dijabarkan dengan jelas.
Kesinambungan plot tetap terjaga, meskipun alurnya yang maju mundur dan berpindah sudut pandang dari satu tokoh ke tokoh lain. Demikian pula dengan ritme dan jeda adegan-adegan dalam plot cerita. Windry sepertinya memiliki kepekaan yang cukup baik dalam merangkai adegan. Deskripsinya dengan lancar membuat pembaca Metropolis bagaikan sedang menonton sebuah film.
Hanya saja sepertinya ada beberapa detil kecil yang terlewat, misalnya di halaman 123, saat Windry memberikan lebih banyak deskripsi tentang penampilan fisik Johan Al dari pandangan mata Miaa:
Kulitnya bersih dan betul-betul pucat seolah-olah dia jarang terkena matahari. Tubuhnya ramping. Rambutnya agak panjang serta kecoklatan karena dicat.
Entah Miaa tahu dari mana bahwa rambut coklat Johan adalah karena dicat jika ia tidak pernah melihat pembanding kondisi Johan sebelumnya. Jikalau ini hanyalah asumsi Miaa, karena deskripsi ini dari sudut pandang dia, tetap rasanya janggal saat dibaca.
Dalam rajutan plot Metropolis, Windry juga memberikan tokoh antagonis bayangan yang baru dijabarkan menjelang akhir cerita, yang sebetulnya bisa dibilang adalah penggerak utama keseluruhan plot Metropolis. Sayangnya plot misteri yang berujung pada antagonis bayangan ini agak kedodoran, seperti pada petunjuk pamungkas yang diberikan Windry baik kepada Bram dan pembaca yang menunjuk kepada identitas asli si antagonis bayangan ini.
Secara keseluruhan Metropolis sangat menarik sebagai sebuah buku bergenre misteri-kriminal. Plot kriminalnya benar-benar disusun serapi mungkin, tak diragukan lagi pasti didasarkan pada riset yang serius. Chemistry dan dialog di antara karakternya terasa nyata, ya, ya, semua karakter dalam Metropolis terasa 3 dimensi, masing-masing memiliki suara yang unik, dan jelas diperhitungkan dengan baik porsi peran dan waktu pemunculannya. Bisa dibilang tidak satupun karakter dalam buku ini yang sia-sia.
Dinamika konflik sepanjang buku terjaga konsistensinya, sangat nyaman untuk dibaca terus-menerus dari awal hingga akhir. Pilihan katanya juga tidak terlalu rumit (walau ada beberapa yang sempat saya garis bawahi, misalnya penggunaan istilah pesakitan dalam deskripsi kondisi fisik Johan Al) sehingga imajinasi pembaca mengalir lancar seiring narasi cerita. Ada banyak kekerasan dan darah yang tumpah dalam cerita ini, tetapi tidak digambarkan dengan vulgar (sekali lagi, ini pasti karena kepekaan visual Windry saat menyusun adegan). Begitupun adegan-adegan romantis yang sedikit disisipkan sebagai penurun tegangan dalam buku, tidak terasa berlebihan, tapi tetap kental rasa manisnya.
Saya pribadi sangat menyukai bahwa benang merah sekaligus premis utama di sepanjang buku ini, tetap terjaga; tentang dendam atas kematian ayah. Saya juga sangat menikmati adegan-adegan telepon dengan pembicara misterius di ujung sana, hampir selalu suara lelaki.
Di klimaks cerita, Windry memberikan yang diinginkan pembaca, jumpa muka antara kedua tokoh utama dalam sebuah konflik fisik yang menegangkan, dan berujung pada satu pilihan: yang mana yang harus mati?
Untuk akhir plot, Windry kembali melakukan pekerjaan yang sangat rapi. Lihatlah kisah ini, berawal di kuburan, ditutup juga di kuburan. Kuburan siapa?
Tidak ada ruginya membeli dan membaca buku ini untuk mengetahuinya, karena Metropolis cukup layak dijadikan koleksi. Tiga ratus tiga puluh halaman cerita yang layak mendapatkan pujian.
Catatan Tambahan: Buku ini termasuk dalam materi lomba resensi dalam rangkaian acara Perkosakata 2009.
Comments