Lost in Love, Kehilangan Cinta?
Lost in Love ini adalah film Indonesia untuk remaja bergenre drama asmara. Skenarionya diadaptasi dari novel berjudul sama yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2006 dalam bentuk E-Book. Baik versi novel maupun versi filmnya merupakan terusan dari Eiffel I'm in Love yang novelnya diadaptasi ke dalam bentuk film dengan judul sama oleh Soraya Intercine pada tahun 2004. Latar belakang lebih canggih sudah pernah dibahas. Silahkan intip.
Plot ceritanya kurang lebih begini: Lanjutan dari cerita sebelumnya, Adit sudah pernah melamar Tita di menara Eiffel. Kali ini Tita ke Perancis dengan ayah dan ibunya yang sibuk membuka rantai restauran masakan Indonesia. Tita masih diperlakukan seperti anak kecil oleh keluarganya, dan kemudian juga oleh Adit. Karena kesal Tita melarikan diri, atau lebih tepatnya tersesat.
Selama melarikan diri itu kesialan demi kesialan menimpa Tita. Ia juga berkenalan dengan seorang pemuda bernama Alex yang kemudian membantunya mencari jalan pulang.
Untuk meneguhkan niat saya nonton ini, saya harus membawa 2 orang teman berukuran sedang dan besar. Terbukti metode ini sukses karena saya selamat dari pendarahan dalam dengan cara mengamati mereka menggeliat tersiksa oleh film ini. Yeah.
1. Music Score dan OST: BAGUS! Lebih bagus dari film pertama yang menggunakan formula jamin sukses jaman mezoic : Melly Goeslaw. Begini deh, saya ini orang yang nggak suka musik dalam negeri. Silahkan rajam. Jadi, percayalah kalau saya bilang BAGUS, itu ikhlas.
2. Aktor: Mengecewakan
a. Pevita Pearce membuat Tita seperti mendadak mengalami kemunduran mental. Tita di Eiffel itu manja, bukan bodoh. Tita adalah narator cerita dalam film ini. Demi TUHAN! Harusnya ada semacam les bicara Bahasa Indonesia untuk Pevita sebelum shooting. Artikulasinya jelek sekali :((
b. Kevin Richard (nama depan dan nama belakang sama-sama nama depan... bingung!), oh Tuhan dia ganteng, dan dia membuat Adit nampak dewasa dan ... ganteng. Hanya saja di sini Adit nampak begitu dingin dan berjarak dengan Tita, terlalu berjarak. Interpretasi si ganteng membuat Adit terlihat terlalu tua dan tidak romantis karena TERLALU DINGIN. Jomplang dengan Adit versi Samuel yang well... kekanakan, tapi romantis. Saya ingin melihat orang ini berakting di film lain yang memberi dia lebih banyak tantangan, walaupun sungguh... BESAR sekali keraguan saya.
c. Arifin Putra sebagai Alex, kemampuan bahasanya patut diacungi jempol. Tetapi aktingnya masih terbatas pada "marah dan manyun". Semua remaja bisa melakukan marah dan manyun dengan cara berteriak-teriak, Arifin. Ini film layar lebar, bukan sinetron kejar tayang yang tidak mengizinkan rentang ekspresi emosi selain berteriak dan menangis.
d. Chrisye Subono dan Adrian Subono sebagai ibu dan kakak lelaki Tita, membuat saya empati pada karakter Tita. Pantas saja anak itu jadi bodoh dan memiliki kecenderungan bunuh diri. Mungkin kalau ada produser Indonesia yang memutuskan untuk menjiplak film Home Alone (karena mengira orang sudah lupa bahwa dulu ada film itu), mungkin Chrisye Subono cocok jadi ibunya Kevin.
e. George Rudy (baca: ge-or-ge-ru-di) sebagai Papanya Tita dan Barry Prima (baca Be-ri-Pri-ma) sebagai papanya Adit adalah aktor-aktor veteran film Indonesia walaupun genrenya terbatas silat-klenik. MEREKALAH BINTANG DALAM FILM INI. HANYA AKTING MEREKA YANG PANTAS DIRESAPI.
f. Sekelompok aktor dan aktris bule sebagai figuran, bagus-bagus aja dalam rangka figuran. Yang paling manis adalah anak Australia dalam bis. Alami sekali!
3. Plot Cerita: Membuat Eiffel I'm in Love Jadi Seakan Bagus Sekali.
a. Mencermati dialog membutuhkan kekuatan mental selain gag reflex tanpa hair trigger. Selain karena bahasa gaul masa kini yang digunakan (nothing wrong with that), artikulasi dan intonasi beberapa aktor (atau aktris) membuat rahang kaku karena mulut ternganga tidak percaya sepanjang cerita. "WHAT THE HELL!!!!!" atau "HAH?!?!?" akan sering muncul di balon dialog yang menggantung di atas kepala anda. Ya, lengkap dengan tanda baca sebanyak itu juga.
b. Dua teman saya, yang sepertinya nonton Eiffel I'm in Love lebih dari satu kali tapi kurang dari lima kali, mengatakan bahwa ada ketidaksinambungan cerita antara Lost in Love dan Eiffel I'm in Love. Poin ini bisa dibantah karena sepertinya untuk mencatat kesinambungan itu saya harus nonton Eiffel lagi (o em ji), tapi yang jelas,
c. banyak logika yang tidak masuk akal. Alex pertama-tama mengaku sebagai orang Thailand yang tidak bisa bahasa Inggris dengan baik. Tapi lalu ternyata dia adalah campuran Perancis - dan entah etnis Asia Tenggara yang mana (harus baca novelnya mungkin) YANG mampu berbahasa Indonesia dengan sama lancarnya ia berbahasa Indonesia. Kembali WHAT THE HELL!!!!! menggantung di atas kepala. Untuk ukuran orang yang lahir dan dibesarkan di Paris, perilaku Alex juga terlalu Indonesia. Untuk perbandingan, tontonlah semua film Perancis yang bisa ditemukan di Ambassador Plaza. Cowok Perancis itu sama sekali nggak kayak cowok Indonesia.
d. Logika susah masuk di akal: Uang bukan masalah bagi siapapun di film ini. Semua tokoh punya mobil pribadi walaupun biaya parkir seringkali lebih mahal dari biaya makan di Paris, bahkan keluarga Tita mempekerjakan seorang supir pribadi orang Indonesia yang hafal benar jalanan Paris! (Sungguh supir Indonesia yang canggih!) Alex sang mahasiswa, menghamburkan uang untuk mentraktir Tita beli buah di pasar seharga 4 Euro, dan dalam sebuah adegan ia tanpa ragu lompat ke dalam taksi. Sementara kita tahu, secara universal, mahasiswa dalam istilah perekonomian merujuk pada kondisi finansial yang mendekati marginal.
e. perilaku "anak-anak kedutaan (Indonesia)" digambarkan dengan baik di film ini. Satu-satunya penggambaran yang realistis sepanjang plot.
f. Penutup klise dan standar. Tita akhirnya menikah dengan Adit. Produser dan Sutradara film ini entah terlalu malas atau bokek untuk menyewa aktris lain yang mirip Pevita tapi lebih dewasa. Jadi kayak nonton film Indonesia atau film India jadul: pemeran diputihin rambutnya atau dipasangi kumis abu2 untuk menunjukkan pertambahan usia. HAHAHAH...
4. Tata suara cukup baik untuk kelasnya. Mungkin satu - dua milyar habis di sini.
5. Editing. Pikiran saya sudah terlalu kacau dan sibuk menahan gejala pendarahan dalam, saya tidak sempat memperhatikan apakah editingnya bagus atau tidak. Berhasil bertahan sampai akhir film saja sudah merupakan prestasi.
Verdict: Dua Bintang dengan komposisi sebagai berikut = 1 bintang untuk Barry Prima dan George RUdy + 1/2 untuk OST + 1/2 untuk penggambaran riil "anak-anak kedutaan Indonesia"
Ceritanya kurang romantis. Mungkin karena Rachmania Arunita sudah menjalani hidup berumahtangga dan dikaruniai seorang anak, sehingga kenyataan telah mencemari kemurnian romantisme remajanya. Ya... begadang untuk membersihkan popok isi eek bayi lembek setiap hari selama 2 tahun sudah pasti akan mencemari kemurnian romantisme wanita mana pun. Saya menunggu Rachmania Arunita meluncurkan novel fiksi semi-autobiografi tentang derita ibu rumah tangga slash wanita karir, seperti yang telah dicontohkan Asma Nadia. Paling tidak novel yang lebih dewasa. YA! BERIKAN KAMI KEKERASAN DAN HUBUNGAN BADAN!!!
Film ini kurang lebih akan memberikan penggambaran versi sangat ringan akan bagaimana gaya hidup sebagian besar remaja Indonesia jaman sekarang karena pasarnya remaja usia 12-15 tahun. Cukup berguna bagi yang memiliki anak usia tersebut untuk memahami fantasi anaknya. Kalau anak anda lebih tua, silahkan merujuk pada film-film Virgin, Buruan Cium Gue, dan ML.
Film ini bisa dijadikan referensi cara bicara dan bahasa tubuh bagi mereka yang sudah berusia lanjutan (advance class 20 - 25 tahun) tetapi masih ingin dikira usia intermediate 13 - 17 tahun.
Plot ceritanya kurang lebih begini: Lanjutan dari cerita sebelumnya, Adit sudah pernah melamar Tita di menara Eiffel. Kali ini Tita ke Perancis dengan ayah dan ibunya yang sibuk membuka rantai restauran masakan Indonesia. Tita masih diperlakukan seperti anak kecil oleh keluarganya, dan kemudian juga oleh Adit. Karena kesal Tita melarikan diri, atau lebih tepatnya tersesat.
Selama melarikan diri itu kesialan demi kesialan menimpa Tita. Ia juga berkenalan dengan seorang pemuda bernama Alex yang kemudian membantunya mencari jalan pulang.
Untuk meneguhkan niat saya nonton ini, saya harus membawa 2 orang teman berukuran sedang dan besar. Terbukti metode ini sukses karena saya selamat dari pendarahan dalam dengan cara mengamati mereka menggeliat tersiksa oleh film ini. Yeah.
1. Music Score dan OST: BAGUS! Lebih bagus dari film pertama yang menggunakan formula jamin sukses jaman mezoic : Melly Goeslaw. Begini deh, saya ini orang yang nggak suka musik dalam negeri. Silahkan rajam. Jadi, percayalah kalau saya bilang BAGUS, itu ikhlas.
2. Aktor: Mengecewakan
a. Pevita Pearce membuat Tita seperti mendadak mengalami kemunduran mental. Tita di Eiffel itu manja, bukan bodoh. Tita adalah narator cerita dalam film ini. Demi TUHAN! Harusnya ada semacam les bicara Bahasa Indonesia untuk Pevita sebelum shooting. Artikulasinya jelek sekali :((
b. Kevin Richard (nama depan dan nama belakang sama-sama nama depan... bingung!), oh Tuhan dia ganteng, dan dia membuat Adit nampak dewasa dan ... ganteng. Hanya saja di sini Adit nampak begitu dingin dan berjarak dengan Tita, terlalu berjarak. Interpretasi si ganteng membuat Adit terlihat terlalu tua dan tidak romantis karena TERLALU DINGIN. Jomplang dengan Adit versi Samuel yang well... kekanakan, tapi romantis. Saya ingin melihat orang ini berakting di film lain yang memberi dia lebih banyak tantangan, walaupun sungguh... BESAR sekali keraguan saya.
c. Arifin Putra sebagai Alex, kemampuan bahasanya patut diacungi jempol. Tetapi aktingnya masih terbatas pada "marah dan manyun". Semua remaja bisa melakukan marah dan manyun dengan cara berteriak-teriak, Arifin. Ini film layar lebar, bukan sinetron kejar tayang yang tidak mengizinkan rentang ekspresi emosi selain berteriak dan menangis.
d. Chrisye Subono dan Adrian Subono sebagai ibu dan kakak lelaki Tita, membuat saya empati pada karakter Tita. Pantas saja anak itu jadi bodoh dan memiliki kecenderungan bunuh diri. Mungkin kalau ada produser Indonesia yang memutuskan untuk menjiplak film Home Alone (karena mengira orang sudah lupa bahwa dulu ada film itu), mungkin Chrisye Subono cocok jadi ibunya Kevin.
e. George Rudy (baca: ge-or-ge-ru-di) sebagai Papanya Tita dan Barry Prima (baca Be-ri-Pri-ma) sebagai papanya Adit adalah aktor-aktor veteran film Indonesia walaupun genrenya terbatas silat-klenik. MEREKALAH BINTANG DALAM FILM INI. HANYA AKTING MEREKA YANG PANTAS DIRESAPI.
f. Sekelompok aktor dan aktris bule sebagai figuran, bagus-bagus aja dalam rangka figuran. Yang paling manis adalah anak Australia dalam bis. Alami sekali!
3. Plot Cerita: Membuat Eiffel I'm in Love Jadi Seakan Bagus Sekali.
a. Mencermati dialog membutuhkan kekuatan mental selain gag reflex tanpa hair trigger. Selain karena bahasa gaul masa kini yang digunakan (nothing wrong with that), artikulasi dan intonasi beberapa aktor (atau aktris) membuat rahang kaku karena mulut ternganga tidak percaya sepanjang cerita. "WHAT THE HELL!!!!!" atau "HAH?!?!?" akan sering muncul di balon dialog yang menggantung di atas kepala anda. Ya, lengkap dengan tanda baca sebanyak itu juga.
b. Dua teman saya, yang sepertinya nonton Eiffel I'm in Love lebih dari satu kali tapi kurang dari lima kali, mengatakan bahwa ada ketidaksinambungan cerita antara Lost in Love dan Eiffel I'm in Love. Poin ini bisa dibantah karena sepertinya untuk mencatat kesinambungan itu saya harus nonton Eiffel lagi (o em ji), tapi yang jelas,
c. banyak logika yang tidak masuk akal. Alex pertama-tama mengaku sebagai orang Thailand yang tidak bisa bahasa Inggris dengan baik. Tapi lalu ternyata dia adalah campuran Perancis - dan entah etnis Asia Tenggara yang mana (harus baca novelnya mungkin) YANG mampu berbahasa Indonesia dengan sama lancarnya ia berbahasa Indonesia. Kembali WHAT THE HELL!!!!! menggantung di atas kepala. Untuk ukuran orang yang lahir dan dibesarkan di Paris, perilaku Alex juga terlalu Indonesia. Untuk perbandingan, tontonlah semua film Perancis yang bisa ditemukan di Ambassador Plaza. Cowok Perancis itu sama sekali nggak kayak cowok Indonesia.
d. Logika susah masuk di akal: Uang bukan masalah bagi siapapun di film ini. Semua tokoh punya mobil pribadi walaupun biaya parkir seringkali lebih mahal dari biaya makan di Paris, bahkan keluarga Tita mempekerjakan seorang supir pribadi orang Indonesia yang hafal benar jalanan Paris! (Sungguh supir Indonesia yang canggih!) Alex sang mahasiswa, menghamburkan uang untuk mentraktir Tita beli buah di pasar seharga 4 Euro, dan dalam sebuah adegan ia tanpa ragu lompat ke dalam taksi. Sementara kita tahu, secara universal, mahasiswa dalam istilah perekonomian merujuk pada kondisi finansial yang mendekati marginal.
e. perilaku "anak-anak kedutaan (Indonesia)" digambarkan dengan baik di film ini. Satu-satunya penggambaran yang realistis sepanjang plot.
f. Penutup klise dan standar. Tita akhirnya menikah dengan Adit. Produser dan Sutradara film ini entah terlalu malas atau bokek untuk menyewa aktris lain yang mirip Pevita tapi lebih dewasa. Jadi kayak nonton film Indonesia atau film India jadul: pemeran diputihin rambutnya atau dipasangi kumis abu2 untuk menunjukkan pertambahan usia. HAHAHAH...
4. Tata suara cukup baik untuk kelasnya. Mungkin satu - dua milyar habis di sini.
5. Editing. Pikiran saya sudah terlalu kacau dan sibuk menahan gejala pendarahan dalam, saya tidak sempat memperhatikan apakah editingnya bagus atau tidak. Berhasil bertahan sampai akhir film saja sudah merupakan prestasi.
Verdict: Dua Bintang dengan komposisi sebagai berikut = 1 bintang untuk Barry Prima dan George RUdy + 1/2 untuk OST + 1/2 untuk penggambaran riil "anak-anak kedutaan Indonesia"
Ceritanya kurang romantis. Mungkin karena Rachmania Arunita sudah menjalani hidup berumahtangga dan dikaruniai seorang anak, sehingga kenyataan telah mencemari kemurnian romantisme remajanya. Ya... begadang untuk membersihkan popok isi eek bayi lembek setiap hari selama 2 tahun sudah pasti akan mencemari kemurnian romantisme wanita mana pun. Saya menunggu Rachmania Arunita meluncurkan novel fiksi semi-autobiografi tentang derita ibu rumah tangga slash wanita karir, seperti yang telah dicontohkan Asma Nadia. Paling tidak novel yang lebih dewasa. YA! BERIKAN KAMI KEKERASAN DAN HUBUNGAN BADAN!!!
Film ini kurang lebih akan memberikan penggambaran versi sangat ringan akan bagaimana gaya hidup sebagian besar remaja Indonesia jaman sekarang karena pasarnya remaja usia 12-15 tahun. Cukup berguna bagi yang memiliki anak usia tersebut untuk memahami fantasi anaknya. Kalau anak anda lebih tua, silahkan merujuk pada film-film Virgin, Buruan Cium Gue, dan ML.
Film ini bisa dijadikan referensi cara bicara dan bahasa tubuh bagi mereka yang sudah berusia lanjutan (advance class 20 - 25 tahun) tetapi masih ingin dikira usia intermediate 13 - 17 tahun.
Comments