Petualangan di Halaman Belakang: Pahe Komplit Istimewa bagian 2
Di puncak gunung Langgeran, pukul 7 malam arang yang kami bawa mulai dibakar hingga menyala bara. Menu makan malam kami adalah ayam bumbu masala, jagung, terong dan singkong. Semuanya dipanggang di atas bara.
Sesudah perut kenyang, kami bernyanyi-nyanyi menunggu saat tepat menyalakan api unggun. Saat itu rombongan lain datang dalam kegelapan. Rombongan yang isinya mungkin delapan orang dengan satu tenda dan satu hammock. Saya tidak bisa melihat mereka dengan jelas, hanya mendengar dari suaranya sepertinya ada beberapa peserta cewek. Sementara mereka sibuk mendirikan tenda dalam kegelapan dan cahaya senter, kami sibuk berusaha menyalakan api unggun.
Duduk melingkar sambil bernyanyi-nyanyi, mulai dari lagu yang tidak jelas sampai lagu yang itu-itu saja, kegiatan klasik perkemahan ini berakhir jam duabelas. Saya sendiri sudah keok di dalam tenda mulai dari jam 11, dan terbangun jam setengah dua karena kebelet pipis dan mendengar betapa berisiknya tetangga kami itu. Mereka tidak membawa gitar sehingga tidak bisa gonjrang-gonjreng seperti kami tadi, tapi berisik yang kami lakukan 4-5 jam lalu baru mereka lakukan pukul setengah dua pagi. Alangkah cerdasnya.
Saya harus pipis di semak. Tapi prinscarming sudah tidak bisa diganggu gugat di dalam sleeping bag. Untunglah nona E terbangun karena berisiknya tetangga kami, dan bersedia menemani saya buang hajat. Di tengah-tengah buang hajat itu saya mendengar suara orang dari arah jalan setapak. Perasaan saya tidak enak. Buru-buru saya selesaikan itu hajat dan kembali ke tenda. Tak sampai lima langkah saya pergi dari lokasi perhajatan, muncullah orang-orang yang saya dengar suaranya tadi, mereka melewati semak hajat saya. Memakai headgear yang sungguh terang, rasanya seperti bertemu dengan rombongan alien di film fiksi ilmiah yang menegangkan. MENEGANGKAN karena seandainya tadi saya tidak buru-buru mereka pasti akan menangkap basah saya dengan lampu sorot yang terang itu. AMITAMIT!
Dalam pikiran saya, oh sungguh aneh naik ke atas malam-malam begini. Saat terang saja licinnya sudah luar biasa, apalagi kalau harus melewati medan semacam itu malam-malam. Nehi.
Untuk mengobati keterkejutan saya yang nyaris tertangkap basah, saya duduk-duduk bersandar di bebatuan, melihat langit yang cerah sekali malam itu. Setelah melihat dua bintang jatuh, saya memutuskan untuk berusaha tidur lagi saja.
Saya bangun terlambat. Tidak bisa melihat matahari terbit, kehabisan mi instan seduh dan air panas. Saya akhirnya ketemu dengan rombongan yang naik jam 2 pagi dan nyaris memergoki perhajatan saya itu. Mereka berempat, dan sempat mampir pinjam kompor ke tenda kami karena kompor yang mereka bawa tidak bisa dinyalakan.
Setelah puas berfoto-foto, kami kembali ke tenda, merasakan cuaca semakin gerah, dan dengan segera memutuskan: MARI KE PANTAI!
Ngrenehan seharusnya hanya satu jam perjalanan dari situ. Di Ngrenehan bisa berenang dan bisa makan ikan. Buru-buru kami rapikan tenda, rapikan sampah, dan turun.
Ohiya, sudah tahu kan kalau saya vertigo? Naik, walaupun licin, lebih gampang daripada menuruni medan yang licin sambil menahan rasa takut ketinggian. Memang perjalanan turun lebih cepat, tapi tidak lebih mudah. Kali ini saya tidak bisa menahan diri, mengumpat-umpat sepanjang jalan turun. Prinscarming dengan sabar menunggui saya yang merambat turun sambil misuh-misuh. Orang lain butuh waktu 15 menit, saya butuh waktu 40 menit. Untung saya nggak pakai bonus jatuh seperti Nona E. Kalau pakai bonus jatuh saya pasti misuh lebih panjaaaaang... dan laaamaaaa...
Sepanjang perjalanan turun kami berpapasan dengan rombongan lain yang baru mulai naik ke atas. Anak-anak kecil usia SD-SMP naik ke atas dengan lincah dan cepat seperti kambing gunung. Mereka menempuh pendakian yang makan waktu 1 jam buat saya dalam 25 menit saja. HAHAHA. Itulah, wahay manusia, yang dinamakan dengan perbedaan usia fisik.
Tak buang waktu kami segera menuju ke arah pantai setelah mengambil sepeda motor kami di parkiran. Waktu dibuang 1 jam untuk menambal ban sepeda motor nona E yang kempes, mengganti ban luar motor yang saya tumpangi bersama Prinscarming (karena sudah dua kali bocor dalam 24 jam), dan mengganti ban dalam sepeda motor nona E yang kempes untuk kedua kalinya saat menyusul saya dan prinscarming yang sedang ganti ban. Kami persilahkan yang lain mendahului sampai ke pantai.
Setelah hambatan yang sungguh nista itu akhirnya! Akhirnya saya, prinscarming, nona E dan nona N yang diboncengnya, berangkat juga menyusul ke pantai. Sepanjang jalan kami melewati perkebunan singkong, dan pasukan tentara berseragam loreng yang sedang duduk-duduk di ladang singkong, dan berpapasan dengan mobil truk militer. Hmm, jadi agak deg-degan. Sebuah bangunan yang kami lewati ternyata kantor pak camat setempat, ada spanduk yang terbaca oleh saya: TMMD. Apakah kepanjangannya Tenaga Militer Masuk Desa? Bagaikan tahun 1970-1980an saja, pemirsa!
Sibuk bertanya-tanya dalam hati, tanpa sadar kami sudah mencapai pantai. HORE! Hal pertama yang kami lakukan adalah parkir motor.
Sesudah parkir segera menuju Pasar Ikan dan membeli 2 kg ikan tongkol dan ikan ... entah ikan apa, dengan harga 20 ribu rupiah saja. Dengan 2 kg ikan dalam kantong plastik kami menuju ke warung, minta agar ikan tersebut dimasakkan goreng dan bakar, ditambah sebakul nasi, sambal, 3 gelas minuman hangat dan dua botol air soda ditambah es. Lupalah saya pada segala macam pertanyaan dalam hati atau kegundahan apa pun yang sempat terjadi sebelumnya. Saat makan suasana menjadi sepi sejenak. Dunia berhenti berputar. Hihihi.
Sesudah makan kenyang, barulah kami menghampiri peserta kemping lain yang sepertinya sudah puas main air dan sedang mengeringkan badan. Sementara mereka baru akan makan ikan, saya gantian berenang.
Berenang tidak lama karena matahari semakin condong dan air semakin dingin. Tapi saya sudah puas :)
Sore itu kami pulang dari acara kemping kedua dengan senyum lebar. Sungguh komplit petualangan kali ini, kemping di gunung lalu berenang di laut :)
Akhirul kalam, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
ayam masala yang nggak masalah bareng terong dan jagung teman-temannya, singkong di bawah di dekat bara
ayam masala yang nggak masalah kalau dimakan sama roti dari Hani's, enaaaak!
Sesudah perut kenyang, kami bernyanyi-nyanyi menunggu saat tepat menyalakan api unggun. Saat itu rombongan lain datang dalam kegelapan. Rombongan yang isinya mungkin delapan orang dengan satu tenda dan satu hammock. Saya tidak bisa melihat mereka dengan jelas, hanya mendengar dari suaranya sepertinya ada beberapa peserta cewek. Sementara mereka sibuk mendirikan tenda dalam kegelapan dan cahaya senter, kami sibuk berusaha menyalakan api unggun.
tak bisa ditebak apakah foto ini dibuat tahun 1990 atau 2010
Duduk melingkar sambil bernyanyi-nyanyi, mulai dari lagu yang tidak jelas sampai lagu yang itu-itu saja, kegiatan klasik perkemahan ini berakhir jam duabelas. Saya sendiri sudah keok di dalam tenda mulai dari jam 11, dan terbangun jam setengah dua karena kebelet pipis dan mendengar betapa berisiknya tetangga kami itu. Mereka tidak membawa gitar sehingga tidak bisa gonjrang-gonjreng seperti kami tadi, tapi berisik yang kami lakukan 4-5 jam lalu baru mereka lakukan pukul setengah dua pagi. Alangkah cerdasnya.
Saya harus pipis di semak. Tapi prinscarming sudah tidak bisa diganggu gugat di dalam sleeping bag. Untunglah nona E terbangun karena berisiknya tetangga kami, dan bersedia menemani saya buang hajat. Di tengah-tengah buang hajat itu saya mendengar suara orang dari arah jalan setapak. Perasaan saya tidak enak. Buru-buru saya selesaikan itu hajat dan kembali ke tenda. Tak sampai lima langkah saya pergi dari lokasi perhajatan, muncullah orang-orang yang saya dengar suaranya tadi, mereka melewati semak hajat saya. Memakai headgear yang sungguh terang, rasanya seperti bertemu dengan rombongan alien di film fiksi ilmiah yang menegangkan. MENEGANGKAN karena seandainya tadi saya tidak buru-buru mereka pasti akan menangkap basah saya dengan lampu sorot yang terang itu. AMITAMIT!
Dalam pikiran saya, oh sungguh aneh naik ke atas malam-malam begini. Saat terang saja licinnya sudah luar biasa, apalagi kalau harus melewati medan semacam itu malam-malam. Nehi.
Untuk mengobati keterkejutan saya yang nyaris tertangkap basah, saya duduk-duduk bersandar di bebatuan, melihat langit yang cerah sekali malam itu. Setelah melihat dua bintang jatuh, saya memutuskan untuk berusaha tidur lagi saja.
Saya bangun terlambat. Tidak bisa melihat matahari terbit, kehabisan mi instan seduh dan air panas. Saya akhirnya ketemu dengan rombongan yang naik jam 2 pagi dan nyaris memergoki perhajatan saya itu. Mereka berempat, dan sempat mampir pinjam kompor ke tenda kami karena kompor yang mereka bawa tidak bisa dinyalakan.
hiy, takut jatuh deh
Setelah puas berfoto-foto, kami kembali ke tenda, merasakan cuaca semakin gerah, dan dengan segera memutuskan: MARI KE PANTAI!
Ngrenehan seharusnya hanya satu jam perjalanan dari situ. Di Ngrenehan bisa berenang dan bisa makan ikan. Buru-buru kami rapikan tenda, rapikan sampah, dan turun.
Ohiya, sudah tahu kan kalau saya vertigo? Naik, walaupun licin, lebih gampang daripada menuruni medan yang licin sambil menahan rasa takut ketinggian. Memang perjalanan turun lebih cepat, tapi tidak lebih mudah. Kali ini saya tidak bisa menahan diri, mengumpat-umpat sepanjang jalan turun. Prinscarming dengan sabar menunggui saya yang merambat turun sambil misuh-misuh. Orang lain butuh waktu 15 menit, saya butuh waktu 40 menit. Untung saya nggak pakai bonus jatuh seperti Nona E. Kalau pakai bonus jatuh saya pasti misuh lebih panjaaaaang... dan laaamaaaa...
batu latar 45 derajat.... $4!&7&∆¥®)ø^∆∂≥∫ø¨©!!!!!
Sepanjang perjalanan turun kami berpapasan dengan rombongan lain yang baru mulai naik ke atas. Anak-anak kecil usia SD-SMP naik ke atas dengan lincah dan cepat seperti kambing gunung. Mereka menempuh pendakian yang makan waktu 1 jam buat saya dalam 25 menit saja. HAHAHA. Itulah, wahay manusia, yang dinamakan dengan perbedaan usia fisik.
Tak buang waktu kami segera menuju ke arah pantai setelah mengambil sepeda motor kami di parkiran. Waktu dibuang 1 jam untuk menambal ban sepeda motor nona E yang kempes, mengganti ban luar motor yang saya tumpangi bersama Prinscarming (karena sudah dua kali bocor dalam 24 jam), dan mengganti ban dalam sepeda motor nona E yang kempes untuk kedua kalinya saat menyusul saya dan prinscarming yang sedang ganti ban. Kami persilahkan yang lain mendahului sampai ke pantai.
mas, motor itu buat dinaikin, bukan buat dituntun kayak sapi
Pemirsa, lihatlah, inilah yang namanya ban luar sudah terlampau tipis, pemirsa. Sebaiknya segera diganti kalau tidak mau ban bocor 2 kali dalam sehari.
Pemirsa, lihatlah, inilah yang namanya ban luar sudah terlampau tipis, pemirsa. Sebaiknya segera diganti kalau tidak mau ban bocor 2 kali dalam sehari.
Setelah hambatan yang sungguh nista itu akhirnya! Akhirnya saya, prinscarming, nona E dan nona N yang diboncengnya, berangkat juga menyusul ke pantai. Sepanjang jalan kami melewati perkebunan singkong, dan pasukan tentara berseragam loreng yang sedang duduk-duduk di ladang singkong, dan berpapasan dengan mobil truk militer. Hmm, jadi agak deg-degan. Sebuah bangunan yang kami lewati ternyata kantor pak camat setempat, ada spanduk yang terbaca oleh saya: TMMD. Apakah kepanjangannya Tenaga Militer Masuk Desa? Bagaikan tahun 1970-1980an saja, pemirsa!
Sibuk bertanya-tanya dalam hati, tanpa sadar kami sudah mencapai pantai. HORE! Hal pertama yang kami lakukan adalah parkir motor.
Pantai Ngrenehan, bisa berenang!
Sesudah parkir segera menuju Pasar Ikan dan membeli 2 kg ikan tongkol dan ikan ... entah ikan apa, dengan harga 20 ribu rupiah saja. Dengan 2 kg ikan dalam kantong plastik kami menuju ke warung, minta agar ikan tersebut dimasakkan goreng dan bakar, ditambah sebakul nasi, sambal, 3 gelas minuman hangat dan dua botol air soda ditambah es. Lupalah saya pada segala macam pertanyaan dalam hati atau kegundahan apa pun yang sempat terjadi sebelumnya. Saat makan suasana menjadi sepi sejenak. Dunia berhenti berputar. Hihihi.
makannya yang banyak ya, om, biar tambah besar ;->
Sesudah makan kenyang, barulah kami menghampiri peserta kemping lain yang sepertinya sudah puas main air dan sedang mengeringkan badan. Sementara mereka baru akan makan ikan, saya gantian berenang.
Berenang tidak lama karena matahari semakin condong dan air semakin dingin. Tapi saya sudah puas :)
Sore itu kami pulang dari acara kemping kedua dengan senyum lebar. Sungguh komplit petualangan kali ini, kemping di gunung lalu berenang di laut :)
Akhirul kalam, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Comments