Petualangan di Halaman Belakang: Pahe Komplit Istimewa bagian 1



Kemping lagi. Mirip pecinta alam.

matras, sleeping bag, bahkan membawa sekop!

Kali ini tujuan kami katanya tidak jauh dari pusat kota Jogja. Hanya setengah hingga satu jam lamanya berkendara dengan motor ke daerah Pathuk, Wonosari. Kami hendak mendaki sebuah gunung purba.

Gunung tersebut bernama Langgeran, atau dengan penyebutan lidah lokal Jawa menjadi Nglanggeran. Ia konon lebih tua dari Merapi dan sudah mati lama sekali. Tinggi puncaknya hanya 700 meter dari permukaan laut. Menurut teman yang sudah pernah pergi ke gunung tersebut, hanya butuh waktu antara 30 menit hingga satu jam untuk mendaki ke atas.

Rancangan sudah dibuat untuk membawa tenda dan peralatan masak sehingga bisa menikmati malam kami di atas gunung tersebut. Sebaiknya berangkat pagi karena kami harus mencari kayu bakar untuk memasak dan mengantisipasi kemungkinan tidak dapat tempat mendirikan tenda seperti yang terjadi di bulan sebelumnya waktu kemping di Sadranan.

Segala macam persediaan logistik yang dibutuhkan diurut dalam daftar dan diumumkan kepada 12 calon peserta mulai dari seminggu sebelumnya. Kali ini Prinscarming mendapatkan pinjaman tenda yang masih bersaudara dengan tenda dome hasil hibah waktu itu. Kami sekarang menyebutnya tenda beruang tidur karena ada lambang beruang tidur di lapisan fly-covernya. Karena perkiraan medan yang mendaki, jelas kami tidak merencanakan membawa tenda Kanada yang beratnya jahanam seperti waktu kemping sebelumnya.

Hari H, ternyata beberapa peserta ternyata batal datang meskipun sudah konfirmasi ikut sebelumnya. Namun sungguh tak dinyana dan tak dikira, setelah dihitung pesertanya malah lebih banyak dari perkiraan: 14 orang. Moda transportasi tetap sama dengan kemping bulan lalu, sepedamotor. Dengan 8 sepeda motor pribadi dan sewaan, kami berangkat ke Wonosari jam 1 siang, meleset 5 jam dari waktu yang dijanjikan.

Berkendara dua jam, termasuk dua kali perhentian belanja persediaan yang kurang dan menambal satu ban bocor, kami sampai ke kaki gunung Nglanggeran. Tujuh motor dititipkan di rumah penduduk, satu teman lantas pulang karena jadwal penerbangannya tidak mengijinkan untuk ikut naik, kemudian kami berempatbelas mulai mendaki. Konon untuk naik ke puncak ada beberapa jalur dengan berbagai tingkat kesulitan. Sepertinya yang kami gunakan adalah jalur yang masuk kategori paling ringan.


benar-benar nitip; parkirnya di dalam rumah


Pendakian dimulai dengan anak tangga yang disemen, yang dengan cepat berubah menjadi anak tangga dari tanah berbatas kayu, lalu medan tanah menanjak ke atas dan inilah dia tantangan pertamanya. Sepertinya tempat itulah yang bernama Latar Gede. Batu dengan kemiringan 45 derajat. Dari titik bawah ke atas mungkin hanya 30-50 meter. Yang lain mendakinya dengan cepat. Saya merayap seperti cicak sambil menyimpan umpatan dalam hati.

Setelah batuan landai itu, medan tanah lagi, kemudian medan batuan landai lagi, dan akhirnya medan tanah menembus semak dan pepohonan. Medan tanahnya berpotensi besar jadi super licin dan berlumpur kalau basah kena hujan. Saya sungguh beruntung sepanjang akhir pekan itu hujan tidak turun!

Perlu diperhatikan bahwa saya, si gadis pantai, tidak pernah naik gunung sebelumnya. Dengan segera saya pun masuk ke golongan paling buntut. Untungnya tidak sendiri. HAHAHAH! Prinscarming sang pramuka sejati dan anggota klub pecinta alam mumpuni rela membawakan ransel saya dan menunggu saya yang merayap merambat sambil ngos-ngosan. (GR dulu ah) :D HORE!


AAAAARRRRRGGGGHHHHHH!



Sepanjang pendakian saya bisa mendengar degup jantung saya berdentang-dentang di telinga. Sekali lagi, untung saya masih biasa jalan kaki, lumayanlah untuk olah badan. Kalau tidak biasa jalan kaki mungkin saya sudah muntah-muntah karena badan terkejut dipaksa bekerja keras di luar kebiasaannya.

Apa? Kenapa? Karena saya ini gadis pantai. Cinta damai. Tidak pernah naik gunung. Persetanlah bahwa naik ke Gunung Ijen medannya lebih berat dengan waktu pendakian 3-4 jam normal. Saya nggak ada niatan buat pergi ke sana. HAHAHA.

Benarlah perkiraan bahwa saya baru sampai ke atas gunung itu setelah satu jam merambat lambat. Sambil berusaha meredakan dentang degup jantung saya, ternyata memang pemandangannya indah. Tapi sekali lagi, oh saya tidak berani terlalu dekat ke bibir jurang, rasanya seperti mau jatuh bebas saja saya ke bawah.



Tenda-tenda berdiri sangat cepat karena bentuknya sederhana dan para pemuda yang ikut kali ini terbiasa di alam terbuka. Tak sampai 15 menit dua tenda dome beruang tidur sudah berdiri berhadapan, aman dari angin di bawah rimbun pepohonan. Kami beruntung, lagi, karena meskipun itu akhir pekan dan sudah masuk musim liburan, tapi akhir pekan itu sudah masuk musim pertandingan Piala Dunia. Kami satu-satunya rombongan yang sampai di puncak jam 4 sore, jadi berhasil mendapatkan lokasi tenda yang paling oye!

Setelah tenda berdiri, kami masih sempat mencari kayu untuk api unggun, tapi hanya dapat sedikit dan sebagian besar masih basah. Pemandangan ke arah kota di bawah cukup cantik meskipun ternoda delapan menara besi tinggi pemancar sinyal stasiun tv. Setelah malam turun dan dunia menjadi gelap, pemandangan menara tv itu termaafkan karena yang terlihat tinggal kedipan lampu-lampu listrik saja. Lautan lampu peradaban manusia.










pemandangan indah di halaman belakang

Comments

Anonymous said…
Pemirsa...apakah anda turun berat badan setelah berkemping di nglanggeran? kalau yaa mari mendaki lagi..xxixixixixi
M. Lim said…
sepertinya paha saya menjadi lebih kencang...

sebaiknya perbanyak berenang kurangi mendaki untuk membentuk badan menjadi lebih kekar.

HAHAHAH
cerita inspiratif..
Obeth Rumambi said…
M.Lim ��

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again