Harta Karun Warisan Mbahmu Yang Paling Pamungkas Itu!

Pas betul, pekan ini mendadak ada orang yang marah-marah mendengar seorang turis bule berpendapat semacam "Gak usah ke Borobudur kali ye, kemahalan! Kan cuma liat batu item doang." Kemarahan itu merembet pada beberapa orang Indonesia yang dia kenal dan pernah dia dengar menyelundupkan orang asing ke situs-situs kuno itu sebagai orang Indonesia dengan tujuan agar tidak harus membayar mahal.

Saya adalah salah satu pelakunya. Dan saya ketawa.

kecuali punya KTP/KITAS silahkan membayar USD 15 untuk siang hari, USD 40 untuk matahari terbit 

Terlepas dari kekurangpahaman saya atas penyebab kemarahan tersebut karena saya tidak menyaksikan sendiri kejadiannya, saya pribadi memiliki kemarahan yang mungkin serupa, sekaligus kesadaran bahwa kemarahan tersebut sia-sia.

Beberapa pekan lalu saya bertemu dengan seorang pemerhati dan pelaku pelestarian kebudayaan dan kearifan lokal. Haa sungguh gelar yang sangat panjang, tetapi memang seperti itulah beliau adanya. Usianya masih muda dan semangatnya terpancar jelas.

Darinya saya mendengar tentang nasib artefak kuno temuan rakyat biasa, kebanyakan penduduk desa, yang ada di negara Republik Indonesia ini, terutama di wilayah Jawa dan khususnya di Jawa Tengah. Artefak kuno biasa ditemukan tak sengaja saat membuka lahan untuk berbagai keperluan mulai dari pertanian, irigasi, membuat sumur, atau pembangunan. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari fosil hingga arca--baik yang terbuat dari gerabah, batu, hingga logam dan batu mulia.

Bagaimana nasib dari temuan berharga tersebut? Idealnya memang kekayaan budaya itu dipelihara negara. Rakyat di daerah-daerah "titik panas arkeologi" biasanya diberi penyuluhan untuk melaporkan segala macam bentuk rupa penemuan mereka kepada yang berwenang. Prosedurnya adalah, si pelapor diberi uang imbalan, lantas barangnya diselamatkan dengan cara disimpan.

Adil kan?

Tapi dalam kasus Indonesia Tanah Airku Tumpah Darahku Yang Mulia ini, sebagian besar rakyat jelata penemu kekayaan budaya yang harganya tak bisa dinilai dengan uang itu, adalah penduduk yang dalam skala perekonomian sosial berada di batas terbawah rantai makanan. Kalian membaca tulisan saya ini di internet menggunakan alat elektronik, maka mereka mungkin malah tidak punya benda yang namanya telepon genggam apalagi televisi. Saya tidak berlebihan, masih banyak orang Indonesia yang hidupnya hanya memikirkan "apakah besok saya masih bisa makan?"

Dengan kondisi seperti ini, mendadak saat mencangkul lahan menemukan artefak, katakanlah teko kuno dari jaman kuda, yang jika dibeli tengkulak barang antik (untuk dijual lagi ke kolektor) dihargai 2 juta rupiah, sementara Balai Pelestarian Artefak dan Blah Blah Blah itu hanya akan memberi imbalan 200 ribu rupiah, secara logis sesuai dengan latar belakang yang sudah diberikan tadi, memangnya menurutmu pilihan macam apa yang akan dibuat?


Cintailah ploduk-ploduk Endonesya


Cerita yang saya dengar sang pemerhati dan pelaku pelestarian kebudayaan dan kearifan lokal tadi lebih asoy lagi. Tidak jarang ditemukan patung arca, dengan detil keindahan luar biasa, terlebih lagi terbuat dari emas murni yang so pasti kuno usianya, yang lalu tidak dilaporkan penemuannya dan kemudian malah dilebur oleh penemunya menjadi emas batangan untuk dijual.

Miris? Marah? Pada siapa?

Saya pribadi merasa penghargaan terhadap kekayaan warisan budaya nenek moyang tidak bisa semata dan melulu dengan uang. Selain itu saya sudah senantiasa lapang dada menerima bahwa mayoritas orang Indonesia suka dengan yang gratisan dan murahan, serta memahami orang-orang berkebangsaan lain yang juga memiliki mentalitas dan pandangan hidup serupa. Maka dari itu, saya adalah salah satu pelakunya. Dan saya ketawa. Karena wahay pemirsa, negeri ini gemah ripah loh jinawi, tancap kayu tumbuh pohon. Kalau saya tidak ketawa bahagia di negeri tumpah darah sendiri, apa artinya hidup ini?




Sesungguhnya postingan ini adalah bagian daripada  




Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again