Mencegah Celaka di Dalam Bioskop (bagian 2)
Kenapa sih orang pergi menonton film di Bioskop?
Jawaban masing-masing bisa berbeda-beda. Ada yang suka karena ruangan teater bioskop itu gelap dan dingin berAC. Ada yang pergi untuk menikmati SFX suara dan gambar di layar lebar lengkap dengan sistem suara 3 Dimensi yang Surround. Ada yang suka karena buat pacaran. Ada juga yang karena alasan moral yang berbeda: daripada beli bajakan mendingan nonton di bioskop. Ada juga yang tidak terlalu perduli, menonton film di bioskop hanya untuk hiburan semata, bukan karena aspek tertentu yang berkaitan dengan ideologi manapun. Indiscriminating audience, begitu istilah kerennya. Penonton tak pandang bulu.
Jenis penonton seperti apakah dirimu? Pandang bulu atau tidak pandang bulu?
Pada dasarnya mayoritas kelompok pendengar/pembaca/pemirsa alias kelompencapir, masuk ke dalam kategori pandang bulu. Ayolah, masa sih sampai bisa nggak tahu apa yang nggak disukai dan apa yang disukai?
Nah, dibanding penonton pandang bulu, tentunya penonton yang tak pandang bulu memiliki lebih sedikit tuntutan dan harapan pada apa yang ditontonnya. Kalau ternyata jelek, ya sudah. Kalau bagus, ya baguslah kalau begitu.
Kasus ILNS beberapa waktu lalu sepertinya karena ILNS sebetulnya adalah penonton yang pandang bulu, tetapi tidak menyadarinya.
Saya, jelas, adalah penonton yang memandang bulu. Burung yang bulunya serupa terbangnya bersama-sama.
Saya harus memandang bulu karena dari kecil saya sudah menonton banyak sekali film dari berbagai genre di televisi, video, vcd, dvd, laserdisc, bioskop. Tentunya saya jadi tahu jenis film apa yang saya suka dan mana yang saya tidak suka, beserta alasannya.
Saya harus memandang bulu karena terus terang, biaya menonton di bioskop tidak murah. Dengan setting Jogja karena saya tinggal di sini sekarang, marilah kita hitung bersama: nomat 15 ribu saja di Jogja, tapi masih ada biaya transportasi (kita pasang saja 25 ribu untuk total naik bus berangkat dan naik taksi pulang di Jogja), biaya ngemil sambil ngantri (minum kopi 10 ribu), dan biaya ngemil sambil nonton (popcorn 15 ribu dan air mineral botolan 8 ribu). Dilihat dari situ saja total sekali pergi nonton menghabiskan tujuhpuluhtigariburupiah. Setiap minggu ada film baru yang turun, kalau tiap minggu saya nonton 1 film berarti total sebulan saya habis 292 ribu. Uang segitu kalau saya titipkan pada Ubi buat dibelikan DVD di Glodog bisa dapat 48 film (berikut biaya kirim ke Jogja). Uang 73 ribu bisa saya pakai buat makan enak 2-3 hari. Manyun betul kalau saya tidak menikmati bulu seharga 73 ribu tersebut.
Sebagai konsekuensi pandang bulu ini, kalau kemudian saya masuk ke dalam bioskop dan duduk menonton, maka saya akan duduk di dalam sampai akhir film biarpun filmnya membuat saya merasa tenggelam dan pendarahan dalam. Sudah memilih maka harus konsisten sampai akhir!
Bulu lain yang saya pandang adalah perlu atau tidak sebuah film ini ditonton dengan yang namanya fasilitas bioskop. Ada yang ditonton di layar laptop selebar 13 inci saja sudah cukup, walaupun tanpa perangkat tata suara yang dahsyat bombastis surround 3D. Film-film yang masuk kategori ini biasanya adalah film bergenre drama macam Sex and The City, Nights in Rodanthe, Lakehouse, Buruan Cium Gue, Eiffel I'm in Love, dan sejenisnya.
Saya tidak perlu pergi ke bioskop untuk menonton film horor. Nonton di laptop waktu hari siang terang benderang dan banyak orang saja sudah bisa bikin saya ketakutan. Tapi untuk penggemar film horor, tentunya suasana gelap dingin ruangan teater akan teramat sangat mendukung nuansa kaget-kaget ngeri film bergenre horor. Apalagi kalau filmnya (a) bersetting bioskop juga, atau (b) nontonnya bareng pacar. HAH!
Sebagian besar film action akan sangat seru ditonton di bioskop. Film semcam ini biasanya menggunakan efek visual dan efek suara bergelegar yang akan teramat sangat mantap kalau dinikmati di layar lebar super besar, didukung dengan sistem tata suara THX Dolby Stereo 3D dan sebangsanya itu. Ada bom meledak, kursi kita goncang. Mobil meledak, kandung kemih ikut tegang. Suara keringat Tom Cruise menetes ke lantai saja sudah bikin deg-degan.
Film yang bukan action tapi mengandung banyak efek visual juga akan lebih melegakan mata saat ditonton di layar lebar. Yang jatuh ke kategori ini di antaranya adalah film produksi India yang biasanya memanfaatkan brigade penari berpakaian warna-warni, berputar-putar ke sana kemari dengan rok dan selendang melambai di situ-sini. @_@
Ini cuma basic saja. Ada orang-orang di luar sana dengan tingkat kemahiran lebih tinggi yang dalam pertimbangan menonton film akan memandang bulu sutradaranya, bulu penata musiknya, bulu produsernya, dll.
Nah, dengan informasi yang ini dan informasi yang sebelumnya, janganlah sampai tragedi ILNS kembali terulang. Kalau kata iklan layanan masyarakat, menontonlah dengan bijaksana. Ketahuilah apa yang akan ditonton, kenapa menonton itu, dan jika muncul hasrat ingin muntah atau ingin berdiskusi panjang lebar mengenai konten film yang sedang ditonton dari sudut pandang teori Habermas atau Kierkegaard, sebaiknya tunggu film selesai biar bisa lebih khidmat dan tidak mengundang tendangan beruntun tanpa bayangan dalam kegelapan.
Jawaban masing-masing bisa berbeda-beda. Ada yang suka karena ruangan teater bioskop itu gelap dan dingin berAC. Ada yang pergi untuk menikmati SFX suara dan gambar di layar lebar lengkap dengan sistem suara 3 Dimensi yang Surround. Ada yang suka karena buat pacaran. Ada juga yang karena alasan moral yang berbeda: daripada beli bajakan mendingan nonton di bioskop. Ada juga yang tidak terlalu perduli, menonton film di bioskop hanya untuk hiburan semata, bukan karena aspek tertentu yang berkaitan dengan ideologi manapun. Indiscriminating audience, begitu istilah kerennya. Penonton tak pandang bulu.
Jenis penonton seperti apakah dirimu? Pandang bulu atau tidak pandang bulu?
Pada dasarnya mayoritas kelompok pendengar/pembaca/pemirsa alias kelompencapir, masuk ke dalam kategori pandang bulu. Ayolah, masa sih sampai bisa nggak tahu apa yang nggak disukai dan apa yang disukai?
Nah, dibanding penonton pandang bulu, tentunya penonton yang tak pandang bulu memiliki lebih sedikit tuntutan dan harapan pada apa yang ditontonnya. Kalau ternyata jelek, ya sudah. Kalau bagus, ya baguslah kalau begitu.
Kasus ILNS beberapa waktu lalu sepertinya karena ILNS sebetulnya adalah penonton yang pandang bulu, tetapi tidak menyadarinya.
Saya, jelas, adalah penonton yang memandang bulu. Burung yang bulunya serupa terbangnya bersama-sama.
Saya harus memandang bulu karena dari kecil saya sudah menonton banyak sekali film dari berbagai genre di televisi, video, vcd, dvd, laserdisc, bioskop. Tentunya saya jadi tahu jenis film apa yang saya suka dan mana yang saya tidak suka, beserta alasannya.
Saya harus memandang bulu karena terus terang, biaya menonton di bioskop tidak murah. Dengan setting Jogja karena saya tinggal di sini sekarang, marilah kita hitung bersama: nomat 15 ribu saja di Jogja, tapi masih ada biaya transportasi (kita pasang saja 25 ribu untuk total naik bus berangkat dan naik taksi pulang di Jogja), biaya ngemil sambil ngantri (minum kopi 10 ribu), dan biaya ngemil sambil nonton (popcorn 15 ribu dan air mineral botolan 8 ribu). Dilihat dari situ saja total sekali pergi nonton menghabiskan tujuhpuluhtigariburupiah. Setiap minggu ada film baru yang turun, kalau tiap minggu saya nonton 1 film berarti total sebulan saya habis 292 ribu. Uang segitu kalau saya titipkan pada Ubi buat dibelikan DVD di Glodog bisa dapat 48 film (berikut biaya kirim ke Jogja). Uang 73 ribu bisa saya pakai buat makan enak 2-3 hari. Manyun betul kalau saya tidak menikmati bulu seharga 73 ribu tersebut.
Sebagai konsekuensi pandang bulu ini, kalau kemudian saya masuk ke dalam bioskop dan duduk menonton, maka saya akan duduk di dalam sampai akhir film biarpun filmnya membuat saya merasa tenggelam dan pendarahan dalam. Sudah memilih maka harus konsisten sampai akhir!
Bulu lain yang saya pandang adalah perlu atau tidak sebuah film ini ditonton dengan yang namanya fasilitas bioskop. Ada yang ditonton di layar laptop selebar 13 inci saja sudah cukup, walaupun tanpa perangkat tata suara yang dahsyat bombastis surround 3D. Film-film yang masuk kategori ini biasanya adalah film bergenre drama macam Sex and The City, Nights in Rodanthe, Lakehouse, Buruan Cium Gue, Eiffel I'm in Love, dan sejenisnya.
Saya tidak perlu pergi ke bioskop untuk menonton film horor. Nonton di laptop waktu hari siang terang benderang dan banyak orang saja sudah bisa bikin saya ketakutan. Tapi untuk penggemar film horor, tentunya suasana gelap dingin ruangan teater akan teramat sangat mendukung nuansa kaget-kaget ngeri film bergenre horor. Apalagi kalau filmnya (a) bersetting bioskop juga, atau (b) nontonnya bareng pacar. HAH!
Sebagian besar film action akan sangat seru ditonton di bioskop. Film semcam ini biasanya menggunakan efek visual dan efek suara bergelegar yang akan teramat sangat mantap kalau dinikmati di layar lebar super besar, didukung dengan sistem tata suara THX Dolby Stereo 3D dan sebangsanya itu. Ada bom meledak, kursi kita goncang. Mobil meledak, kandung kemih ikut tegang. Suara keringat Tom Cruise menetes ke lantai saja sudah bikin deg-degan.
Film yang bukan action tapi mengandung banyak efek visual juga akan lebih melegakan mata saat ditonton di layar lebar. Yang jatuh ke kategori ini di antaranya adalah film produksi India yang biasanya memanfaatkan brigade penari berpakaian warna-warni, berputar-putar ke sana kemari dengan rok dan selendang melambai di situ-sini. @_@
Ini cuma basic saja. Ada orang-orang di luar sana dengan tingkat kemahiran lebih tinggi yang dalam pertimbangan menonton film akan memandang bulu sutradaranya, bulu penata musiknya, bulu produsernya, dll.
Nah, dengan informasi yang ini dan informasi yang sebelumnya, janganlah sampai tragedi ILNS kembali terulang. Kalau kata iklan layanan masyarakat, menontonlah dengan bijaksana. Ketahuilah apa yang akan ditonton, kenapa menonton itu, dan jika muncul hasrat ingin muntah atau ingin berdiskusi panjang lebar mengenai konten film yang sedang ditonton dari sudut pandang teori Habermas atau Kierkegaard, sebaiknya tunggu film selesai biar bisa lebih khidmat dan tidak mengundang tendangan beruntun tanpa bayangan dalam kegelapan.
Comments