Penantian Penuh Makanan


Sebelum lupa semuanya, harus segera ditulis dan didokumentasikan ini.

Penantian yang panjang. Lebayatun dan dramasyen, tapi memang begitulah rasanya menunggu peristiwa melahirkan. Minggu pertama Juli si manyun mengantar pulang ke Surabaya, setelah 3 hari menemani di Surabaya dia balik ke Jogja. Rencananya adalah dia baru balik menjelang tanggal perkiraan lahir si orok kunyit, yang jatuh pada tanggal 27 Juli. Cerita melahirkannya bisa ditilik di postingan blog sebelum ini

Nah, selama menunggu si orok mbrojol ke dunia, saya kayak orang pingitan. Baru bisa keluar rumah kalau ada si manyun karena Surabaya panas eram -- menyebabkan senantiasa berkiblat ke tempat yang memiliki fasilitas pendingin ruangan yaitu mall (bwahahak). Bapak saya terlalu bawel kalau dimintain nemenin ke mall. Ibu saya kerja dan sesudahnya kecapean, lebih milih istirahat. Adik saya sibuk sendiri. Yang bisa nemenin nggak pake bawel ya si papa kelinci. Kerjaan saya di rumah selain membaca, menerjemahkan sepetek, mencuci persediaan popok dan lain-lain, online dan... makan. 

Di rumah Jogja saya jarang masak nasi. Frekuensi makan nasi paling-paling sehari sekali atau malah dua hari sekali. Lebih praktis masak pasta, cuma 2 porsi sekali masak untuk makan saat itu juga. Sarapan kadang mampir warung soto atau roti.  Makan siang biasanya di kantor karena masih bekerja kantoran. Makan malam baru masak. Ya pasta itu tadi. 

Di rumah Surabaya nasi tersedia 24 jam. Walhasil jadwal makan saya yang selama hamil konsisten menjadi 5 kali sehari itu pun... hampir tiap kali makan ditemani nasi. Dengan berkurangnya aktivitas dan olah kanuragan, dipadu dengan pola makan bunuh diri itu, terciptalah pola hidup yang sungguh mantap dalam meningkatkan berat badan. Dalam sebulan terakhir kehamilan berat badan saya naik minimal 2 kg. Kok sedikit? Sebetulnya banyak karena semuanya lari ke si kunyit.

Ketika akhirnya si manyun datang kembali, kegiatan berjalan kaki pun dipergencar. Akan tetapi namanya juga ... *ehem* sudah bawaan, ujung-ujungnya jalan kaki itu adalah... *ohok* makan.

Au Le Kikil Sapee le Ria

Sepertinya kedatangan si manyun dirayakan dengan pergi keluar karena selama hampir dua minggu di rumah terus bikin bosan. Kami pun... pergi makan. Kikil Sapi di pusat jajanan segala selera dekat bekas bioskop RIA sudah kondang sekali. Kami makan kikil dan sate kambing. Satenya kurang oke tapi tetep ya kikil sapi itu enak.

Berikutnya, pada suatu sore setelah berjalan kaki sedikit, kami sempat sengaja nyasar ke Zangrandi, toko es krim kuno yang kondang seSurabaya. Tempat itu penuh nilai nostalgia dan es krim yang rasanya manteb.

Lingkar perut jelas sudah nambah ini. Sekitar 6 hari sebelum melahirkan.
Saya tahu harusnya mengurangi karbohidrat, nasi dan yang manis-manis, tapi tapi tapi... tapi enak...

rhum raisin ftw!
Setelah beberapa hari sebelumnya makan kikil sapi, ada teman datang dari Semarang. Bokap nampak agak bagus mood-nya. Akibatnya kami pun pergi ke daerah kampung arab di Surabaya, Ampel. Di salah satu warung yang cukup ramai karena terkenal masakan aneka kambingnya, kami pun membeli hampir semua maca menunya. Gulai, sate, dan sop kikil kambing. Kikil kambingnya sangat maknyos, pemirsa.

Satenya pun porsinya besar

Besok siangnya si teman bilang mereka mau bersepeda mencari makam tua yang menarik di Surabaya. Makamnya ketemu, tua, tapi gak menarik. Lalu mereka ngajak ketemuan di ... Zangrandi. Jalan sore baru sedikit, kami pun ke Zangrandi... lagi... Kali ini saya pesan cassata. Einak... Dulu waktu saya masih kecil, kalau ada tukang es krim Zangrandi lewat bersepeda dan boleh beli sama Ibu saya, kami membeli es krim-es krim potong ini. Cassata dan tutti fruti adalah varian yang paling sering kami beli.

kayaknya yang pesen float itu si manyun

Ini adalah foto bukti betapa besarnya hari-hari terakhir sebelum melahirkan
Melihat lagi foto ini sungguh efeknya dahsyat. Sebulan sebelumnya saya nggak sebesar itu. Lonjakan kenaikan berat badannya sungguh signifikan.

Di Solo, sebulan sebelumnya. Bisa agak membandingkan ukurannya? Susah ye? Ini less munjung, btw.

Dalam petualangan kami berjalan kaki dengan niatan agar si orok kunyit turun ke bawah, kami menemukan Eat & Eat, sebuah pujasera yang terletak di lantai dua sebuah bangunan bekas supermarket Gelael (sekarang jadi Ranch Market) di dekat Tunjungan Plaza. Tempat itu nampak sungguh menarik. 

Ini adalah bagian yang diperuntukkan bagi para perokok. Untuk daerah bebas rokok ada di sisi lainnya

Desain interiornya nampak ramai dan hangat, dengan kandang-kandang kosong dan lampu-lampu minyak bergelantungan. Aneka aksesoris etnik, antik sampai dengan yang kitsch meriah menghias "warung-warung" yang ada di dalam situ. Di dekat pintu masuk ada peta yang menunjukkan bahwa pujasera tersebut terbagi menjadi petak-petak yang masing-masing memiliki tema makanan. Ada makanan tradisional Indonesia, makanan kaki lima a la Singapura, dan seterusnya.

Entah kenapa pemandangan dari tempat bagi para perokok lebih bagus daripada sudut bebas rokoknya. hahah.

Sistem pembayarannya menggunakan kartu debit. Kartunya diisi di kasir dengan nominal awal 50 ribu rupiah, lalu nilai pengisian berikutnya terserah kita. Pembayaran di tiap "warung" menggunakan kartu tersebut. Saldo kartu minimal 5 ribu, kalau sudah tak terpakai bisa minta uang kembali di kasir sesuai jumlah saldo yang tersisa di kartu. 

Menu pilihan pada kunjungan pertama: Phoooo! dan Mee Pok.
Harga masing-masing menu makanan di atas 20 ribu, tapi cukup sepadan dengan cita rasa dan PORSInya. Pilihan menu yang beraneka ragam pun menarik hati. Walhasil kami jadi beberapa kali kembali ke sana. Termasuk di hari Rabu, sehari sebelum melahirkan :)


ibu hamil frustrasi menenggak bir (tapi bohong)
dan ngidam sate padang pun terpenuhi di hari terakhir hamil ituh!

sayang sekali sate padang mak subur ini nggak seenak sate padang depan UNPAD DU. huhu kangeen...

Sepulang dari menghabiskan sate padang di Eat and Eat itulah saya menyadari rembesan air ketuban. Lalu kurang dari 24 jam sesudah sate padang yang kurang oke itu lahirlah si kunyit yang ternyata 4 kg beratnya. 

Nggak heran yah.



Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again