Melahirkan
***WARNING***PERHATIAN*** Postingan berikut ini panjang, eksplisit dan penuh adegan kekerasan.
PrinsCharming si manyun sudah datang ke Surabaya sekitar 3 hari sebelum tanggal perkiraan lahir karena 2 hari sebelumnya perasaan saya sungguh tidak enak dan gelisah.
Ternyata... selain dari Braxton Hicks yang semakin kerap tapi tidak terlalu mengganggu, sama sekali tidak ada tanda-tanda kontraksi apapun. Dokter juga hanya menyarankan perbanyak jalan kaki, jika sampai sepekan tetap tidak terjadi apa-apa, saya akan diinduksi agar melahirkan.
Sejak si manyun datang, saya dan dia jalan kaki seperti turis nyasar di Surabaya. Mall hopping sih ujung-ujungnya, karena saya gampang kegerahan, tapi lumayan itu jaraknya dalam satu hari minimal 2 km. Pernah satu kali, setelah 4 hari berlalu dari HPL dan tetap tak ada tanda-tanda melahirkan, kami jalan kaki sampai sekitar 8 km. Pantat rasanya mau lepas sesudahnya. Dan, tetap, tak ada mules atau apa saja lah..
Kamis tanggal 4 Agustus adalah jadwal saya kontrol lagi ke dokter. Prakteknya sore, jadi kemungkinan malamnya saya masuk RSB, atau besok paginya, untuk induksi. Rabu malam, sepulang dari sesi berjalan kaki, sepertinya ada yang merembes. Hore. Ini adalah tanda-tanda melahirkan. Nggak terlalu bagus sih, karena lebih baik ketuban pecah di fase terakhir melahirkan, bukan di fase awal. Tapi ya sudahlah, saya tidak mau terlalu girang atau tegang.
Kamis pagi saya dan si manyun diantar bapak ke RSB. Tas melahirkan dibawa serta. Si manyun juga membawa perbekalan dalam ranselnya. Siap siaga.
Jam 9 pagi dipastikan yang merembes adalah air ketuban. Saya langsung disetrap di kasur, tidak boleh ke mana-mana meskipun untuk ke kamar mandi dan pipis. Ini bikin sedikit frustrasi. Karena biasanya proses melahirkan anak pertama itu lama, bapak pun pulang. Ibunda Ratu Alam Semesta pun berkata akan datang ke RSB jam 6 sore saja. Perawat memasang alat pantau kontraksi di perut selama 30 menit. Sejauh ini semua masih aman terkendali.
Sekitar jam 1 siang dokter datang. Sebelum itu bidan sudah mengobok-obok dalaman saya, katanya saya sudah bukaan 1, penipisan lapisan rahim di jalan lahir sudah 25%. Dokter pun berata, drip induksi oksitosin akan dipasang dan perkembangannya akan dilihat nanti. Kalau tidak berhasil ya sectio cesarian. Hm.
Jam 2 siang infus dipasang. Saya penasaran, mules seperti apa yang akan terjadi.
Jam 3 terjadilah awal dari mules tersebut. Ternyata tidak cocok dia disebut mules. Lebih cocok disebut kram perut. Datang dan pergi. Ini sudah saya antisipasi, karena konon kontraksi memang begitu. Makin lama kramnya semakin kencang. Sudahlah saya menahan pipis dari tadi, infus yang terpasang di tangan kanan membuat semakin tidak nyaman, dan saya bisa dibilang dilarang bergerak untuk menyamankan diri. Yang boleh hanyalah berbaring miring ke kiri. Yang mana membuat punggung rasanya sungguh pegal dan pinggul sakit karena tak ada bantal untuk mengganjal kaki. Akhirnya saya duduk saja di kasur, berusaha mengatur nafas dan mencari posisi yang nyaman.
Makin lama kram kontraksi itu makin kuat. Yaeyyalahya. Dari duduk akhirnya saya pun pasrah rebah, sedikit berantem dengan bidan yang kemudian membolehkan saya mendapatkan selembar selimut untuk ganjal kaki sementara saya miring ke kiri. "Jangan ditahan kalau kontraksi. Ambil nafas panjang." Meh, gampil aja bilangnya. Perut saya berat dan pinggul-panggul rasanya pegal linu. Rasanya mau marah waktu sudah berhasil menemukan pewe miring ke kiri, saya harus telentang lagi karena alat pemantau kontraksi dipasang lagi ke perut saya. Buat yang nggak tahu rasanya hamil besar, saya beritahu saja, berbaring telentang dengan beban lebih dari 5 kg di perut yang menekan pinggul-panggul dan tulang belakang itu adalah NYIKSAAA... ples, perut sedang kram.
Sekarang saya nggak tahu bagaimana caranya saya bisa bertahan 30 menit itu telentang sementara kram perut yang semakin kuat datang dan pergi. "Kontraksinya bagus ya," adalah komentar dari suster yang bertugas memasang dan melepas alat tersebut. Kayaknya, harusnya, saya waktu itu ketawa ya.
Lalu saya ditinggalkan lagi, menahan kram. Tiba-tiba terjadi sedikit kasak-kusuk, rupanya ada pasien lain yang mau melahirkan. Rak dorong yang isinya peralatan, yang tadinya ada di ujung tempat tidur saya dibawa keluar ruangan. Terdengar kehebohan sejenak, sekitar beberapa detik kemudian terdengar suara perempuan menjerit mengejan, dua kali, lalu sudah. Wow. Sudah keluar. Saya sirik. Cepet bener. Sementara saya kram mungkin masih berjam-jam lagi. Suster bilang pasien itu mulesnya sudah dari tadi. Anaknya kecil, prematur. Baiklah.
Oh ya, pada saat ini televisi di ruangan tersebut mulai dinyalakan. Saya nonton drama korea, yang mulai tayangnya jam 4 sore. Lumayan untuk mengalihkan perhatian. Seperti yang sudah saya prediksi, kram kontraksi itu membuat saya berkeringat dingin. Di antara kontraksi saja rasanya masih kram! Bernafas panjang masih bisa dilakukan di jeda antara kontraksi, tapi begitu kontraksi, selamat tinggal kesadaran diri. Botol infus saya lihat sudah tinggal 1/4 isinya. Bidan memberitahu suster kalau dripnya akan diteruskan botol kedua kalau yang pertama habis. Rasanya langsung pusing membayangkan saya mungkin masih harus menahan kram ini sampai lewat jam 12 malam. Itu masih 8 jam lagi.
Waktu mungkin menjelang setengah lima sore ketika tanpa sadar saya kelepasan mengejan ketika kontraksi datang. Hanya satu kata yang bisa melukiskan perasaan saya waktu itu. SIYOK! Saya tahu tidak seharusnya saya mengejan sebelum bukaan sudah komplit 10 senti. Sambil merasa bersalah pada si kelinci kecil, saya mulai panik. Tiga - empat kontraksi berikutnya saya masih bisa menahan sambil berusaha nafas, tapi kemudian saya kelepasan mengejan lagi. Dan lagi. Bidannya nampak tidak senang. Saya juga nggak senang lah. Apalagi dibilangnya saya masih bukaan 6 - 8. Kenapa bisa begitu, saya juga nggak tau.
Kelepasan mengejan 2 kali kemudian mendadak terjadilah adegan gore nan horor. Itu yang namanya air ketuban muncrat keluar, saudara pemirsa.
HOLY SHIT!
Tapi saya tidak mengucapkan itu keras-keras tentu saja. Suster dan bidan mulai nampak nggak santai. Si manyun yang pada saat ini sudah di sebelah kanan saya, memijat-mijat punggung sedari tadi... saya nggak tahu reaksinya bagaimana karena saya nggak bisa lihat mukanya. Saya juga nggak berani melihat ke bawah karena ngeri. Dua kontraksi berikutnya saya kelepasan mengejan lagi... dan JRRROOOSSHHH!! Sumpah bukan dibuat-buat itu seperti adegan kelahiran alien yang monjrot keluar dari badan dengan didahului bergalon-galon cairan lendir. Spektakuler!
Hal ini terjadi sampai ... entah berapa kali, mungkin lima-enam kali. Tiap kalinya saya antara panik dan pasrah. Tiap kali juga berantem sama bidan/suster/si manyun yang semuanya menyuruh saya bernapas panjang agar tidak mengejan sementara saya sibuk menahan agar tidak mengejan dengan cara bernapas pendek-pendek. Kalau air ketubannya abis duluan, kasian si kelinci kecil di dalam perut saya. Tapi saya bener-bener nggak bisa menahan refleks mengejan itu. Sensasinya seperti kalau muntah lalu otot lambung terus menekan semua isinya keluar tanpa bisa dihentikan. Bidan yang bertugas mengeluhkan bau air ketuban yang menurutnya memang membuat dia tidak tahan. Saya hanya berpikir, baunya seperti sesuatu yang manis, tidak seperti bau muntah yang khas manis tapi aroma asam lambung. Saya nggak nangis walaupun sebetulnya pingin. Yang dominan adalah putus asa dan frustrasi. Saya juga mulai kehilangan kesadaran.
Misalnya, saya nggak ingat bagaimana akhirnya saya telentang lagi. Kontraksi terus berlangsung entah berapa dekat jaraknya, disambut dengan refleks saya mengejan dan saya tahu air ketubannya sudah habis. Saya yang mulai kehilangan seperempat kesadaran itu berpikir, apa lagi nih yang bakalan keluar. Hahaha.
Tapi waktu itu saya masih berpikir bahwa mungkin masih lama sebelum kelinci kecil benar-benar akan keluar. Bidan bilang dokter akan segera datang, sementara itu dia akan mengajari saya mengejan. Errmm... halo? Dari tadi saya sampai monjrot air ketuban segitu banyak bagaikan keran bocor itu saya ngapain ya? Main gundu? Yasudahlah, saya turuti saja aba-abanya sementara itu. "Yak, bagus." Begitu doang. Dalam keadaan normal saya pasti sudah putar bola mata ke atas dan berkata, cape deh. Berhubung kondisinya tidak normal, saya hanya pasang wajah pasrah. Kemudian saya pun boker di atas kasur. Yeah, melahirkan itu nggak seromantis adegan di film-film, pemirsa sekalian...
Entah berapa kontraksi dan spontan mengejan setelah itu, mendadak bidan dan suster pun berkata takjub, "Sudah crowning."
SUDAH APA?
Kok udah crowning aja sih? Hanya ini yang muncul di kepala saya. Bidan dan suster mulai agak tegang. Salah seorang di antara mereka saya lihat memegang telpon sementara yang satunya memeriksa perkembangan di bawah sana. Dari sudut mata saya tangkap si manyun juga agak tegang. Dari tadi dia sudah merelakan tangannya saya remas-remas saat kontraksi. Apakah saya berteriak-teriak? Jelas iya. Untungnya nggak mengabsen isi kebun binatang atau aneka kosakata penuh cacian durjana. Lebih ke teriakan perang gitu, tapi jangan bayangkan Xena the Warrior Princess ya.
Hari itu hanya dua orang yang melahirkan, saya dan yang tadi sudah teriak-teriak duluan itu. Untunglah, karena niscaya stress-lah peserta lainnya jika mendengarkan teriakan saya. Alhamdulillah. HEEAHHHH!!! *headbang*
"Ibu, kalau nanti dokternya belum datang, kita akan tetap bantu melahirkannya." Demikian sang bidan berkata. Saya lihat dia sudah tidak lagi memegang telpon. Saya sudah tidak bisa berkata-kata. Agak aneh mendengarnya waktu itu, makanya alis saya berkerut, tapi saya acungkan saja jempol pertanda, "Terserah lo aja, deh." (dalam hati tentu saja) Lalu kontraksi dan saya mengejan lagi. Hyeuk.
Ternyata tak lama sesudahnya dokternya datang. Muncul sudah dengan baju yang sudah dilapisi celemek plastik. Erm. Hihihi... Kemudian saya sibuk mengejan sementara itu dengan santainya pak dokter berkata, "Wah besar sekali ini," sambil senyum-senyum. Bidan dan suster pun tersenyum-senyum nampak agak santai setelah pak dokter datang.
Dua kali mengejan kemudian, sepertinya kepala si kelinci kecil sudah keluar. Ternyata dia tidak berhasil melepaskan belitan tali pusar di lehernya, jadi saya disuruh berhenti mengejan dulu selama beberapa detik saat belitan itu dilepas, lalu diminta meneruskan. Si manyun nampak antara tegang dan takjub. Dalam proses ini saya diminta memperhatikan keluarnya kepala di bawah sana (mungkin maksudnya biar gak mengejan sambil merem, yang entah kenapa tidak diperbolehkan, dan biar semangat mengejan), tapi apa daya... KETUTUPAN PERUT! Bwee... cis!
Saya tidak terlalu bisa merasakan bedanya apakah kelinci kecil sudah keluar atau belum. Tapi akhirnya saya lihat, itu dia pantatnya, agak pucat kebiruan tertutup lapisan vernix kekuningan. Bidan, suster dan si manyun jelas terasa dan terlihat lega. Pak dokter sih santai saja. "Cowok." Demikian suster berkata. Saya langsung menatap si manyun mencari konfirmasi. "Mana, ini kan seperti punyamu. Cewek." Kata pak dokter sambil membalikkan tubuh kelinci kecil. Saya masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Suster membersihkan rongga mulutnya dari cairan, dan langsung saja terdengar... si kunyit, marah-marah.
Segera setelah tali pusatnya dipotong, ia dibawa pergi keluar. Konon karena air ketuban sudah berwarna hijau keruh, jadi dicemaskan si kunyit keracunan air ketuban atau komplikasi lainnya. Saya terlalu lemas untuk memintanya diletakkan di dada saya saja untuk IMD. Yasudahlah, pikir saya pasrah. Si manyun buru-buru keluar mengikuti suster dan kunyit si kelinci kecil. Saya dipasangi selang oksigen dan diberi suntikan entah apa... yang menyebabkan tidak sadar selama setengah jam ke depan. Sebelum kesadaran saya benar-benar hilang, si kunyit dalam keadaan sudah dibebat rapat dalam bedong dibawa ke saya, dan saya cuma bisa mencium pipinya yang tembem, lalu ia dibawa pergi lagi. Dalam ketidaksadaran itu saya berhalusinasi bahwa saya adalah mahluk entah apa yang berkeliaran di dalam sistem komputer pesawat USS Enterprise, berjumpa dengan aneka bentuk geometris berwarna hitam-putih terang-redup. Di kepala saya bergema suara-suara bariton yang sepertinya bercakap-cakap tetapi dengan kecepatan suuupppeerrr laaaammmmbbbbbaaattt... Ternyata pada saat itu robekan episiotomi saya sedang dijahit. Saya tidak tahu berapa jahitan sampai sekarang.
Ketika kesadaran saya berangsur kembali, rasanya seperti baru saja mabuk akibat menghabiskan setengah botol smirnoff sendirian. Yeeaahh... *hiks* Suster memasang tag pasien di tangan saya sambil menjelaskan bahwa anak saya beratnya 4.1 kg. Saya masih mabuk, jadi informasi ini tidak berhasil menempel di ingatan saya. Si manyun kembali membawa kamera untuk menunjukkan foto-foto yang dia ambil, saya kembali bertanya berapa berat si kunyit. Empat koma satu kilogram. Barulah saya ngeh. Ohmegod. GEDE BANGET SIK YA?! Pantesan berat banget gembol dia dalam perut di tiga minggu terakhir itu. HAHAHA. Di layar kamera digital nampaklah itu, muka bayi yang bulat bundar merah. Reaksi saya yang sedang mabok adalah: "Ya ampuun... Kenapa dia keliatan kayak Mao Tse Tung?"
Kelinci Leo kecil sudah launching :)
PrinsCharming si manyun sudah datang ke Surabaya sekitar 3 hari sebelum tanggal perkiraan lahir karena 2 hari sebelumnya perasaan saya sungguh tidak enak dan gelisah.
Ternyata... selain dari Braxton Hicks yang semakin kerap tapi tidak terlalu mengganggu, sama sekali tidak ada tanda-tanda kontraksi apapun. Dokter juga hanya menyarankan perbanyak jalan kaki, jika sampai sepekan tetap tidak terjadi apa-apa, saya akan diinduksi agar melahirkan.
Sejak si manyun datang, saya dan dia jalan kaki seperti turis nyasar di Surabaya. Mall hopping sih ujung-ujungnya, karena saya gampang kegerahan, tapi lumayan itu jaraknya dalam satu hari minimal 2 km. Pernah satu kali, setelah 4 hari berlalu dari HPL dan tetap tak ada tanda-tanda melahirkan, kami jalan kaki sampai sekitar 8 km. Pantat rasanya mau lepas sesudahnya. Dan, tetap, tak ada mules atau apa saja lah..
Kamis tanggal 4 Agustus adalah jadwal saya kontrol lagi ke dokter. Prakteknya sore, jadi kemungkinan malamnya saya masuk RSB, atau besok paginya, untuk induksi. Rabu malam, sepulang dari sesi berjalan kaki, sepertinya ada yang merembes. Hore. Ini adalah tanda-tanda melahirkan. Nggak terlalu bagus sih, karena lebih baik ketuban pecah di fase terakhir melahirkan, bukan di fase awal. Tapi ya sudahlah, saya tidak mau terlalu girang atau tegang.
Kamis pagi saya dan si manyun diantar bapak ke RSB. Tas melahirkan dibawa serta. Si manyun juga membawa perbekalan dalam ranselnya. Siap siaga.
Jam 9 pagi dipastikan yang merembes adalah air ketuban. Saya langsung disetrap di kasur, tidak boleh ke mana-mana meskipun untuk ke kamar mandi dan pipis. Ini bikin sedikit frustrasi. Karena biasanya proses melahirkan anak pertama itu lama, bapak pun pulang. Ibunda Ratu Alam Semesta pun berkata akan datang ke RSB jam 6 sore saja. Perawat memasang alat pantau kontraksi di perut selama 30 menit. Sejauh ini semua masih aman terkendali.
Sekitar jam 1 siang dokter datang. Sebelum itu bidan sudah mengobok-obok dalaman saya, katanya saya sudah bukaan 1, penipisan lapisan rahim di jalan lahir sudah 25%. Dokter pun berata, drip induksi oksitosin akan dipasang dan perkembangannya akan dilihat nanti. Kalau tidak berhasil ya sectio cesarian. Hm.
Jam 2 siang infus dipasang. Saya penasaran, mules seperti apa yang akan terjadi.
Jam 3 terjadilah awal dari mules tersebut. Ternyata tidak cocok dia disebut mules. Lebih cocok disebut kram perut. Datang dan pergi. Ini sudah saya antisipasi, karena konon kontraksi memang begitu. Makin lama kramnya semakin kencang. Sudahlah saya menahan pipis dari tadi, infus yang terpasang di tangan kanan membuat semakin tidak nyaman, dan saya bisa dibilang dilarang bergerak untuk menyamankan diri. Yang boleh hanyalah berbaring miring ke kiri. Yang mana membuat punggung rasanya sungguh pegal dan pinggul sakit karena tak ada bantal untuk mengganjal kaki. Akhirnya saya duduk saja di kasur, berusaha mengatur nafas dan mencari posisi yang nyaman.
Makin lama kram kontraksi itu makin kuat. Yaeyyalahya. Dari duduk akhirnya saya pun pasrah rebah, sedikit berantem dengan bidan yang kemudian membolehkan saya mendapatkan selembar selimut untuk ganjal kaki sementara saya miring ke kiri. "Jangan ditahan kalau kontraksi. Ambil nafas panjang." Meh, gampil aja bilangnya. Perut saya berat dan pinggul-panggul rasanya pegal linu. Rasanya mau marah waktu sudah berhasil menemukan pewe miring ke kiri, saya harus telentang lagi karena alat pemantau kontraksi dipasang lagi ke perut saya. Buat yang nggak tahu rasanya hamil besar, saya beritahu saja, berbaring telentang dengan beban lebih dari 5 kg di perut yang menekan pinggul-panggul dan tulang belakang itu adalah NYIKSAAA... ples, perut sedang kram.
Sekarang saya nggak tahu bagaimana caranya saya bisa bertahan 30 menit itu telentang sementara kram perut yang semakin kuat datang dan pergi. "Kontraksinya bagus ya," adalah komentar dari suster yang bertugas memasang dan melepas alat tersebut. Kayaknya, harusnya, saya waktu itu ketawa ya.
Lalu saya ditinggalkan lagi, menahan kram. Tiba-tiba terjadi sedikit kasak-kusuk, rupanya ada pasien lain yang mau melahirkan. Rak dorong yang isinya peralatan, yang tadinya ada di ujung tempat tidur saya dibawa keluar ruangan. Terdengar kehebohan sejenak, sekitar beberapa detik kemudian terdengar suara perempuan menjerit mengejan, dua kali, lalu sudah. Wow. Sudah keluar. Saya sirik. Cepet bener. Sementara saya kram mungkin masih berjam-jam lagi. Suster bilang pasien itu mulesnya sudah dari tadi. Anaknya kecil, prematur. Baiklah.
Oh ya, pada saat ini televisi di ruangan tersebut mulai dinyalakan. Saya nonton drama korea, yang mulai tayangnya jam 4 sore. Lumayan untuk mengalihkan perhatian. Seperti yang sudah saya prediksi, kram kontraksi itu membuat saya berkeringat dingin. Di antara kontraksi saja rasanya masih kram! Bernafas panjang masih bisa dilakukan di jeda antara kontraksi, tapi begitu kontraksi, selamat tinggal kesadaran diri. Botol infus saya lihat sudah tinggal 1/4 isinya. Bidan memberitahu suster kalau dripnya akan diteruskan botol kedua kalau yang pertama habis. Rasanya langsung pusing membayangkan saya mungkin masih harus menahan kram ini sampai lewat jam 12 malam. Itu masih 8 jam lagi.
Waktu mungkin menjelang setengah lima sore ketika tanpa sadar saya kelepasan mengejan ketika kontraksi datang. Hanya satu kata yang bisa melukiskan perasaan saya waktu itu. SIYOK! Saya tahu tidak seharusnya saya mengejan sebelum bukaan sudah komplit 10 senti. Sambil merasa bersalah pada si kelinci kecil, saya mulai panik. Tiga - empat kontraksi berikutnya saya masih bisa menahan sambil berusaha nafas, tapi kemudian saya kelepasan mengejan lagi. Dan lagi. Bidannya nampak tidak senang. Saya juga nggak senang lah. Apalagi dibilangnya saya masih bukaan 6 - 8. Kenapa bisa begitu, saya juga nggak tau.
Kelepasan mengejan 2 kali kemudian mendadak terjadilah adegan gore nan horor. Itu yang namanya air ketuban muncrat keluar, saudara pemirsa.
HOLY SHIT!
Tapi saya tidak mengucapkan itu keras-keras tentu saja. Suster dan bidan mulai nampak nggak santai. Si manyun yang pada saat ini sudah di sebelah kanan saya, memijat-mijat punggung sedari tadi... saya nggak tahu reaksinya bagaimana karena saya nggak bisa lihat mukanya. Saya juga nggak berani melihat ke bawah karena ngeri. Dua kontraksi berikutnya saya kelepasan mengejan lagi... dan JRRROOOSSHHH!! Sumpah bukan dibuat-buat itu seperti adegan kelahiran alien yang monjrot keluar dari badan dengan didahului bergalon-galon cairan lendir. Spektakuler!
Hal ini terjadi sampai ... entah berapa kali, mungkin lima-enam kali. Tiap kalinya saya antara panik dan pasrah. Tiap kali juga berantem sama bidan/suster/si manyun yang semuanya menyuruh saya bernapas panjang agar tidak mengejan sementara saya sibuk menahan agar tidak mengejan dengan cara bernapas pendek-pendek. Kalau air ketubannya abis duluan, kasian si kelinci kecil di dalam perut saya. Tapi saya bener-bener nggak bisa menahan refleks mengejan itu. Sensasinya seperti kalau muntah lalu otot lambung terus menekan semua isinya keluar tanpa bisa dihentikan. Bidan yang bertugas mengeluhkan bau air ketuban yang menurutnya memang membuat dia tidak tahan. Saya hanya berpikir, baunya seperti sesuatu yang manis, tidak seperti bau muntah yang khas manis tapi aroma asam lambung. Saya nggak nangis walaupun sebetulnya pingin. Yang dominan adalah putus asa dan frustrasi. Saya juga mulai kehilangan kesadaran.
Misalnya, saya nggak ingat bagaimana akhirnya saya telentang lagi. Kontraksi terus berlangsung entah berapa dekat jaraknya, disambut dengan refleks saya mengejan dan saya tahu air ketubannya sudah habis. Saya yang mulai kehilangan seperempat kesadaran itu berpikir, apa lagi nih yang bakalan keluar. Hahaha.
Tapi waktu itu saya masih berpikir bahwa mungkin masih lama sebelum kelinci kecil benar-benar akan keluar. Bidan bilang dokter akan segera datang, sementara itu dia akan mengajari saya mengejan. Errmm... halo? Dari tadi saya sampai monjrot air ketuban segitu banyak bagaikan keran bocor itu saya ngapain ya? Main gundu? Yasudahlah, saya turuti saja aba-abanya sementara itu. "Yak, bagus." Begitu doang. Dalam keadaan normal saya pasti sudah putar bola mata ke atas dan berkata, cape deh. Berhubung kondisinya tidak normal, saya hanya pasang wajah pasrah. Kemudian saya pun boker di atas kasur. Yeah, melahirkan itu nggak seromantis adegan di film-film, pemirsa sekalian...
Entah berapa kontraksi dan spontan mengejan setelah itu, mendadak bidan dan suster pun berkata takjub, "Sudah crowning."
SUDAH APA?
Ooh, udah crowning. |
Hari itu hanya dua orang yang melahirkan, saya dan yang tadi sudah teriak-teriak duluan itu. Untunglah, karena niscaya stress-lah peserta lainnya jika mendengarkan teriakan saya. Alhamdulillah. HEEAHHHH!!! *headbang*
"Ibu, kalau nanti dokternya belum datang, kita akan tetap bantu melahirkannya." Demikian sang bidan berkata. Saya lihat dia sudah tidak lagi memegang telpon. Saya sudah tidak bisa berkata-kata. Agak aneh mendengarnya waktu itu, makanya alis saya berkerut, tapi saya acungkan saja jempol pertanda, "Terserah lo aja, deh." (dalam hati tentu saja) Lalu kontraksi dan saya mengejan lagi. Hyeuk.
Untuk referensi pitch dan ketebalan suara teriakan saat melahirkan, silakan dengarkan Metallica atau KORN |
Dua kali mengejan kemudian, sepertinya kepala si kelinci kecil sudah keluar. Ternyata dia tidak berhasil melepaskan belitan tali pusar di lehernya, jadi saya disuruh berhenti mengejan dulu selama beberapa detik saat belitan itu dilepas, lalu diminta meneruskan. Si manyun nampak antara tegang dan takjub. Dalam proses ini saya diminta memperhatikan keluarnya kepala di bawah sana (mungkin maksudnya biar gak mengejan sambil merem, yang entah kenapa tidak diperbolehkan, dan biar semangat mengejan), tapi apa daya... KETUTUPAN PERUT! Bwee... cis!
Saya tidak terlalu bisa merasakan bedanya apakah kelinci kecil sudah keluar atau belum. Tapi akhirnya saya lihat, itu dia pantatnya, agak pucat kebiruan tertutup lapisan vernix kekuningan. Bidan, suster dan si manyun jelas terasa dan terlihat lega. Pak dokter sih santai saja. "Cowok." Demikian suster berkata. Saya langsung menatap si manyun mencari konfirmasi. "Mana, ini kan seperti punyamu. Cewek." Kata pak dokter sambil membalikkan tubuh kelinci kecil. Saya masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Suster membersihkan rongga mulutnya dari cairan, dan langsung saja terdengar... si kunyit, marah-marah.
Segera setelah tali pusatnya dipotong, ia dibawa pergi keluar. Konon karena air ketuban sudah berwarna hijau keruh, jadi dicemaskan si kunyit keracunan air ketuban atau komplikasi lainnya. Saya terlalu lemas untuk memintanya diletakkan di dada saya saja untuk IMD. Yasudahlah, pikir saya pasrah. Si manyun buru-buru keluar mengikuti suster dan kunyit si kelinci kecil. Saya dipasangi selang oksigen dan diberi suntikan entah apa... yang menyebabkan tidak sadar selama setengah jam ke depan. Sebelum kesadaran saya benar-benar hilang, si kunyit dalam keadaan sudah dibebat rapat dalam bedong dibawa ke saya, dan saya cuma bisa mencium pipinya yang tembem, lalu ia dibawa pergi lagi. Dalam ketidaksadaran itu saya berhalusinasi bahwa saya adalah mahluk entah apa yang berkeliaran di dalam sistem komputer pesawat USS Enterprise, berjumpa dengan aneka bentuk geometris berwarna hitam-putih terang-redup. Di kepala saya bergema suara-suara bariton yang sepertinya bercakap-cakap tetapi dengan kecepatan suuupppeerrr laaaammmmbbbbbaaattt... Ternyata pada saat itu robekan episiotomi saya sedang dijahit. Saya tidak tahu berapa jahitan sampai sekarang.
Ketika kesadaran saya berangsur kembali, rasanya seperti baru saja mabuk akibat menghabiskan setengah botol smirnoff sendirian. Yeeaahh... *hiks* Suster memasang tag pasien di tangan saya sambil menjelaskan bahwa anak saya beratnya 4.1 kg. Saya masih mabuk, jadi informasi ini tidak berhasil menempel di ingatan saya. Si manyun kembali membawa kamera untuk menunjukkan foto-foto yang dia ambil, saya kembali bertanya berapa berat si kunyit. Empat koma satu kilogram. Barulah saya ngeh. Ohmegod. GEDE BANGET SIK YA?! Pantesan berat banget gembol dia dalam perut di tiga minggu terakhir itu. HAHAHA. Di layar kamera digital nampaklah itu, muka bayi yang bulat bundar merah. Reaksi saya yang sedang mabok adalah: "Ya ampuun... Kenapa dia keliatan kayak Mao Tse Tung?"
Chloe Lim, lahir 4 Agustus 2011 pukul 18:45, 4150gr, 50cm. |
Comments
Makasih ya Paman Andika :)
Aku pingin bawa si kunyit ke Bandung kalau dia sudah cukup besar untuk dibawa bertualang. Nanti kita ketemu yaaa :D
bukannya merasa ngeri saya malah ngakak membaca deskripsi proses melahirkan si kecil yang guede bangeth ini.
Selamat ya... !! :))