Munthuk



Mesin kopi yang membuat kegembiraan membuncah itu hanya merebus biji kopi Arabica yang dikemas oleh Excelso. Menurut Asisten HoSO, itu adalah kopi favorit dan terenak menurut selera para peminum kopi akut di kantor tersebut; antara lain Pak To, Pak Jo dan Mas Le, yang kebetulan adalah para petinggi kantor. Staf rendahan macam saya boleh menyeruput sedikit jika mau, tapi harus sadar diri ikut patungan buat beli kopi, karena sepertinya memang tidak ada petty cash untuk mensubsidi kegemaran ngopi dan ngeteh pasukan pegawai bantingan ini.

Saya nggak keberatan ikut saweran untuk keperluan teh gula krimer kopi itu. Di bufet tempat mesin kopi tersebut bertengger, disediakan sebuah kotak dengan tulisan Creamer, Coffee, Sugar, Tea Box. Ide awalnya adalah; setiap kali membuat secangkir teh atau secangkir kopi, cemplungkanlah barang seribu-dua ribu rupiah(minimal) ke dalamnya. Tapi upaya pemberdayaan mandiri ini kurang sukses karena banyak yang tidak menyadari kehadiran kotak tersebut, atau tidak menyadari bahwa kantor tidak menyediakan bujet untuk keperluan coffee-break mereka.

Ini prasangka buruk, dan biarlah tetap demikian karena saya memang mudah berprasangka: kemungkinan ada juga yang beranggapan bahwa kantor seharusnya menyediakan bujet untuk hal remeh semacam itu. "Masak sih beli teh dan gula aja bisa gak ada bujet padahal nilai proyeknya berjuta-juta?" Padahal kalau pertanyaan itu dibalikkan lagi, "masak sih keluar uang 10 ribu sebulan satu orang buat saweran kopi/teh/gula gak bisa padahal gajinya berjuta-juta?" saya yakin kebanyakan akan jadi masam mukanya dan membela diri dengan "kan gak semua orang minum kopi.teh". Maka jika demikian, terbukti bahwa orang-orang semacam ini tidak berjiwa Pancasila

Sepertinya perseteruan ini sudah pernah terjadi sebelumnya sehingga dari pengamatan saya, sebagian besar divisi menyimpan persediaan kopi, teh atau gulanya sendiri.

Kembali ke kopi arabika merek Excelso itu. Harganya sebungkus memang mahalia, dan yang mengkonsumsi memang para petinggi. Tetapi sesungguhnya kopi itu menurut saya tidak enak. Setelah meminumnya tertinggal rasa asam di lidah, dan saya juga sudah bilang ke Diduk tadi bahwa kopi itu rasanya "Kecut kemrengut dan membuat lambungku munthuk." Rasa kecutnya itu membuat muka saya agak merengut, dan lambung saya yang bereaksi dengan munthuk membuat muka saya tambah merengut kusut.

Bagi pemirsa yang tidak menguasai bahasa Jawa, ini adalah ilustrasi yang dapat menggambarkan apakah munthuk itu:

perhatikan yang di mulutnya

Aroma biji kopi arabika saat sedang diseduh oleh mesin kopi itu memang semerbak harum mempesona, tetapi mengingat efeknya yang memunthukkan, kayaknya saya... enggak deh.


Mengutip Yori, "Yaaah, namanya juga hidup, kita ga bisa dapet semua yang kita pengen". 

Jadi biasanya kalau sedang ngantuk berat dan butuh kafein, dan persediaan kopi instan saset saya habis, saya pun terpaksalah meminum kopi kecut kemrengut itu. Saya encerkan dengan air nyaris 3/4 gelas dan segunduk krimer, lalu berharap bahwa lambung saya nggak akan munthuk. Amin.



postingan ini, kayaknya sih  merupakan bagian dari 

Comments

Anonymous said…
Kalo di tempat saya sih bawa kupi sendiri-sendiri untuk dikonsumsi sendiri-sendiri pula. Hehehe.

Jadi, sukanya minum kopi apa?

Nia
mynameisnia.com
Anonymous said…
Saya kalo minum kopi arabica jg suka sakit maag-nya. Terlalu asam. Tp, klo yg robusta (spt kopi Jawa) malah gak.
M. Lim said…
@Nia: kalau saset instan lebih memilih indokape kopimiks. Kalau yang nubruk sih suka fireboat dan kopi aceh :d

@mirnarizka: hihihi... namanya hampir sama ;). kalau kopi beli di angkringan encer sekali. Lebih banyak gula daripada bubuk kopinya. Lambung tidak melintir, dan anehnya mata terang benderang (walaupun enggak lama sih, paling setelah 3 jam ngantuk lagi)

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again