Fase Hidup Coffee Maker


Saya kerja kantoran lagi di Jogja ini. Yang saya kerjakan ya sama saja seperti yang saya kerjakan di kamar: teks.

Tempat saya bekerja ini berupa rumah yang disewa dan dialihfungsikan menjadi tempat kerja. Di dalamnya bernaung dua lembaga non pemerintah yang berfokus pada upaya bantuan dan pemberdayaan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Haha, resmi betul.

Informasi tentang pekerjaan ini muncul di tengah-tengah saya galau karena mepetnya neraca besar rumah tangga. Walaupun biaya hidup di Jogja lebih murah daripada di Jakarta, tapi pendapatan dari pekerjaan lepasan juga jauh lebih sedikit daripada di Jakarta. Jangankan surplus, yang lebih sering terjadi adalah defisit. Pada saat mengirimkan cv lamaran kerja, harapan saya tidak terlalu besar. Kalau diterima ya syukur, nggak diterima ya mepet.

Ternyata selang dua mingguan, di saat harapan saya yang tidak terlalu besar itu pun sudah mengempis sepertiganya, saya dipanggil untuk wawancara. Saya baru sadar bahwa saya tidak lagi punya persediaan baju yang resmi rapi. Sebagian besar baju saya sudah buluk. Saya memang bukan orang yang sering beli baju, dan setahun ini sebagian besar pakaian yang saya beli adalah kain-kain untuk bawahan atau disampirkan di pundak, jelas bukan setelan wawancara kerja kantoran.

Berangkatlah saya, diantar prinscarming, kusut seperti biasa: Celana panjang, kemeja dan sepatu. Untunglah saya masih punya sepatu. Dan celana panjang. Dan kemeja.

Masuk ke dalam kantor itu pertama kali, saya langsung suka karena dingin (hore AC), dan berbau kopi (hore ada coffee maker!). Hari itu juga saya dites, diberi dua dokumen untuk diterjemahkan. Satu berbahasa Inggris untuk diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Satu lagi berbahasa Indonesia untuk diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Saya sebetulnya membawa Meg dalam tas, tapi karena disediakan seperangkat laptop IBM jaman kuda, yang trackpointernya meleset terus di bawah jari saya dan beratnya mungkin 4 kilo, ya saya kerjakan saja di komputer itu.

Susah?

Biasa saja. Tingkat kepasrahan yang tinggi membuat saya mengerjakan dua dokumen itu dalam waktu setengah jam lebih sedikit. Memang di menit ke sepuluh saya sempat gelisah sedikit karena dengan Meg saya terbiasa bisa nyontek widget Thesaurus dan Dictionary, tapi memakai IBM senior itu saya jelas tidak bisa apa-apa. Bisa deng, memakai Thesaurus dalam program MSWord, tapi tetap... rasanya kagok memainkan pentil kecil hijau di antara kunci G dan H, berusaha meng-highlight kata-kata dalam dokumen dan mencari padanan kata dengan F8.

Sesudahnya saya diberitahu akan dihubungi lagi dalam kurun waktu seminggu karena konon kantor itu sedang sangat membutuhkan penerjemah. Penerjemah lama mereka mendapatkan tawaran yang lebih menantang di Jakarta. Dokumen laporan yang harus diterjemahkan sudah menunggu. Banyak pula, katanya.

Melangkah keluar kantor, diantar pulang, kepala saya isinya gumpalan kapas putih. Saya berusaha mengubur pikiran sendiri yang mengatakan "Tadi gampang ah, kalau begitu saja sih sudah pasti dapat!" Rasanya jumawa betul. Iya, memang tragis. Sampai sekarang saya masih sulit membedakan yang mana Rendah Diri dan yang mana Rendah Hati.

Baru dua minggu kemudian saya dihubungi lagi untuk diberitahu bahwa saya mendapatkan pekerjaan itu. Sepanjang dua minggu itu saya berhasil mengubur pikiran "pasti dapat" tersebut. Nyatanya toh waktu ditelepon, saya tidak terlalu kaget atau shock. Yang langsung terpikir oleh saya justru minimnya baju di lemari saya yang masuk ke kategori rapi untuk bekerja di kantor.

Tapi sejauh ini, saya baik-baik saja. Ke kantor setiap hari ya masih memakai baju, tidak telanjang. Sepatu yang setahun tidak pernah dipakai, kembali berfungsi. Teman-teman saya di Jogja sampai heran melihat saya berpakaian. Dibilangnya rapi. Haha. Memangnya selama ini saya ke mana-mana bugil apa?

Alhamdulillah, rejeki memang tidak ke mana. Maka sekarang, sudah hampir dapat dipastikan setiap hari saya bisa ditemukan di kubikel di samping mbak Sekretaris, duduk menghadap Meg dengan senyum lebar. Senyum lebar karena berjarak lima langkah dari kursi saya adalah mesin coffee maker. HURAH!



NB. Terima kasih sudah dan akan saya ucapkan lagi untuk Mas Diduk yang ganteng, yang sudah memberikan informasi mengenai coffee maker ini. ;)

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa