0042

Gue mungkin bukan ratu diet, tapi gue jelas ratu obat-obatan resep.

Salah satu penyebab keakraban gue dengan resep adalah amandel. Dengan bangga gue berani bilang bahwa amandel gue masih utuh. Mungkin ini nggak ada artinya buat orang lain, tapi mempertahankan kedua kelenjar itu hingga umur gue 101 musim begini adalah merupakan suatu pencapaian tersendiri. Terutama kalau mengingat bahwa gue pertama kali terserang radang tenggorokan waktu umur 5. Dan nggak berhenti di situ aja.

Radang tenggorokan perdana itu merupakan awal keakraban gue sama yang namanya antibiotik. Terus ada prosedur menyebalkan buat mengempiskan bengkak amandel keparat itu. Gue harus duduk di sebuah kursi nggak nyaman, dua buah alat yang mirip bet pingpong diletakkan di dekat leher gue. Alat itu memancarkan semacam radiasi, entah sinar atau apa, yang jelas rasanya perlahan dari hangat jadi panas. Dan gue harus duduk disitu antara 45 menit sampai sejam.

One thing I know about children is, you can't expect them to sit still for longer then 5 minutes. They either start fidgeting and making noise, or, they started to doze off. I was the latter kind.

Karena gue harus duduk tegak dan nggak boleh ngapa-ngapain, mengingat gue waktu kecil hiperaktif, akhirnya gue berusaha sok kontemplatif... dan ketiduran. Dan dalam proses penyembuhan itu, ketiduran adalah hal yang menyakitkan karena kepala gue akan miring dan pipi gue kena plat alat pemanas itu... dan kebakar. Dan gue akan terjaga.. awas untuk dua menit, terus nyesh! kebakar lagi...ha ha ha... Kita bisa ketawa sekarang, tapi waktu itu gue menderitaaa banget. Untungnya prosedur itu cuma makan waktu 4 hari... yang rasanya kaya dua bulan buat gue.

Keakraban gue sama antibiotik dan plat pemanas semakin erat waktu kelas 5 SD gue pertama kali didiagnosa sinusitis. Apakah penyakit bernama sinusitis ini?



Di tengkorak kepala kita ini banyak rongga. Dan, di antara kulit dan otot yang melapisi tengkorak kepala kita juga banyak celah. Waktu kita pilek, kelenjar yang terselip di salah satu rongga dan celah itu memproduksi lendir. Lendir ini (alias legho...alias ingus...alias umbel) dimaksudkan untuk keluar lewat lubang hidung. Lewat kesalahkaprahan budaya bahwa buang ingus itu nggak sopan, (iya emang gag sopan sih kalo sembarangan dan utamanya nggak dibungkus tisyu ato saputangan! Langsung heits... CROT! terlontar dari lubang idung kaya proyektil peluru kendali jarak jauh) maka dari kecil kita kebiasaan nyedot ingus itu... yang menyebabkan deposit ingus dalam jumlah banyak pada salah dua atau lebih rongga dan sela. Berhubung ingus itu biasanya berisi bakteri yang semi mampus... maka dari puing-puing kehancuran, bangkitlah tentara bakteri dan virus yang lebih banyak.

TAPI! Biasanya tubuh mampu menyerap cairan ekstra itu dengan sendirinya... hanya saja, kalo kebanyakan, tubuh juga ogah 'kali nyerap sampah dan limbah yang mestinya dikeluarin itu...

Dus, sinusitis. Pada kasus yang parah (kata dokter yg waktu itu meriksa gue) sinusitis bisa berkembang jadi kista, yang berkembang menjadi polip, yang berkembang menjadi tumor... dan selanjutnya harus diiris lepas dari jaringan (baca: daging) yang masih sehat. Oke banget nggak tuh??? Muka lo dibuka gitu, menganga, terus diiris-iris, dan ditutup lagi dengan dijahit. Uhuhuy...

Prosedur pemanasan yang sama dilakukan untuk mengeringkan idung gue dari lendir-lendir ekstra itu. Tapi kali ini pemanasnya dinaikin ke arah pipi gue, terutama yang kiri. Karena gue udah lebih tua, jauh lebih hiperaktif... dan jauh lebih jago ketiduran sambil duduk, tragedi pipi kebakar nggak ada. Sesi pemanasan ini hanya berlangsung tiga kali saja. Selanjutnya gue harus pake obat tetes idung dekongestan yang selalu melarikan diri lewat saluran lain dan turun ke tenggorokan gue (dan rasanya PAITTTT BANGEEETTT), dan tidur harus miring ke kanan. Semenjak saat itu, daripada gue harus berhadapan dengan obat tetes keparat dan plat pemanas biadab, mending gue buang ingus. Tapi, malang tak dapat ditolak, sinusitis itu terjadi lagi waktu gue kelas 2 SMP. Tapi kali ini jurus penanganannya beda. Dimasukin semacam tabung besi panjang ke rongga idung gue yang kiri.. terus... sruuooottt!!! Disedotlah itu deposit lendir warna ijo kekuningan yang warnanya indah sekaligus bertekstur menjijikkan, bergabung dengan entah berapa liter lendir serupa yang entah dari hidung berapa orang sebelumnya. Iiihhhh... Tapi prosedur yang ini cukup menyenangkan. Dalam sekejap gue langsung merasa enteng. Gue nggak harus duduk terantuk-antuk ngantuk selama sejam dipanasin. Pipi gue nggak harus kebakar plat pemanas. Walopun siksaan tidur miring kanan dan obat tetes buduk itu masih harus selalu diterapkan sampai sinus gue kering betul.

Apa kabar si Amandel? Wah, dia pengertian banget. Setiap gue kecapekan dan kena pilek, langsunglah itu amandel bengkak segede buah kedondong. Suara gue ilang, makan gag bisa, dan badan demam tiada akhir. Dalam setahun gue bisa 4 kali kumat. Nyokap gue bersikeukeuh untuk tidak mengambil jalan operasi, mengangkat amandel penghianat itu. Jurus pengeboman pun sering dipakai. Antibiotik dosis kiamat selama 4 hari... dan hebatnya si amandel pun langsung nurut. Begitulah sampai gue kena pilek lagi...dan amandel gue kena lagi. Gara-gara itu sempet selama dua tahun gue gag boleh minum air es, makan es krim dan makan yang pedes-pedes berminyak.


Temen-temen sekelas gue rata-rata udah tidak beramandel. Dengan gembiranya mereka bilang, "abis operasi gue dikasih es krim lho."

Karena pada dasarnya gue dodol, gue bilang ke nyokap "Mak, mau dong operasi amandel!" soalnya gue pengen makan es krim sesudah operasi itu.

Naah... antibiotics for you, sweetie!

Dari pengalaman bertahun-tahun, gue dan nyokap menyimpulkan pilek = sinusitis = amandel kumat. Maka untuk mencegah dua hal itu, pengeboman intensif harus dilakukan begitu ada tanda-tanda pilek. Buktinya bisa lu liat di gigi gue yang semi kuning, tanda antibiotik junkie semenjak usia muda. Hehehe.

Kasus amandel terakhir waktu tahun 2001 bulan Februari. Pulang dari kabur 10 hari ke Bali, karena kecapekan dan patah hati, gue terkapar dua minggu. Gue ngotot pake jurus bom, tapi entah kenapa kurang sukses. Temen-temen gue yang takut gue mati berbusa, langsung maksa gue ke dokter. Dokter itu mengintip kerongkongan gue pake lampu senter kecil.

Dokter Spesialis THT: "wah, ini udah buruk banget. Bengkak banget ini. Infeksi berat. sudah lama ya? Udah nggak ada gunanya ini. Angkat saja"

Mirna sambil berbisik: (karena nggak bisa menelan ludah) "HA HA HA... Bom aja deh, Dok" (bukan Bali, tapi amandel gue)

Setelah 20 tahun lebih mempertahankannya, gue nggak mau amputasi mereka. Dan lagi, amandel itu ibaratnya bodyguard saluran napas. Tanpa amandel, kalo ada infeksi saluran pernapasan, nggak ada yang jagain gerbang pertama. Para virus dan kuman bakteri bakalan langsung ke perhentian berikutnya: paru-paru. OHOK!!! *efek batuk darah* Itu sepasang amandel, kalo dizoom mungkin udah banyak bekas parut lukanya. Macam bajak laut petualang gitu. Pertanda mereka udah bekerja keras jagain gue. Ohhh amandel....

OK, dibom! Tapi...resep antibiotik dari dokter itu tak kunjung meredakan badai virus di badan gue. Sang Ibunda Ratu Alam Semesta akhirnya muncul ke Bandung, dibahanbakari firasat buruk (gue gag mau bilang gue sakit soalnya artinya gue kudu ngaku kalo gue kabur ke Bali), dan insting maternal.

Sama nyokap dibikinin resep antibiotik versi lebih dahsyat (dan memang lebih mahal)... dan DUAR! Gag nyampe tiga hari kemudian, sembuh aja dong. Tak berbekas, tak bersisa. Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa deh.

Penyebab lain keakraban gue dengan obat resep adalah kalo senewen, ekses ke badan gue banyak banget macemnya. Dan nggak ada yang nggak bikin gue menderita. Pernah selama sebulan gue selalu batuk kaya nini-nini begitu lewat jam sembilan. Nggak tau kenapa. Padahal minum es kagak, keluar malem juga kagak, makan gorengan juga nggak. Nggak perduli hujan angin, mau gue udah ngorok kaya badak, begitu batuk itu mulai, langsung gue kebangun dan berakhir dengan muntah. Setiap malam! Selama sebulan! Akhirnya sama nyokap dikasih obat batuk yang cuma diminum kalo malem. Seminggu kemudian, hilanglah batuk itu. ha ha ha... tapi dua bulan kemudian, gue baru ngeh kalo obat itu masuk daftar G karena ada unsur codein-nya. Ha ha ha... sip banget! Pantesan tidur gue kaya kebo, pules banget gag keganggu batuk.

Ada ekses setres gue yang berupa gangguan asam lambung yang cukup membahana. Kalo yang ini pernah selama 6 bulan lamanya, meskipun udah makan, selalu kumat berat. Minimal dua kali seminggu. Melintir melilit dan pusing berkunang-kunang. Pada periode itu, di tas gue selalu ada obat maag konsentrat dalam jumlah masal. Terus satu lagi obat yang diasih nyokap, bungkusnya biru... Nah... yang ini juga harus pake resep belinya, dan dijamin melemaskan otot perut yang kaku menahan derita, otot punggung yang tegang, dan juga otot mata. Khusus bila asam lambung ngedadak kumat di tengah malam. Kalo diminum siang-siang, sindrom kuskus gue bakalan lebih parah lagi. Nggak deh, makasih.

Dan itulah karir gue sebagai the queen of prescribed medicine. You name it, I probably have an access to it. Sedative, Painkillers, anti-depressants, antibiotics. Apakah gue pake? Kadang-kadang. Utamanya sekali dalam sebulan, pasti deh kalo nggak satu tablet, ya dua tablet sedative/painkiller. Kalo gag, hahaha... bisa meletus perang nuklir. Apakah gue ketagihan? Nggak juga... gue yakin lebih ketagihan ciuman daripada obat-obatan. hehehe..... (teuteup wee)

adeuuh... mau dong...

Comments

Chika said…
Please kasih tau gue obat-obatan apa yg bisa nyembuhin amandel. Gue baru divonis kena amandel dan gue parno banget. Gue ga pengen tambah parah :(
Thanks in advance btw.

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again