Pendatang Kesepian

Saya juga pendatang. Dan tiga bulan pertama saya di Jogja rasanya juga kadang sumpek. Karena saat itu saya belum punya teman di luar kantor. Dan saya jenis orang yang biasanya memisahkan antara teman tempat kerja dan teman di luar tempat kerja.
Nah, pada saat saya sedang bosan dulu itu, ditambah capek ditambah bokek, biasanya saya menelpon teman saya yang ada di Bandung dan berkeluh kesah. Bertelepon lama dan ngobrolin hal-hal yang nggak jelas dan kadang gak nyambung dari satu bahasan ke bahasan lain.
Tapi itu dulu. Setelah punya teman di luar kerja, saya merasa baik-baik saja. Kalau bosan di rumah ya saya main atau ngobrol dengan teman. Kalau bosan di tempat kerja atau males keluar ya saya di rumah saja.

Tuh, udah ada yang ngasih tahu, mendingan piknik aja.
Saya juga pendatang. Saya sering merasa dan juga mendengar keluhan betapa makanan yang ada di Jogja nggak enak. Bumbunya cenderung terlalu manis. Sayuran dimasak sampai hancur dan hilang nilai gizinya (a.k.a. gudeg). Mungkin karena saya tukang makan, ya saya berteman dengan orang-orang yang suka makan. Birds of a feather flock together. Bersama teman-teman itu saya jadi tahu tempat makan yang cocok dengan selera saya yang pendatang. Dan jumlahnya nggak sedikit. Banyak.
Bersama teman saya jalan-jalan ke sudut-sudut Jogja yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Terima kasih kepada teman saya jadi tahu kalau dua jam naik motor dari pusat Jogja ada pantai yang sepi dan pasirnya putih. Dan pantai-pantai itu nggak cuma satu tapi banyak. Sebagian besar memang hanya bisa dilihat-lihat atau dipakai buat berendam, tapi ada satu-dua tempat di mana kita bisa berenang.

Sesudah itu ya saya biasa aja. Nggak bosan. Tapi juga nggak terlalu fanatik sama Jogja.

Saya juga pendatang. Saya pernah tinggal di Jatinangor 2 tahun lalu di Bandung 8 tahun. Saya pernah tinggal di Jakarta selama setahun lebih sedikit. Di tiga tempat itu juga, waktu saya baru datang, ada lah basi-basinya, busuk-busuknya, bosen-bosennya. Tapi mungkin karena waktu itu belum ada media sosial, dan saya punya teman, saya curhatnya ke teman.



Saya ikut membuat dia yang kesepian dan bosan itu jadi terkenal. Saya bersalah membuat orang bodoh jadi terkenal. Saya berbagi dengan teman di media sosial salah satu contoh yang baik atas sebuah perilaku yang pantas dijauhi: Menggunakan media sosial untuk meluapkan sampah amarah tanpa berpikir panjang.



Jaman sekarang, dengan begitu banyak jejak informasi yang ditinggalkan di mana-mana, dan bahwa hampir semuanya terkoneksi, apalagi dengan kekuatan mesin Google yang meramban apapun dalam jejaring, mudah sekali menemukan identitas asli seseorang di dunia nyata. Dan buat orang-orang yang lebih selow dari saya, pun mencintai drama terlebih-lebih dari saya, ditambah orangnya iseng luar biasa, nggojeki kere mbaknya itu gampang banget. Apalagi setelah muncul beberapa utas bahasan di Kaskus. Dalam sekejap hidup bisa menjadi sangat tidak tentram. SANGAT.


Perlu kasihan gak ya?

Mungkin gak perlu.
Yang perlu adalah mawas diri.
*berkaca*


Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa