Monster Playgroup (Pt. 1)

Monster saya mulai ikut playgroup hari Senin kemarin.

Saya sempat patah hati dengan playgroup ini. Waktu monster Momo umur setahun lebih sedikit, saya datang untuk mendaftarkan dia ke playgroup ini dengan harapan tahun berikutnya, ketika dia berumur dua tahun, dia bisa mulai bersosialisasi dengan teman seumur. Tapi saya dapat informasi kalau umur dua tahun terlalu muda untuk bisa mulai "sekolah". Saya disarankan meninggalkan nama dan nomer telpon di buku tamu mereka supaya bisa dikabari kalau ada pendaftaran masuk dan informasi sejenis. So I did just that, I left my contact on their guest book and was ready to come again and sign my kid up when she turns three.

Di media sosial, beberapa teman yang anaknya sepantaran (tapi setahun atau lebih tua dari momonster) dan "sekolah" di kelompok bermain ini sering memposting informasi kegiatan. Bulan Juni 2014 lalu adalah akhir tahun ajaran di playgroup ini, diadakan acara open house sekaligus pertunjukan tahunan yang diikuti oleh siswa, guru dan orang tua. Saya datang membawa si monster, mau daftar. Toh, tahun ini Momo 3 tahun. Hari itu Momonster senang sekali karena dia bisa main ayunan, jungkat-jungkit, panjat-panjat, perosotan, dan banyak temannya. Tapi saya pulang merasa pahit.



Jadi pertanyaan saya perihal pendaftaran dijawab dengan, "Tahun ini sudah penuh," diikuti dengan sederet informasi bahwa:
  • Tidak ada daftar tunggu. 
  • Tidak bisa titip nama ke guru/pengurus sekolah.
  • Bisa masuk PG kalau ada anak yang keluar. Pada poin ini seorang ibu menimpali, iya, anak saya harus nunggu tiga kali. Sehingga kemudian muncul tambahan informasi berupa timpalan lagi, oh iya, waktu itu ada yang keluar, saya beritahukan, besoknya ibu (yang menimpali tadi) langsung datang daftar.

And that's about it.
Bingung? Sama. Kalau tidak ada daftar tunggu dan tidak bisa titip nama bagaimana cara penyelenggara playgroup menginformasikan kepada orangtua yang berminat mengenai posisi kosong di kelas mereka? And what is this titip nama thing?
Tambahan dari kebingungan informasi itu adalah tidak nampak ada simpati dari intonasi dan gestur saat menjawab pertanyaan saya. Jaga jarak dan dingin karena bernuansa profesional? Tapi kok informasinya sepotong-sepotong dan nggak jelas juga.
Saya bukan orang yang berpikiran positif. And it was a very long day of a quite exhausting week. Jadi saya bersepeda pulang sambil misuh-misuh dalam hati. Lalu misuh-misuh some more di media sosial. Because I'm just a betch like that. Also because, dalam perjalanan pulang yang misuh-misuh itu saya mampir ke PG+TK lain yang searah perjalanan pulang dan saya mendapatkan informasi perihal pendaftaran di tempat yang itu dengan sangat jelas. Periode daftar kapan. Mulai tahun ajaran baru kapan. Apa prosedur anak bisa masuk ke sana. Biayanya berapa. Kebetulan mereka masih punya tiga kursi untuk PG besar kelas siang. Dan saya masih dibolehkan bertanya macam-macam. Yang sangat kontras perbedaannya selain dari biaya yang tiga kali lipat lebih mahal adalah saya diterima oleh bagian pendaftaran dengan ramah. So, does this mean currency will guarantee how people are being treated? Atau hanya masalah hormonal saja?

Dua pekan kemudian saya ketemu lagi sama teman yang anaknya di PG patah hati itu. Saya cerita kalau kami ditolak di hari open house. Teman saya mengontak lagi beberapa hari kemudian, pantesan, namamu nggak ada kok di buku tamu. Well, I gave my contact nearly two years a go, and I was not offered to fill any guest book or anything during open house. Teman saya bilang dia sudah menuliskan nama saya dan momo di buku tamu + nomer telpon saya. Saya sih sudah pasrah saja dan sudah bikin rencana cadangan untuk memasukkan monster ke TK full day tahun mendatang.

Lalu Kamis minggu lalu saya ditelpon siang-siang.
Apakah masih berminat memasukkan anak ke PG? Jumat besok briefing ya. Senin bisa mulai trial.



Dan itulah kami, di pagi pertama sepekan percobaan monster masuk PG.
Staf yang menjawab pertanyaan saya di hari open house itu, bukan dia yang menelpon saya dan bukan dia juga yang menerima saya. Katanya sih dia sudah tidak bekerja lagi di PG itu, dan sejauh pemantauan saya selama 4 hari ini memang dia tidak kelihatan.
Kesimpulannya?
Yang pingin sekolah anaknya, yang drama orangtuanya.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again