Menabrak Pagar

Headline berita yang beredar di media sosial Minggu pagi kemarin membuat saya tertarik untuk menelusur dan membaca lebih seksama. Rupanya dini hari Minggu di jalan tol Jagorawi terjadi sebuah kecelakaan mobil yang memakan korban jiwa hingga 6 orang dan 9 orang luka-luka. Peristiwa itu dimulai dari mobil sedan yang melaju kencang yang lalu menabrak pembatas jalan, terbang ke jalur lainnya yang sejajar dan berlawanan arah, lalu menghajar dua mobil di jalur tersebut.

Yang membuat berita itu istimewa dibandingkan ratusan berita kecelakaan lain adalah bahwa anak Ahmad Dhani terlibat di dalamnya. Pikir saya, waduh mabok lagi nih anak seleb. Ahmad Dhani sang bintang rock punya 3 orang anak lelaki dari pernikahan pertamanya. Si sulung lahir tahun 1997, berarti tahun ini anak itu berusia 16 tahun, yang tengah berumur 14 tahun dan yang bungsu 13 tahun. Saya pikir yang disebut terlibat kecelakaan adalah si sulung, karena dua tahun lalu si sulung ketahuan merokok dan minum bir saat berada di rumah ibunya dan membuat media heboh dengan berbagai opini. Saya kaget sekali ketika media menyebutkan nama si bungsu sebagai pengemudi sedan yang membawa maut itu.

Kenapa bisa ada anak umur 13 tahun bisa ngebut nyetir mobil di jalanan tengah malam? Tentu saja saya membandingkannya dengan saya sendiri. Umur segitu dulu saya naiknya sepeda. Habis maghrib ya di rumah saja, mau itu malam minggu atau malam selasa. Saya baru pacaran umur 14, dan kerja kami ya bersepeda, sore-sore jam tiga hingga jam lima, beramai-ramai pula.

Di luar sentimen pribadi saya terhadap Ahmad Dhani Prasetyo, saya sepakat dengan Mas Choirul Anwar

bahwa peristiwa ini harus dipandang dalam kerangka yang lebih besar.

Sering saya baca keluhan teman-teman di media sosial mengenai anak-anak kecil yang berkendara sembarangan, usia SD-SMP mengendarai sepeda motor sembarangan dan ngebut, seringkali tanpa helm. Angka kecelakaan yang menimpa anak-anak itu atau yang menimpa orang lain akibat kelakuan anak-anak itu rupanya tinggi sampai muncul kampanye CAMOT: Cegah Anak-anak Mengendarai Motor.

Apakah fenomena ketidaksetujuan kami ini karena saya dan teman-teman saya itu seusia, dan kami berasal dari masa yang sama, di mana orangtua kami tidak mungkin akan membelikan kami motor atau mengijinkan kami mengendarai motor di usia begitu muda, di bawah 13 tahun? Rata-rata kami baru belajar mengendarai sepeda motor atau diijinkan membawa sepeda motor tanpa didampingi di usia 15 tahun. Apakah ketidaksetujuan kami ini hanya fenomena perbedaan zaman? Sebab zaman sekarang tingkat perekonomian orang pada umumnya sudah lebih baik daripada dulu, kebanyakan orang sudah mampu membeli sepeda motor dengan mudah. Anak zaman sekarang juga konon lebih canggih dari dulu, sudah mahir mengoperasikan aneka perangkat canggih, bahkan belajar bahasa asing semenjak sekolah dasar.

Putra Ahmad Dhani memang tidak mengendarai motor, ia mengendarai mobil tapi ini lebih berkaitan pada kemampuan ekonomi orangtuanya. Jika kendaraannya diubah menjadi motor, misalnya, dan kecelakaannya tidak terjadi di jalan tol tetapi di jalan kampung, esensinya tetap sama. Ia berusia di bawah 17 tahun di lewat tengah malam mengendarai kendaraan bermotor sendirian tanpa SIM, tanpa didampingi orangtuanya, bukan dalam rangka latihan, ngebut, lalu terlibat kecelakaan yang tak hanya mencederai dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.

Kenapa masyarakat menganggap anak di bawah umur memalsukan SIM, berkendara tanpa mematuhi peraturan lalu lintas, anak-anak SMP naik motor sebebasnya adalah suatu hal yang wajar dan dimaklumi? Sejak kapan orang tua menjadi permisif pada anaknya, pada kasus ini dalam berkendara dan keselamatan berkendara?

Ketika SMA, memang sudah ada beberapa teman yang memalsukan SIM, dan pada masa itu sepertinya bukan sesuatu yang aneh juga. Alasan mereka membawa kendaraan bermotor sendiri adalah karena rumah mereka jauh dari sekolah.  Alasan ini tetap dipakai hingga sekarang, sebuah justifikasi bagi orangtua untuk mendukung anak-anaknya melakukan sesuatu yang ilegal (mengendarai kendaraan bermotor di bawah usia dan memalsukan dokumen). Alasan-alasan lain biasanya adalah,
"naik kendaraan umum nanti macet, bisa telat ke sekolah,"
"kasian nanti perjalanan jauh, harus ganti kendaraan umum sekian kali, toh lebih murah naik motor,"
"anaknya sudah bisa bawa motor, kan bagus sudah mandiri."
Justifikasinya adalah cinta kasih orangtua kepada anak mereka. Orangtua tidak mau anaknya susah sengsara, berdesakan di angkot, risiko kecopetan, kepanasan, kehujanan, telat karena macet, atau mungkin diculik dan diperkosa. Orangtuanya ingin anaknya mandiri.

Tapi, apakah orangtua-orangtua itu sadar bahwa alasan peraturan surat izin mengemudi dibuat setelah berusia 17 tahun itu ada sebetulnya karena didasarkan dari batas kematangan cara berpikir? Mungkin para orangtua itu lupa bagaimana rasanya berusia 15 tahun dan tidak bisa mati. (Saya sendiri sudah mulai lupa rasanya, dan semoga saya tidak akan benar-benar lupa bahwa saya pernah merasa demikian) Pada usia belasan ini memang waktunya anak-anak menjadi "nakal". Mencoba membenturkan diri ke "pagar-pagar" yang ada, menguji batasan dirinya sendiri dan batasan orang lain. Berbuat salah memang cukup wajar, dengan harapan mereka bisa belajar dari kesalahan itu, belajar dari benturan yang mereka alami.

Apa yang bisa dipelajari seorang anak 13 tahun dari kecelakaan mobil yang menghilangkan 9 nyawa manusia?

Saya mendadak teringat kata-kata salah seorang teman saya, ketika mendampingi putra-putranya ke taman bermain, dan berhadapan dengan anak-anak (dan orangtuanya) yang sepertinya nilai-nilai kognitif mental sosialnya lebih rendah jika dibandingkan dengan standar dalam  mata pelajaran PMP/PPKN/Budi Pekerti. "Bapak mau mengajari anak bapak atau mau saya yang mengajari mereka?"
Jika bukan Ahmad Dhani yang mengajari putranya, maka publik yang akan "menghajar" anak itu. Terlebih karena Ahmad Dhani adalah seorang figur publik, orang terkenal, bahkan idola bagi orang-orang tertentu. "Ajaran" yang diterima tentunya akan lebih keras dari orang biasa.

Semoga saya bisa menjadi orangtua yang lebih bijak.




Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa