Chloe dan Facebook
Sejak berusia sekian menit, Chloe sudah menjadi objek foto kami, kedua orangtuanya yang euforia anak pertama. Foto itu langsung diunggah ke media sosial beberapa jam kemudian. Kami melakukannya karena merasa bahwa kebahagiaan ini harus segera dikabarkan ke teman-teman kami.
Karena tertakjub-takjub dan dalam euforia, hampir setiap hari kami mengabadikan Chloe dalam jepretan kamera, rekaman video, rekaman audio. Beberapa diunggah ke media sosial, sekali lagi dengan alasan untuk berbagi berita perkembangan dan pertumbuhan si kelinci kecil dengan teman dan keluarga.
Does anyone else really care?
Bagi beberapa teman yang sudah menjadi orangtua juga, euforia membagi tiap detil perkembangan anak pertama ini mungkin akan dipahami. Dan pasti ada yang tak terlalu suka atau terlalu perduli juga. Itu bukan masalah bagi kami. Kami sadar Chloe hanyalah satu dari entah berapa puluh juta anak yang ada di dunia ini. Ia normal saja. Ia istimewa bagi kami, orangtuanya, karena ia anak kami, anak pertama pula.
Saya pribadi tidak terlalu memusingkan jika teman saya di media sosial tidak suka dengan update soal Chloe. Sifat media sosial itu menyediakan pilihan untuk membisukan pemberitahuan yang tidak disukai. Saya yakin dan percaya diri teman-teman saya paham dengan sifat dan perangkat pilihan media sosial itu.
Is it too much?
Seberapa banyakkah batasan yang mengubah biasa saja menjadi berlebihan? Yang berlebih bagi saya mungkin malah biasa saja bagi orang lain, pun sebaliknya. Perkara ini masih berkitar di kepala saya kok.
Di bulan Desember 2012 Lily Allen, iya, yang musisi itu, mengetweet betapa ia gemas pada batitanya yang dipasangi kostum bernuansa Natal. Dia bilang seandainya dia tidak perduli dengan hak privasi anaknya, pasti dia akan mengetweet foto anaknya itu. Membaca ini membuat saya merasa bagaikan Kourtney Kardashian yang anaknya disertakan dalam reality show.
Duabelas tahun yang lalu, masalah privasi dan akses publik terhadap foto, video dan rekaman suara pribadi ini bukan sesuatu yang terlalu mengganggu benak kita yah. Tapi sekarang media sosial dan sambungan internet sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Orang mau makan aja dipotret dan dibagi di jejaring media sosial. Untungnya saya masih sadar, untuk apa, apa saja, di mana, melalui apa dan kepada siapa saya berbagi tentang Chloe.
Jadi, sebetulnya, intinya adalah, pengendalian diri *kibas sorban*.
Yang potensial menjadi masalah di kemudian hari adalah perkembangan psikologis Chloe sebagai bagian dari generasi Y. Seberapa banyak akses pada teknologi dan internet yang akan diberikan kepada dia, bagaimana mendampingi dia dan mengontrol apa saja yang bisa diakses, dan seterusnya. Juga persiapan mental kami sebagai orangtua berkaitan dengan identitas Chloe sebagai bagian dari generasi Y, semuanya instan dan dibagi kepada dunia dalam hidungan sekian bit per detik. Bukan tidak mungkin dia akan berkembang menjadi alay pada umumnya, meskipun saya sebagai ibunya merasa bahwa alay itu nista.
Menutup pemikiran rumit di pekan ini, inilah dia Chloe, mencicip durian pertamanya. Semoga dia menjadi orang yang sehat, kuat, pintar dan seimbang.
Comments
Baby Boomers adalah yang lahir paska perang dunia kedua. di mana orang banyak beranak karena ya... udah masa damai.
Kemudian Hippie atau Flower Generation adalah yang pas akil balignya tahun 60-70an dan itu lho, yang kembali ke alam, hentikan perang vietnam, gausah cukur kelek atau pakai deodoran...
Kemudian Yuppie adalah anaknya Flower generation yang geuleuh sama Hippies yang kerjanya teler terus. Lebih baik kerja. Dan mereka merasakan awal masa digital tahun 80an, era tinggal landas perekonomian. Merasakan kemapanan.
Kemudian anaknya adalah generasi X. kayaknya kita masuk X deh. Gue lupa X ini apaan cirinya... (males menggugel)
Nah, anaknya X adalah Y.