Balada Tetangga Kampret

Di sebelah Timur rumah kontrakan kami tadinya adalah sebuah tanah kosong. Tanah itu sejatinya bagian dari rumah yang kami tempati ini, tapi lalu karena perkara warisan maka tanah itu dibatas tembok.

Awal 2010 J mendapat kabar dari tetangga kalau tanah itu sudah laku terjual dan akan dibangun (katanya) sebuah showroom mobil. Sekitar dua bulan kemudian pembangunan mulai dilakukan di tanah kosong itu. Letusan Merapi di akhir 2010 tidak menghentikan pembangunannya. DAK DEK DOK DAK DEK DOK....

Awal tahun 2011 si tukang makin ngebut mengerjakan itu rumah. Berisik bukan main! Potong keramik malam-malam sampai kesabaran menguap lenyap di ubun-ubun.

Tembok baru tetangga itu menjulang lebih tinggi semeter dari atap rumah kontrakan kami. Sinar matahari sore pun terhalang dari menyentuh halaman belakang kami dengan leluasa. Sudah begitu tukang bangunannya semacam slordig. Asal nemplok semen sampai berguguran ke atap dan dekat sumur. Pun dinding itu tak merata disemennya. Sehingga nampak buruk sekali jika dipandang dari halaman belakang kami.

Ketika akhirnya para tukang itu berhenti, ketenangan kembali. Hanya untuk beberapa hari. Pemilik rumah baru itu pun pindah menempati istana mereka. Keluarga muda dengan dua anak lelaki kecil yang berisiknya bukan main. Perkenalan pertama saya dengan mereka adalah pada pukul 7 pagi terdengar anak yang kecil merengek "Ma, remote tvnya mana Ma? Ma, remote tvnya mana, Ma?" diulang-ulang sampai akhirnya terdengar TV dinyalakan.

Game Tetangga Kampret... eh maksud eik Neighbours from Hell

Kami bisa mendengar hampir semua kegiatan yang mereka lakukan.

Ganggu banget. Terutama karena lahan rumah mereka itu luasnya lebih dari 150 meter persegi dengan bangunan yang besar modern mewah, bukannya rumah kompleks tipe 38 yang dindingnya setipis kardus.

Setelah diganggu tukangnya, pemilik rumahnya ternyata lebih gengges lagi.

Tetangga baru kami itu (katanya) berprofesi jual-beli mobil. Untuk mengakomodasi usahanya ia memasang pavingblok menutupi seluruh permukaan tanah halaman depannya yang luas. Ia memasang teralis di perbatasan halaman depan rumahnya dengan halaman depan rumah kami (heh?). Entahlah, mungkin alasan keamanan. Kemudian, tamu-tamunya suka parkir mobil sembarangan di depan pintu pagar kami (heh!!).
Kemudian, ia melakukan hal yang tak termaafkan. Ia menebang bersih pohon sawo yang ada di pojok timur depan rumahnya. Pohon sawo yang usianya mungkin sudah lebih 100 tahun. Ia tebang habis lalu ia ganti dengan konstruksi saung bongkar pasang dengan bahan kayu jelek yang nampak kumuh rusuh.
Karena hal itu ia resmi menjadi Tetangga Kampret yang sesungguhnya bagi saya.

Balada Tetangga Kampret seringkali menjadi bahan bahasan saya di socmed sebelah. Seperti misalnya ketika pada pukul 3 pagi saya bisa mendengar alarm telepon canggih Blackberry si Tetangga Kampret berbunyi nyaring. Tanpa henti. Sampai pukul 5 pagi. Dan itu terjadi tidak hanya 1-2 hari tapi nyaris setiap hari.

Sebulan lalu kami mendengar kabar, bahwa Tetangga Kampret (katanya) sudah menjual rumah mereka dan mau pindah.

Lho? Tentu saja saya penasaran, tapi saya lebih cemas yang beli rumah mereka nantinya lebih berisik. (Katanya lagi) Pembeli rumah mereka berencana menggunakan bangunan itu sebagai kantor.  Semacam agen tiket dan perjalanan (katanya). Kami sudah pernah bertetangga dengan kantor. Sisi positifnya adalah kegiatan kantor berhenti pukul 5 dan sesudah itu dunia tentram.

Apakah Balada Tetangga Kampret akan berakhir sampai di sini?
Konon mereka akan pindah dari rumah itu akhir bulan ini. Kita lihat saja ya. Saya sih tidak akan merindukan mereka.

The Osbournes, Tetangga Kampret paling keren


Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again