Resensi Garis Perempuan: Tentang Perempuan, Tubuh dan Kuasa Atas Diri

Garis PerempuanGaris Perempuan by Sanie B. Kuncoro

My rating: 3 of 5 stars

Buku ini adalah salah satu novel kontemporer Indonesia dengan alur yang rapi jali. Jalinan ceritanya bersumber pada empat sub-plot yang masing-masing mengikuti seorang perempuan muda yang sudah saling akrab sejak kecilnya; Ranting si yatim dan miskin, Gendhing yang keluarganya kekurangan, Tawangsri yang keluarganya nampak normal tetapi ternyata kurang fungsional dan Zhang Mey yang keluarganya lengkap normal fungsional tapi mengekangnya dalam tradisi.

Sebetulnya keempat perempuan muda ini terikat pada tradisi tanpa terkecuali. Ini baru saya sadari di akhir masing-masing sub-plot dan kemudian keempatnya dipertemukan lagi di setting yang juga dipakai untuk membuka novel ini. Keempatnya hampir mendobrak tradisi tapi lantas memilih untuk tetap berada di dalam garis batas. Kecuali Ranting, yang sepertinya hidupnya paling rumit dibandingkan ketiga sahabat masa kecilnya.

Ranting harus menempuh plot klise 'menyerah pada nasib yang menentukan lain' setelah segala usaha dan upayanya. Kemudian penulis memberikannya jalan keluar yang manis romantis dari plot klise itu untuk mengakhiri kisahnya yang ruwet. Jalan keluar itu mendobrak aturan tak tertulis yang membelit Ranting dari segi plot maupun dari segi tradisi.

Sayangnya penulis tidak berbelas kasihan pada tiga perempuan muda lainnya. Dua dibuat patah hati, dan satu dibiarkan mengambang tanpa kepastian.

Plot dan penulisan yang rapi jali membuat saya meluncur membaca buku ini tanpa kesulitan yang berarti. Penulis juga sangat memperhatikan grafik tensi plot ceritanya, naik-turunnya drama tertata nyaman sehingga tidak membuat lelah membaca. Yang saya tidak biasa hanyalah gaya bahasa formal yang digunakan para tokoh dalam buku ini, terutama untuk bagian cerita Tawangsri. Memang hanya masalah preferensi saya pribadi saja, karena sulit rasanya membayangkan orang menggunakan bahasa seformal itu dalam realitas sehari-hari, kecuali dalam sebuah pertemuan formal cenderung ilmiah.

Selain gaya bahasa itu, ada satu bagian dialog yang nampak janggal dan di luar karakter pada bagian awal buku ketika Tawangsri kecil dan bundanya berdialog mengenai esensi keperawanan sambil melipat kain batik dagangan. Tapi hanya satu kali itu saja sang Bunda mengutarakan kalimat yang di luar karakternya.

Untuk plot Zhang Mey, muncul penasaran di benak saya. Keturunan cina di Indonesia berasal dari berbagai suku yang masing-masing punya bahasanya sendiri, tidak semuanya bisa berbahasa Mandarin. Setahu saya di Surabaya dan Jogja banyak orang Hokkien, jadi mereka bicara dengan bahasa Hokkien. Di Pontianak banyak Haka, Gek dan Tiociu, jadi mereka bicara bahasa Haka atau Gek atau Tiociu. Bahasa-bahasa ini berbeda sekali satu sama lain walaupun di telinga awam kedengaran sama: cina. Bedanya seperti jika bahasa Batak dan bahasa Jawa dibandingkan.

Nah, saya kurang tahu suku apa yang mendominasi populasi warga keturunan Cina di Solo, dan apakah mereka semua menggunakan bahasa Mandarin sehari-harinya di rumah.

Hal lain yang muncul di kepala saya setelah selesai ngebut membaca buku ini adalah: hidup perempuan apakah hanya di seputar perawannya / menikah tidak menikahnya saja? Karena entah kenapa, rasanya itu yang saya tangkap dari kisah keempat sahabat ini. Seluruh hidup mereka seperti tersendat atau terganjal pada permasalahan keperawanan ini, yang tentunya berimplikasi pada banyak aspek lainnya dalam eksistensi mereka.

Akhirnya, buku ini cukup menarik untuk dibaca. Cukup memperkaya pengetahuan dan memperluas wawasan. :)

View all my reviews

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again