Keran Bocor

Hari Minggu kemarin seperti biasanya si Manyun susah dibangunkan karena menurut dia hari Minggu itu libur. Artinya sepanjang hari libur dari melakukan apa-apa. Kegiatan hari Minggu adalah tidur. Seharian.

Jelas saya nggak sepakat, lagipula hari Sabtu kemarin dia sudah berhasil membelokkan niatan saya pergi ke Gramedia menjadi pergi makan karena dia malas menunggu sementara saya menghabiskan waktu berjam-jam menelusuri rak buku. Cih.

Cuaca paginya cukup mendung tapi saya yakin bakal cerah. Setelah selesai mandi dan tetekbengek saya pun pamit pergi. Naik bis. Ke Gramedia! Hurah!

Tahun ini sebetulnya saya tidak membuat resolusi apa-apa selain menikah dan punya anak, tapi karena membaca thread plurk beberapa teman mengenai blog yang mereka buat bersama, saya tersadar bahwa saya sudah lama tidak banyak membaca. Satu buku tiap satu minggu terdengar cukup realistis, maka saya pikir, ya sudahlah, mari memperbanyak membaca.

Upaya ini sudah dimulai dengan saya membeli buku Diponegoro tulisan Remy Sylado beberapa pekan lalu. Novel fiksi bergenre sejarah. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya membeli buku karena ingin membaca isinya, dan lalu merasa puas sekali sesudah membacanya. Buku itu sudah selesai saya baca tapi belum saya tulis resensimya, akan menyusul. Sebetulnya masih ada beberapa buku yang belum saya baca, pemberian dan pinjaman, tapi saya masih malas menyentuh mereka.

Kunjungan ke Gramedia ini memiliki misi untuk menemukan buku yang benar-benar ingin saya beli karena ingin saya baca. Maka, sekitar dua jam saya habiskan berkeliaran di antara rak-rak buku, mencari-cari, karena saya rewel. Inginnya membaca buku berbahasa Indonesia yang bukan terjemahan dari buku berbahasa Inggris.

Tapi apa yang terjadi?

Setelah tersesat di antara komik-komik (ehem), buku pertama yang saya putuskan ingin beli dan baca adalah Warna Tanah, sebuah novel grafis karya Kim Dong Hwa. Kemudian saya berpikir, sebaiknya membeli satu lagi, dan setengah jam kemudian di atas Warna Tanah itu menumpuk satu salinan buku tulisan James Herriot berjudul Dogs Stories.

Dua-duanya jelas terjemahan. Bleh.

Dalam perjalanan pulang, mendung menjelang. Bukan tanpa saya perkirakan. Tebal sekali sampai-sampai langit tampak seperti lukisan tinta cina. Kelabu hitam dalam berbagai tingkat gradasi. Cantik tapi agak seram. Saya duduk menunggu transjogja 3A cukup lama. Sambil duduk menunggu saya membuka dan membaca Dogs Stories.

James Herriot menulis dengan luwes, dan syukurlah terjemahannya pun luwes, jadi sepanjang membaca hanya satu kali saya berhenti karena satu kalimat yang menurut saya agak aneh, tapi tidak terlalu mengganggu. Kisahnya tentang kehidupan James Herriot sendiri sebagai seorang dokter hewan di kampung Yorkshire, tahun 30-an sampai 50-an. Ia menuliskan tentang pasien-pasiennya, baik anjing maupun manusia mereka. Benar-benar, seperti yang dijanjikan oleh kutipan yang dicetak di sampul buku itu, saya dibuat tertawa dan menangis.

Jika pekan lalu si Bert menahan mewek di mall karena membaca Boy in Striped Pyjama, sesungguhnya itu lebih memiliki harga diri daripada ketika saya mulai meneteskan air mata besar-besar di bangku tunggu shelter Transjogja hari Minggu kemarin. Setelah beberapa cerita yang manis dan lucu, muncullah cerita sedih pertama tentang euthanasia pada seekor anjing. Saya jadi ingat Coki yang dua tahun lalu mendadak mati tanpa diduga. Ah, sedihnya. Seorang bapak yang baru masuk ke shelter itu dan duduk di sebelah saya terkejut melihat saya menangis.

"Kenapa mbak? Kok nangis?" Tanya si bapak prihatin.

Bo, gimana gue jelasinnya yes? "Ini ceritanya sedih, pak," sambil agak tengsin, menunjuk ke buku yang sedang dipegang.

"Ha, lha kok sampai nangis. Buku apa itu?"

Tuh, kan. Gimana jawabnya hayo? Yakin deh, dese pasti susah paham kenapa gue bisa nangis cuma karena baca cerita soal guguk yang disuntik mati. "Eung, buku soal dokter hewan."

"Oh ya, ya," si bapak basa-basi. Saya buru-buru sedot ingus dan lap air mata yang ternyata masih aja netes-netes. HADUH! Keran bocor!

Comments

salamatahari said…
Mir, jangan salah, cerita tentang binatang2 emang paling gampang bikin nangis ...
Nia Janiar said…
Setuju sama Dea!!
M. Lim said…
lho, memang. lebih gak tahan denger/lihat cerita binatang dianiaya dibandingkan cerit manusia dianiaya.

TAPIII...

dalam kasus ini masalahnya terletak pada kata kunci: anjing.

Gak semua orang di pulau Jawa menganggap anjing itu binatang yang penting dan layak ditangisi.

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Monster Playgroup (Pt. 1)