Raksasa Tidur

Raksasa tidur itu bukan Kumbakarna yang patriotik. Raksasa tidur ini berada di tengah-tengah pulau Jawa. Namanya adalah Merapi, Meru (gunung) yang mengeluarkan api. Sesuai namanya, tahun ini sang raksasa terbangun dari tidur dan mulai memuntahkan api.

Saya belum dua tahun tinggal di kota Yogyakarta, pusat provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berpenduduk sekitar 3.5 juta jiwa. Daerah Istimewa ini terbagi menjadi empat wilayah kabupaten dan satu kotamadya. Laut yang ganas membingkai di Selatan provinsi, sementara di Utara menjulang Merapi setinggi 2968 meter dari permukaan laut. Turis asing dan domestik datang ke Jogja sepanjang tahun tidak perduli hujan atau panas, mengunjungi kota, mengunjungi candi-candi kuno di ujung Timur dan Baratnya; Prambanan dan Borobudur.

Arus turis ke kota ini mengalami beberapa kali surut; ketika dunia dihantam krisis ekonomi tahun 1998, ketika pulau Jawa dihantui teror bom yang merebak semenjak tahun 2001-2003, ketika gempa besar melanda bagian Selatan provinsi istimewa ini tahun 2006, kemudian sekarang setelah raksasa tidur itu bangun dan muntah mulai 26 Oktober 2010 lalu.

Akhir pekan setelah Jumat 5 November itu dimulai lebih awal. Kamis malam, kami yang berjarak 30 km dari sang raksasa bisa mendengar gemuruh pelan, getaran dari gunung Merapi. Seperti guntur yang bergulung-gulung dengan nada rendah dan lama. Hampir setengah jam gemuruh terdengar. Anjing-anjing di kampung sekeliling rumah mulai ramai menggonggong serentak. Saya tadinya tertidur, lalu terbangun karena mendengar si manyun gelisah. Si manyun gelisah karena sejak sore sudah memantau komunikasi radio frekuensi pendek yang digunakan para relawan pengamat gunung. Saya jadi gelisah juga mendengarkan berita dari komunikasi radio, gemuruh gunung dan gonggongan anjing sekampung. Untunglah anjing-anjing itu tidak menggonggong lama.

Tempat saya mengambil file foto ini tidak memberikan kredit siapa fotografernya. Menurut keterangan foto ini diambil 5 November 2010 dini hari saat letusan terbesar terjadi

Jumat dini hari di twitter ramai berkicau para relawan yang panik harus memindahkan ribuan penyintas dari tempat-tempat penampungan yang masih berada dalam radius bahaya. Ribuan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara mengatur orang sebanyak itu meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Mereka naik apa?

Jumat pagi saya masuk kerja. Semua orang di kantor dalam keadaan tegang. Teman yang satu ruangan dengan saya bercerita bahwa ia akhirnya mengungsi juga karena rumahnya dini hari itu termasuk wilayah bahaya 20 km dari puncak Merapi. Jalanan macet karena semua panik mengungsi turun dari lereng Merapi. Sekitar pukul 10 pagi masuk surat elektronik pemberitahuan bahwa staf yang harus mengungsikan keluarga diizinkan tidak masuk hari itu. Karena saya sudah mengungsi dan tidak harus mengungsikan sanak kerabat, ya saya... tetap di kantor, menikmati sensasi ketegangan sepanjang hari. Hyeuk.

Malamnya saya berhasil membujuk si Manyun untuk mempersiapkan tas dan rancangan jalur evakuasi karena hari itu Kota Jogja yang jaraknya berkisar antara 25-30km dari puncak gunung sudah dinyatakan dalam keadaan Siaga. Saya rasa dia mau mengemas barang dalam tas karena melihat saya gelisah dan senewen sejak hari Rabu. Mengemas tas evakuasi membuat saya kalem sedikit.


Sebagai pendatang yang tergolong baru, saya ikut mengalami shock yang dialami oleh banyak pendatang di kota Jogja. Terutama pendatang yang memadati daerah Utara Yogyakarta, yang kebanyakan adalah mahasiswa perantauan. Kami tidak menyangka Merapi akan meletus sedahsyat ini. Shock dan ketakutan padahal sebagian besar para pendatang itu tinggal di luar wilayah radius 20 km yang ditetapkan sebagai wilayah AWAS semenjak 5 November 2010.

Semenjak awal letusan Merapi tahun ini dan hujan abu menerpa Jogja, orang pertama yang harus saya tenangkan selain diri sendiri adalah Yang Mulia Ibu Ratu Alam Semestaku. Setiap perkembangan baru dari gerak-gerik si raksasa yang terjaga itu harus dilaporkan pada beliau, sekaligus untuk memberi kabar bahwa saya masih hidup dan baik-baik saja.

Sepertinya strategi saya memberi kabar secara berkala berhasil membuat beliau agak tenang karena saya tahu pasti banyak orangtua yang menyuruh anaknya keluar dari Jogja secepat mungkin. Akhir pekan itu banyak pendatang yang eksodus keluar dari kota Jogja. Mereka yang eksodus dan yang meminta agar eksodus, semuanya panik karena melihat berita di televisi. Dan saya tahu pasti televisi hampir selalu menyala di rumah Ibu saya. Upaya saya memberi kabar beliau dengan rutin berhasil mengatasi kepanikan akibat TV. Bapak juga menonton televisi. Beliau hanya mengirim satu sms kepada saya menanyakan kabar dan menganjurkan saya waspada, mempersiapkan jalur evakuasi, meninggalkan Jogja hanya jika saya sudah benar-benar merasa tidak nyaman.

Semenjak akhir pekan itu jalanan Jogja menjadi cukup lengang. Saya yang tegang malah merasa cukup senang. Jarang-jarang jalanan sepi santai.

Merapi muntah hebat nyaris tanpa henti sampai setidaknya Minggu 7 November.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again