Turis Malas Pakai Baju

Turis malas yang kere dan sok minimalisme biasanya membawa baju cuma sedikit. Kalau bertanya pada tuhan Google, pasti akan ditunjukkan beberapa diskusi tentang seberapa banyak baju yang harus dibawa dan bahan apa saja sebaiknya. Di salah satu diskusi semacam itu saya pernah membaca orang yang hanya membawa dua pasang baju, yang salah satunya dia pakai. Baju itu dia cuci bergantian. Nggak kebayang? Nggak apa-apa. Karena ada  yang lebih nggak kebayang lagi: seorang pelancong kere mengaku untuk perjalanan berbulan-bulan dia cuma bawa baju satu, kering di badan, secara harafiah. Jadi pagi-pagi dia mandi, bersabun, sambil tetap memakai baju. Mari bersorak hiphiphurah!

Pack light, wear loincloth! Like Conan!

Bepergian di wilayah Asia Tenggara buat orang Indonesia sangat menguntungkan karena seekstrim apa pun, yang dihadapi hanyalah hujan air, panas dan kelembaban.  Kita sudah terbiasa dengan ketiga hal itu sekaligus berbagai konsekuensinya (nyamuk, serangga, banjir, la la la). Permasalahan serius baru akan timbul kalau harus bepergian ke negara empat musim yang temperaturnya bisa turun dengan ekstrim hingga minus derajat celcius, sementara gegar budaya membuat martabat dan harkat turut menjadi minus. Ahey. Lanjut.


cucian empat musim


Saya beruntung karena ternyata di antara tumpukan baju saya ada beberapa pakaian istimewa. Keistimewaan mereka adalah karena saya suka memakainya, bahannya ringan dan dingin, mudah digulung tak makan banyak tempat, dan jika basah cepat keringnya.

Kebanyakan baju-baju tersebut saya sudah punya sejak lama, dan saya baru menyadari keunggulan mereka dibanding baju lain pada saat saya sudah mulai berpindah-pindah dan bepergian. Nah, karena sudah punya lama, rata-rata 5 tahunan, sungguh tidak mengherankan kalau baju-baju itu pun satu demi satu menjadi buluk, robek dan koyak oleh penggunaan yang intensif. 

Sengaja mencari baju yang tipis, mudah kering tapi tahan lama untuk kepentingan perjalanan pariwisata bergaya kere ternyata susah. Mungkin jika dilakukan secara tidak sengaja malah bisa nemu banyak. Si manyun misalnya, berusaha mencari celana lapangan yang ringan dan mudah kering dan berwarna hitam, susahnya bukan main. Kebanyakan celana semacam itu dibuat dengan bahan berwarna cerah. Kami berhasil menemukan satu celana, pendek, berwarna biru navy pekat yang nyaris yanghitam di mata saya. Si manyun pun manyun. Menurutnya hitam itu prinsipil. Saya melengos mendengarnya, dan membeli celana trekking warna abu-abu untuk saya sendiri. HURAH!


Celana yang bisa dicopot separuh menjadi celana pendek semacam ini sebetulnya saya pernah ingin punya, tapi selama ini saya belum pernah menemukan yang bahannya lemas dan ringan. Maklum, nama trendi celana itu kalau di Indonesia adalah "Celana Lapangan", dan sesuai dengan namanya maka ia dipakai untuk kegiatan hardcore di alam terbuka di luar rumah. Biasanya yang memakai adalah anak-anak pecinta alam dan sebangsanya. Dibuat untuk naik gunung, bahan celana yang tebal konon bisa membuat pemakainya merasa hangat. 

Sewaktu membeli celana trekking itu, yang membuat keputusan saya bulat adalah ketika meraba bahan kainnya, nampaknya mirip dengan celana lama saya yang mudah kering itu. Ringan, tipis tapi mantap. Sesampai di rumah, baru saya membaca dengan cermat petunjuk pemakaian yang tercetak di kantong bagian dalam celana itu: TAHAN NODA, TAHAN AIR, MELINDUNGI DARI ELEMEN (maksudnya angin, air) DENGAN SIRKULASI UDARA YANG SANGAT BAIK.

Saya membeli celana itu seharga seratus ribu rupiah, dapat kembalian lima ratus rupiah.
Mari kita bersorak hiphiphura! *horeeee*




Comments

abcde said…
turis gila,modal nekat tapi keren. jadi mikir badannya terbuat dari apa sampe anti masuk angin? haha

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again