Seni Bermalas di Akhir Pekan
Sepertinya saya jenuh. Begitu cetus saya di hari Jumat. Nyai Meliponny juga mengalami jenuh. Muak muak muak. Kami lantas begitu saja berencana hendak berjemur malas di kolam renang. Tidak usah puasa dulu, begitulah. Semacam yang penting sekali kegiatan kami ini.
Setelah bangun terlambat dan menemukan tempat berendam kami tidak bisa digunakan karena sedang dalam perawatan dan perbaikan, kami berdua berboncengan pergi jauh ke arah Selatan, menuju sebuah tempat yang diusulkan oleh Magnus Theodorus. Tempat itu konon memiliki tempat berendam yang sangat eksotis, dikelilingi hijau pemandangan sawah, yang konon membuat bos Magnus di tempat kerja sangat terpesona hingga berendam berlama-lama sampai batuk.
Oke, informasi yang terakhir itu sebetulnya juga nggak penting. Saya cuma pengen melakukan sesuatu yang aneh dan tidak biasa. Menggosongkan kulit itu aneh. Dan tidak biasa. Setidaknya buat saya maupun Meliponny. Isi tas saya standar saja, peralatan mandi, handuk, baju ganti, seplastik kolak labu jahe bikinan sendiri untuk pamer icip-icip, kacamata hitam, tabir surya, dan tentunya sebuah novel.
Jadi kami ke sana, ke tempat eksotik di Selatan itu, bayar limabelas ribu untuk akses kolam renang, handuk dan sebotol kola dingin dengan sedotan.
Waktu itu jam 11 siang. Hanya orang sakit jiwa yang memutuskan berjemur tengah hari bolong, dan itulah saya, yang sedang jenuh dan muak pada entah apa, hanya pakai cawat dan beha dan tabir surya, gegoleran di atas handuk yang terhampar di rumput di dekat kolam yang ternyata hanya sebesar bak mandi raksasa. Tidak ada orang di kolam selain saya dan Meliponny, dan mas-mas pelayan yang mengantar dan mencatat pesanan makanan dan minuman saya. Sungguh pelayan yang tabah hatinya. Dia berusaha keras tidak memperhatikan belahan dada, perut yang bleber dan lemak paha yang bisa dipakai membuat rawon dua panci besar.
Tempat itu benar-benar dikelilingi sawah. Selain itu tidak terlalu istimewa. Sepi. Ada satu orang petani yang sedang sibuk bekerja ketika kami di sana. Sepertinya Pak Tani yang sedang bekerja melihat saya cuma pakai beha, tapi tentu saja saya pura-pura tidak melihat dia melihat saya. Pak Tani puasa tidak ya? Moga-moga dia bukan anggota IDF.
Hari Sabtu yang sungguh malas. Berjemur, makan, berjemur, ngemil, berjemur, baca novel, berendam, minum, berendam, foto-foto sedikit, berendam, gosip. Lalu mandi. Lalu pulang jam tiga sore ketika muncul dua pasangan lain di bak mandi raksasa tengah sawah itu. Yang satu pasangan remaja kasmaran yang dari logatnya seperti berasal dari Sumatera Barat, yang satu lagi pasaran campur ras berusia dewasa yang cekikikan dan memamerkan kemesraan fisik di kursi malas. Saya berdua Meliponny pergi dari kolam eksotik itu sambil cekikian juga.
Hari itu ditutup dengan saya berlumur lidahbuaya sepanjang malam untuk meredakan kulit yang merah kepiting terbakar matahari. Kejenuhan dan kemuakan saya selama dua pekan sepertinya sudah reda. Saya belum tanya lagi tapi moga-moga kejenuhan dan kemuakan Meliponny juga sama reda.
Ohiya, saya pernah membaca tulisan tentang seni menjadi seorang pemalas jempolan. Tulisan prinscarming waktu dia masihEmo Gothic. Kapan-kapan saya ketik ulang dan pamerkan tulisan itu. Sebuah bukti otentik bahwa dia adalah pemalas yang menggemaskan.
Demikianlah sebagian cerita akhir pekan saya yang malas. Selamat hari Senin. Lebaran sebentar lagi. Apakah tahun ini pun kamu masih serakah?
Setelah bangun terlambat dan menemukan tempat berendam kami tidak bisa digunakan karena sedang dalam perawatan dan perbaikan, kami berdua berboncengan pergi jauh ke arah Selatan, menuju sebuah tempat yang diusulkan oleh Magnus Theodorus. Tempat itu konon memiliki tempat berendam yang sangat eksotis, dikelilingi hijau pemandangan sawah, yang konon membuat bos Magnus di tempat kerja sangat terpesona hingga berendam berlama-lama sampai batuk.
Oke, informasi yang terakhir itu sebetulnya juga nggak penting. Saya cuma pengen melakukan sesuatu yang aneh dan tidak biasa. Menggosongkan kulit itu aneh. Dan tidak biasa. Setidaknya buat saya maupun Meliponny. Isi tas saya standar saja, peralatan mandi, handuk, baju ganti, seplastik kolak labu jahe bikinan sendiri untuk pamer icip-icip, kacamata hitam, tabir surya, dan tentunya sebuah novel.
Jadi kami ke sana, ke tempat eksotik di Selatan itu, bayar limabelas ribu untuk akses kolam renang, handuk dan sebotol kola dingin dengan sedotan.
Waktu itu jam 11 siang. Hanya orang sakit jiwa yang memutuskan berjemur tengah hari bolong, dan itulah saya, yang sedang jenuh dan muak pada entah apa, hanya pakai cawat dan beha dan tabir surya, gegoleran di atas handuk yang terhampar di rumput di dekat kolam yang ternyata hanya sebesar bak mandi raksasa. Tidak ada orang di kolam selain saya dan Meliponny, dan mas-mas pelayan yang mengantar dan mencatat pesanan makanan dan minuman saya. Sungguh pelayan yang tabah hatinya. Dia berusaha keras tidak memperhatikan belahan dada, perut yang bleber dan lemak paha yang bisa dipakai membuat rawon dua panci besar.
Tempat itu benar-benar dikelilingi sawah. Selain itu tidak terlalu istimewa. Sepi. Ada satu orang petani yang sedang sibuk bekerja ketika kami di sana. Sepertinya Pak Tani yang sedang bekerja melihat saya cuma pakai beha, tapi tentu saja saya pura-pura tidak melihat dia melihat saya. Pak Tani puasa tidak ya? Moga-moga dia bukan anggota IDF.
Hari Sabtu yang sungguh malas. Berjemur, makan, berjemur, ngemil, berjemur, baca novel, berendam, minum, berendam, foto-foto sedikit, berendam, gosip. Lalu mandi. Lalu pulang jam tiga sore ketika muncul dua pasangan lain di bak mandi raksasa tengah sawah itu. Yang satu pasangan remaja kasmaran yang dari logatnya seperti berasal dari Sumatera Barat, yang satu lagi pasaran campur ras berusia dewasa yang cekikikan dan memamerkan kemesraan fisik di kursi malas. Saya berdua Meliponny pergi dari kolam eksotik itu sambil cekikian juga.
Hari itu ditutup dengan saya berlumur lidahbuaya sepanjang malam untuk meredakan kulit yang merah kepiting terbakar matahari. Kejenuhan dan kemuakan saya selama dua pekan sepertinya sudah reda. Saya belum tanya lagi tapi moga-moga kejenuhan dan kemuakan Meliponny juga sama reda.
Ohiya, saya pernah membaca tulisan tentang seni menjadi seorang pemalas jempolan. Tulisan prinscarming waktu dia masih
menggemaskan, anjing ini mirip si Dudu coklat kesayangan saya
Demikianlah sebagian cerita akhir pekan saya yang malas. Selamat hari Senin. Lebaran sebentar lagi. Apakah tahun ini pun kamu masih serakah?
Comments
Udah bisa berlagak cuek kalo liat kue. Tapi kalo gak ada orang, diembat juga. *EH*
Tapi, kayaknya lebih serakah dalam hal keinginan. Pingin ini itu, sampai pingin nyulik doraemon supaya bisa mewujudkan semuanya... hahaha...
bagus bagus.
memang sejatinya kekuatan partai pengemis ini tak tertandingi berkat master kita Chu Pek Tong.
*lho*
Tolong kalau Doraemon sudah di tangan, aku minta selimut waktu itu lho, yang buat bikin barang lama jadi baru dan barang baru jadi lama. Atau boleh juga senter pembesar dan pengecil. Asik itu.
*eh*
selamat libur lebaran! :)