Mesin Waktu

Mesin waktu itu bernama kota Malang.

Saya sudah lama tidak pergi ke Malang. Saya juga tidak pernah jalan-jalan kota setelah matahari terbenam karena biasanya perjalanan ke Malang adalah perjalanan satu hari pulang balik dan selalu berisi urusan keluarga: datang ke rumah saudara, makan di rumah saudara, ngobrol di rumah saudara, pulang setelah Azhar dan sebelum Maghrib.

Angkot di sana, sama seperti di Surabaya, disebut bemo. Dengan naik bemo biru kami ke sana-kemari. Kami berjalan-jalan merasakan sensasi kota yang tidak kecil tapi juga tidak besar. Sepanjang perjalanan naik bemo itu saya dan nona N berulangkali merasa ada beberapa kemiripan titik-titik tertentu kota Malang dengan tempat-tempat yang kami kenal di Surabaya atau Solo atau Jogja. Meskipun demikian Malang adalah Malang. Sebagai sebuah kota ia adalah organisma yang berbeda.

Saya tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang membuat Malang nampak berbeda, mungkin saya butuh datang dan tinggal di sana setidaknya seminggu agar bisa merumuskan deskripsi yang tepat dalam menjabarkan perbedaan Malang dengan kota-kota lain yang pernah saya tinggali. Malang itu besar tetapi kecil. Saya langsung memahami alasan beberapa orang yang saya kenal yang memutuskan untuk pindah dan tinggal di Malang. Saya juga jadi memahami alasan teman dekat saya yang tak terlalu ingin kembali tinggal di kota itu.

Tadinya malam itu kami mau pergi karaoke setelah nonton film terbaru Angelina Jolie di bioskop. Karaokenya tidak jadi karena semua peserta kemping ternyata berbagi kecemasan yang sama tentang kemampuan kami bangun pagi untuk berangkat kemping keesokan paginya. Sesudah nonton kami malah nongkrong di entah jalan apa itu namanya, yang di ujungnya ada sebuah toko boneka yang pegawainya sukses membuat saya tersinggung, juga sebuah supermarket besar tempat kami sekali lagi melakukan belanja perbekalan terakhir untuk kemping.

mereka berani memajang benda ini di luar tokonya tapi lantas melarang orang berfoto? menutup pintu yang tadinya terbuka lebar, tepat di depan hidung kami, setelah sambil manyun melarang kami berfoto jelas membuat bete

Tempat tongkrongan kami adalah semacam warung yang cukup lega dengan menu roti bakar, tape singkong bakar, jagung bakar, mi instan dan dengan ditemani aneka macam minuman hangat dan dingin (serta tak lupa jasa pengisian pulsa elektrik untuk telepon genggam, hihihi). Warung semacam ini sempat populer di pinggiran jalan Dago di era 90-an hingga sekitar 2003. Bedanya di Bandung tempatnya tidak pernah sampai sebesar yang di Malang itu karena lokasinya di trotoar jalan Ir. H. Djuanda nan super sempit memang tidak mengijinkan ekspansi lahan. Menurut nona N dan Prinscarming, tempat semacam itu juga sempat populer di Yogyakarta, tapi lalu perlahan punah sekitar 2002-2003.

muda-mudi datang ke tempat ini untuk nongkrong, bukan karena lapar

Saya menyimpulkan, itulah sebabnya kota Malang ini sangat populer di kalangan wisatawan mancanegara manula. Mesin waktu raksasa bernama Malang ini menawarkan pengalaman yang berbeda tetapi juga tidak cukup asing untuk membuat seseorang mengalami gegar budaya. Selain itu, cuacanya sejuk.

Dalam perjalanan pulang ke rumah tempat kami menumpang tidur semalam saya semakin yakin saya tidak merindukan kota Bandung. Tapi oh tentu saja ini adalah cerita yang sama sekali berbeda.

bisa baca tulisan spanduknya?

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa