Laut Lumpur dan Hujan Bintang

Saya sudah pernah bilang ini tapi akan saya bilang lagi: si manyun berubah menjadi prinscarming yang memukau di alam terbuka. Super seksi!


Dia membawakan tenda kami yang berat itu, dan juga memanggul sebagian besar benda kebutuhan kami berdua di dalam ranselnya. Ransel saya jauh lebih ringan dibandingkan ransel yang dia bawa. Dalam keadaan seperti itu dia sebetulnya pun bisa tetap berjalan lebih cepat daripada saya, tapi dia memilih untuk mengambil posisi sweeper, berjalan di belakang sebagai penutup barisan (yang ternyata sudah sering dia lakukan semenjak setidaknya dua dekade yang lalu. Ha. Memang dia sudah setua itu :D ihihi... :-* mwah)

Saya mencemaskan dia. Jadi saya pun, yang pada dasarnya lambat, semakin lambat menyesuaikan kecepatan. Selain itu di barisan belakang ada Lala yang kepayahan berjalan melintas lumpur licin dan lubang-lubang jebakan selutut dalamnya yang dilengkapi dengan batu karang pemecah kuku kaki atau duri tajam di dasarnya. I exaggerate this not.







Kami mulai trekking jam setengah dua belas siang. Dalam 20 menit semenjak memulai trekking, 18 orang melesat jauh dari tujuh yang tersisa di belakang yang dengan segera menggelinding masuk ke dalam persekutuan keong. Untunglah hujan tidak turun lagi sepanjang perjalanan trekking kami ini. Tidak terbayang pasti gerakan persekutuan keong akan jauh lebih lambat jika hujan turun.

Sepanjang jalan kami disalip banyak orang. Sepertinya semua orang nampak sakti dan perkasa dibandingkan kami yang berjalan super-duper lambat. Satu rombongan yang menyalip kami di 100 meter pertama, bahkan sudah berpapasan lagi dengan kami di 500 meter terakhir. Mereka sudah balik menuju Teluk Semut, mau pulang sore itu juga setelah menghabiskan sekitar 20 menit di Laguna Segara Anakan.

Mak?!

Dan kami belum juga sampai ke lagunanya!

maskot keong

Persekutuan... atau sebetulnya lebih cocok disebut persekeongan itu menempuh jarak 2,4 km dalam waktu 5 jam. Sembilan puluh menit terakhir terutama terasa sangat berat karena sebetulnya mungkin jarak yang kami tempuh mungkin tinggal sekitar 300 meter lagi tapi tenaga dan semangat sudah habis. Duduk istirahat menjadi semakin sering, bukan untuk mengambil nafas tetapi untuk mengumpulkan semangat. 

Kami sampai di laguna pukul empat, saya bisa melihat airnya di antara celah tebing setelah melewati jembatan kayu super licin. Sungguh jaraknya kurang dari 100 meter tapi rasanya jalur licin berlumpur yang harus dilalui itu tidak ada habisnya. Pada titik ini Pemuda A, diikuti si Kriting Keren dan Jono muncul menyusul dan membawakan tas kami. Dari trek tanah becek licin, kami harus menuruni tebing untuk sampa di laguna. Kaki saya menyentuh pasir laguna yang putih dan lembut itu jam setengah lima sore. Celana pendek saya penuh lumpur walaupun saya sama sekali tidak terjatuh.

tepar tapi sukses sampai di laguna!!!

Segera setelah berbasuh di pantai laguna, saya dan prinscarming harus melakukan satu hal lagi sebelum bisa benar-benar beristirahat: mendirikan tenda kami. Untunglah saya sudah pernah membantu mendirikan si Beruang Tidur itu dua kali sebelumnya. Dikerjakan oleh tiga orang dengan dibantu pemuda A, dalam 15 menit, tenda sudah berdiri rapi, semua ransel sudah diamankan di teras depan tenda di bawah fly-cover dan lapisan ponco. Setelah berganti baju yang penuh lumpur dengan kostum bermalas, saya akhirnya bisa merasa lebih nyaman. Kami ngemil sedikit kacang kalengan dengan roti, lalu saya tidur karena merasa harus memulihkan tenaga.

Terbangun jam setengah delapan malam, hidung dan tenggorokan saya sudah terasa tidak enak. Memakai selapis lagi  baju, mengoles sekitar setengah liter anti nyamuk, saya bergabung dengan yang lain yang sudah menggelar alas dan rebah berderet seperti dua baris pindang beradu kepala, menengadah menatap langit.

Langit cerah dan bintang banyak sekali yang bisa terlihat. Rasanya seperti berada di dalam Planetarium. Setiap kali terlihat bintang jatuh kami ribut menunjuk-nunjuk ke atas sambil berseru-seru.

LHO?!

Satu kali bintang yang jatuh besar sekali, terang dengan ekor yang panjang. Lebih besar dari yang pernah saya lihat di tempat jemuran kos-kosan saya yang lama di Kyai Gede Utama tahun 2006. Semua orang menjerit kaget. Saya serta merta menyerukan harapan.

Myeh, sekarang saya lupa waktu itu harapan saya apa. :(

Comments

rid said…
terakhir kali trekking back to nature beneran sudah berapa tahun lalu.ugh..kangen pengen trekking lagii..
sebenarnya bulan lalu ada kegiatan trekking mapala fakultasku dulu tapi gak bisa ikut,huhuhu... :(

siapa tuh yg tepar,hehe..btw foto2 lagunanya kok nggak ada?? :)
M. Lim said…
belum selesai ini jurnalnya... masih ada sambungannya :D

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again