Hikayat Hutan Nggak Mutu

Semakin malam ruang tamu rumah yang kami tumpangi semakin berjejal karena semakin banyak peserta kemping yang datang dari berbagai kota. Kami mengambil posisi berjajar baik di sofa maupun di lantai beralaskan tikar. Saya tidak bisa tidur.

Bukan karena para peserta kemping lain yang ngobrol dan tertawa-tawa penuh antusiasme yang membuat saya tidak bisa tidur, tapi karena saya masih merasa sedikit gelisah. Prinscarming memilih duduk di luar, merokok di halaman. Karena di dalam penuh kemudian dia tidur di teras memakai sleeping bag pinjaman. Hihihi.

Jam empat pagi saya dibangunkan prinscarming yang sudah mandi! Wow. Saya berjingkat di antara deretan kaki dan kepala menuju kamar mandi untuk mengambil giliran berikutnya. Sesudah itu kami berdua minum kopi dengan dua potong roti di teras depan sementara peserta lainnya mulai bangun satu per satu.

Jam enam pagi langit sudah terang. Kelompok dari Surabaya yang menginap di tempat lain sudah datang. Setelah semua siap, berduapuluh lima kami beranjak naik dua bemo dan memulai perjalanan kami. Saya tentu saja sudah menelan sebutir Antimo sebagai antisipasi. Dalam sekejap saya tertidur di dalam bemo.

Bemo berhenti di terminal Turen tempat kami harus berganti dengan bemo lain yang lebih penuh sesak. Bemo yang saya tumpangi bersama Nona N, Prinscarming dan Jono berisi 20 orang! Kaki tertekuk dan pantat berhimpit-himpitan. Semua ransel dan tenda tentu saja ditaruh di atas mobil. Supir bemo dan keneknya sinting. Meskipun sudah menenggak antimo, saya tidak bisa tidur sepanjang perjalanan dari Turen ke Sendangbiru yang makan sekitar 1.5 - 2 jam itu. Untunglah saya berhasil duduk menghadap ke depan, kalau tidak pasti seisi bemo itu sudah bau muntah saya.

Di tengah perjalanan hujan turun, tapi kemudian berhenti tepat sebelum kami turun di Sendangbiru.


Sendangbiru adalah pantai kecil di sebelah Selatan kota Malang. Jaraknya sekitar 3 jam dengan bemo, ganti dua-tiga kali. Medan yang ditempuh sama seperti dari Jogja ke pantai selatan lewat Gunungkidul. Berkelok dan berliku. Ditambah supir bemo yang menyetir bagaikan Steve mcQueen, pilihan saya minum antimo sebelum perjalanan dengan kendaraan bermotor adalah hal yang sangat tepat!

Di Sendangbiru kami berpencar. Prinscarming dan si Kriting Keren mencari ikan untuk barbiku malamnya di laguna, yang lain termasuk saya mencari makan siang, sementara ketua rombongan dari kontingen Malang mengantri lapor di kantor penjaga hutan. Lapor ini wajib karena sebetulnya pulau Sempu termasuk cagar alam. Masalah terbesar yang dihadapi pulau itu saat ini adalah banyaknya sampah  yang ditinggal begitu saja oleh pengunjungnya.

Bapak-bapak yang bertugas di pos penjagaan itu memberi kami ceramah panjang, lalu setelah melihat Lala (yang memang paling bulat bentuknya di rombongan kami) menakut-nakuti dengan kisah tentang turis yang terpisah dari rombongannya selama 24 jam entah karena apa, dan tentang turis cewek bertubuh subur yang ditinggalkan oleh tujuhbelas teman serombongannya karena berjalan terlalu lambat. Dia ditemukan tidak sadar, katanya. Sudah 4 jam terdampar di trek sendirian, katanya. Butuh waktu 5 jam menandu cewek itu balik ke Sendangbiru, katanya. Padahal jaraknya 500 meter saja, katanya, karena medan berat berlumpur dan cewek itu bertubuh subur. Buat saya bapak-bapak itu menyebalkan meskipun maksudnya mungkin baik. Mungkin.

Menyebalkan!

Hujan turun lagi. Lampu mati sementara warung yang saya tongkrongi sedang masak nasi pesanan saya dengan rice-cooker listrik. Hujan turun lama. Deras, gerimis, deras, gerimis. Persetan nasi tak matang-matang! Kecemasan saya kembali. Saya tidak suka diam-diam menunggu lama tidak jelas. Sedari bemo kami sampai di Sendangbiru sudah ada setidaknya empat perahu penuh orang pergi menyeberang ke pulau Sempu. Sudah berapa orang itu? Trek yang harus kami lintasi akan semakin hancur diinjak orang sebegitu banyak.

Daripada bengong-bengong di warung saya pergi menunggu di dekat pantai. Sambil menunggu itulah saya memakan semangkok bakso, yang kemudian menjadi satu-satunya porsi bakso asli Malang yang saya makan sepanjang kunjungan saya ke sana. Meh. Bakso, somay dan tahunya enak.

Prinscarming dan Keriting Keren muncul membawa enam ekor ikan tuna segar. Peserta kemping berkumpul. Dua perahu didapatkan. Kami pun berangkat menyeberang.


Perjalanan menyeberang ini hanya makan waktu 15 menit. Sepertinya kalau mau susah, pergi ke pulau itu bisa ditempuh dengan berenang dari Sendangbiru.




Perahu menurunkan kami di Teluk Semut. Pantainya berpasir putih dan banyak pohon bakau. Dinamakan Teluk Semut karena di sana terdapat banyak gundukan "kota - kota kecil" sarang serangga di tanah. Ternyata bukan semut, tapi rayap. Tukang perahu berjanji akan menjemput kami jam lima sore besok hari.

Pulau Sempu luasnya 844 hektar, ini menurut keterangan di pos jaga Sendangbiru tadi. Jarak dari Teluk Semut ke laguna Segara Anakan adalah 2,4 km. Karena sudah banyak membaca jurnal daring orang-orang yang sudah pernah mengunjungi pulau Sempu dan treking menuju laguna Segara Anakan, saya sibuk mencari batang kayu untuk tongkat jalan.

Jalur trekking membuka di sebelah kanan pantai Teluk Semut. Berlumpur. Saya lupa apakah saya menyebut nama Tuhan atau tidak sebelum saya mulai melangkah. Saya ingat sepanjang perjalanan saya misuh-misuh. Kemungkinan terburuk adalah menempuh perjalanan itu selama 4 jam.

Mari kita mulai, juragan!

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again