Film Vampir yang Berbahaya!!!
Luar biasa yang namanya penggemar itu. Saya antara percaya nggak percaya bahwa di Amerika sana, puluhan orang sampai kemping di depan gedung bioskop menunggu hari rilis sebuah film. Kemping supaya bisa salaman sama bintang film-nya yang gorjes. Saya ragu mereka kemping untuk melihat filmnya itu sendiri.
APALAGI setelah saya sendiri menontonnya...
Film ini, saya membutuhkan waktu dan usaha untuk menontonnya. Setelah pasukan utama ternyata tidak jadi datang dari Bandung untuk menyerbu bioskop bersama saya di Jogja, saya harus membujuk peserta pendamping baru agar saya tidak pendarahan dalam sendirian di bioskop. Selain itu saya harus menunggu semenjak waktu rilis perdana dua minggu agar bioskop sepi dari abegong penggemar.
Kru saya kali ini terdiri atas empat orang: Magnus Magnificus, Meliponi, Ninja, dan saya sendiri. Saya tidak tahu kenapa Ninja mau ikut, padahal menyeret Magnus ke bioskop saja susah betul, Ninja malah datang dengan sukarela. Wooow.
Bioskop masih juga penuh tapi kami dapat tempat duduk yang cukup strategis. Lampu dimatikan, iklan mengerikan diputar, lalu film pun dimulai tak lama sesudahnya.
Ah buat apa saya bohong, saya tidak ingat jalan keseluruhan cerita. Saya cuma ingat sedikit saja titik-titik tertentu di dalamnya, dan ini mengecewakan betul apalagi untuk perbandingan saya masih ingat sebagian besar cerita film kedua, New Moon.
Saya cuma ingat bahwa Eclipse ini isinya hanyalah berpandangan...
dan... ya begitulah seterusnya. Lebih parah dari dua film sebelumnya. Saya langsung sadar bahwa inilah senjata utama film Eclipse. HORMON! Semua kegiatan cium cium pacaran cium cium cium ini adalah hal-hal yang saya lakukan waktu usia 14-16 tahun, rentang usia yang menjadi mangsa pasar film serial ini.
Saya takjub Leila S. Chudori bisa menulis resensi yang super bagus atas film ini. Terus terang sesudah film ini berakhir dan kami berjalan keluar dari bioskop, saya merasa kepala saya agak bergema-gema kosong dan telinga saya berdenging. MasyaAllah, dialog sepanjang film ini tidak berguna. Rasanya tiap kali aktor-aktornya membuka mulut untuk mengucapkan dialog, yang keluar hanyalah bunyi "biiip" atau "tuuuut" seperti bunyi sensor. Rasanya saya bisa memahami jalannya cerita karena ada subtitel berbahasa Indonesia terpampang di layar. Apakah bunyi-bunyian itu adalah sensor yang memperingatkan bahwa volume otak saya berkurang setiap menitnya?
Saya masih bisa sedikit menikmati secuplik dua cuplik adegan aksi ketika pasukan vampir bertempur dengan bantuan pasukan serigala raksasa jejadian. Bagaikan menonton real-live-action film seri ninja dari Jepang, Naruto. Tapi kenikmatan ini cuma sedikit, karena adegan perangnya kurang brutal, kurang gore, kurang berdarah-darah, kurang lama! Perang hanya sekejap, lantas usai. Sama sekali tidak ada ketegangan yang terbangun sebelum dan saat adegan aksi itu. Padahal peperangan itu terjadi karena misi balas dendam dan misi adu domba. Sumber konflik yang potensial sarat ketegangan. Mana di tengah-tengah persiapan menjelang perang itu ada kilas balik tentang vampir paling muda dan paling haus darah dalam keluarga Cullen. Sumpah, itu seperti skit lawak garing.
Oh ya, tentang kilas balik, di perempat awal film juga diberikanlah kilas balik kehidupan kakak angkat Edward sebelum menjadi vampir. Ceritanya sungguh mengingatkan saya pada cerita horor klasik Indonesia, Si Manis Jembatan Ancol. Kilas balik kedua tentang sang kolonel perang saudara Amerika itu malah mengingatkan saya pada Kera Sakti yang dicegat dan diperdaya tiga siluman laba-laba. Saya tidak ingat nama-nama vampir itu. Pasti karena volume otak saya yang berkurang akibat menonton filmnya...
Tokoh Bella Swan konsisten menunjukkan kekopongan otaknya. Jika di film kedua, New Moon, dia melakukan hal-hal yang sudah jelas-jelas dilarang, di film ini juga demikian.
APALAGI setelah saya sendiri menontonnya...
The holy trinity cast their eyes down upon ye |
Kru saya kali ini terdiri atas empat orang: Magnus Magnificus, Meliponi, Ninja, dan saya sendiri. Saya tidak tahu kenapa Ninja mau ikut, padahal menyeret Magnus ke bioskop saja susah betul, Ninja malah datang dengan sukarela. Wooow.
Bioskop masih juga penuh tapi kami dapat tempat duduk yang cukup strategis. Lampu dimatikan, iklan mengerikan diputar, lalu film pun dimulai tak lama sesudahnya.
Ah buat apa saya bohong, saya tidak ingat jalan keseluruhan cerita. Saya cuma ingat sedikit saja titik-titik tertentu di dalamnya, dan ini mengecewakan betul apalagi untuk perbandingan saya masih ingat sebagian besar cerita film kedua, New Moon.
Saya cuma ingat bahwa Eclipse ini isinya hanyalah berpandangan...
ciuman...
berpandangan lagi...
ciuman lagi
dan... ya begitulah seterusnya. Lebih parah dari dua film sebelumnya. Saya langsung sadar bahwa inilah senjata utama film Eclipse. HORMON! Semua kegiatan cium cium pacaran cium cium cium ini adalah hal-hal yang saya lakukan waktu usia 14-16 tahun, rentang usia yang menjadi mangsa pasar film serial ini.
Saya takjub Leila S. Chudori bisa menulis resensi yang super bagus atas film ini. Terus terang sesudah film ini berakhir dan kami berjalan keluar dari bioskop, saya merasa kepala saya agak bergema-gema kosong dan telinga saya berdenging. MasyaAllah, dialog sepanjang film ini tidak berguna. Rasanya tiap kali aktor-aktornya membuka mulut untuk mengucapkan dialog, yang keluar hanyalah bunyi "biiip" atau "tuuuut" seperti bunyi sensor. Rasanya saya bisa memahami jalannya cerita karena ada subtitel berbahasa Indonesia terpampang di layar. Apakah bunyi-bunyian itu adalah sensor yang memperingatkan bahwa volume otak saya berkurang setiap menitnya?
Saya masih bisa sedikit menikmati secuplik dua cuplik adegan aksi ketika pasukan vampir bertempur dengan bantuan pasukan serigala raksasa jejadian. Bagaikan menonton real-live-action film seri ninja dari Jepang, Naruto. Tapi kenikmatan ini cuma sedikit, karena adegan perangnya kurang brutal, kurang gore, kurang berdarah-darah, kurang lama! Perang hanya sekejap, lantas usai. Sama sekali tidak ada ketegangan yang terbangun sebelum dan saat adegan aksi itu. Padahal peperangan itu terjadi karena misi balas dendam dan misi adu domba. Sumber konflik yang potensial sarat ketegangan. Mana di tengah-tengah persiapan menjelang perang itu ada kilas balik tentang vampir paling muda dan paling haus darah dalam keluarga Cullen. Sumpah, itu seperti skit lawak garing.
"Pertahankan formasi panahnya ya! Seperti waktu latihan! Yak! Maju!" |
Tokoh Bella Swan konsisten menunjukkan kekopongan otaknya. Jika di film kedua, New Moon, dia melakukan hal-hal yang sudah jelas-jelas dilarang, di film ini juga demikian.
Charlie: Bells, kamu jangan sampai MBA
Bella: MBA gimana maksud Papah?
Charlie: Ehm.. itu lho, nikah karena hamil duluan. Soalnya kamu sama si Edward itu ... blebleble
Bella: Ih, papah! Saya kan masih perawan. *tapi sambil mikir*
Dan tak lama kemudian, LANGSEUNG ITU MAH YAH!!! Rupanya dia malah keidean sama warning bapaknya. Ini rebel without a cause apa plain brainless sih????
Seriously what the fuck. Mana ini pacar saya, saya juga mau MBA kalau begini caranyah!
Maka demikianlah. Film usai. Saya pulang dalam keadaan bengong. Sampai rumah pun saya bengong. Otak saya masih ada itu bunyi "tuuut" dan "biiip" macam dia automatic reformat dan defragmenting, gitu. Kesadaran saya baru pulih setelah tiga hari. Sepanjang tiga hari itu saya nggak terlalu inget saya ngapain aja. Brain damage mungkin menyebabkan saya mengalami memory loss.
Verdict: Film ini berbahaya!!!
Comments
Tapi, jgn2 karena kekenyangan makan malah jadi ketiduran? Yah, tapi sepertinya tidur adalah solusi bagus untuk mencegah mengecilnya otak.
Ah well, sepertinya memang lebih baik tidak nonton film ini... :P
*lho*