Bulan Harusnya Tak Datang ke Laguna
Tidak ada yang menyedot optimisme secara efektif dibandingkan vampir. Bukan, ini bukan resensi film Eclipse. Itu saya tulis nanti saja. Ini masih tentang liburan penuh petualangan kami di Laguna Segara Anakan di bagian Selatan sebuah pulau kecil bernama Sempu, di Malang, Jawa Timur.
Sebetulnya bukan vampir sih yang menyedot optimisme saya. Pelakunya adalah siklus biologis pada wanita yang bernama menstruasi. Tanda-tandanya sudah terasa semenjak seminggu sebelum saya berkemas hendak pergi ke Malang, tapi tentu saja dengan optimis saya berpikir, ah, semoga terjadinya sesudah perjalanan. Saya sudah wanti-wanti pada Prinscarming, seandainya menstruasi terjadi sesampai di Malang, saya akan membatalkan ikut ke pulau Sempu sama sekali karena sudah bisa dijamin kondisi akan teramat sangat tidak nyaman. Di dekat Laguna tidak ada sumber air tawar yang dapat dengan mudah digunakan untuk berbilas. Berbilas dengan air laut sepertinya bukan pilihan yang ideal.
Mood saya yang tadinya cukup prima langsung menukik ke titik nol ketika sore hari kami sudah tiba di Laguna setelah setengah hari berkubang lumpur, tenda sudah berdiri, saya berganti baju bersih dan menstruasi. Pada titik ini saya sudah terlalu lelah dan pasrah untuk marah-marah.
Mood buruk itu sempat membaik ketika kami berbaring-baring dan melihat bintang jatuh, yang saya tak ingat harapan yang saya teriakkan waktu itu apa. Mungkinkah saya meminta agar tidak hujan?
Mood saya masih agak buruk ketika jam 9 malam Prinscarming mulai menyalakan bara dengan arang yang dibawa dari Malang, untuk membakar 6 ekor ikan tuna yang dia dan Kriting Keren dapatkan di pasar ikan Sendang Biru. Bumbunya sudah ia siapkan dari Jogja. Sebotol kecil minyak zaitun yang dicampur dengan ulegan bawang putih, garam, segumpal asam jawa dalam plastik yang dibeli di supermarket, dan extra beberapa siung bawang putih untuk jaga-jaga. Ternyata ikan Tuna atau Tongkol itu lebih pas kalau pengolahannya dibakar, dibumbui dengan yang asam-asam. Tekstur dan citarasanya jadi lebih menonjol.
Meskipun enak tapi saya sedang malas mengunyah. Saya hanya makan sedikit. Itu pun karena saya tahu bahwa saya harus makan jika tidak ingin tambah lemas dan manyun. Kami hanya berdelapan atau sepuluh orang yang tabah menunggu ikan matang satu persatu. Peserta kemping lainnya tidak bereaksi waktu kami memanggil-manggil mereka. Pukul setengah dua belas, dua ikan terakhir ada di atas bara. Saya pamit tidur saja. Jam dua belas saya dengar hujan menerpa tenda kami. Cukup deras dan besar.
Ngepet. Padahal saya tahu Babi Ngepet cuma mencuri uang, bukannya bikin hujan. Dan di pulau Sempu memang ada babi hutan liar tapi mereka ada di bagian tengah pulau.
Sepanjang malam saya terjaga sekitar 4 kali mendengar hujan berhenti dan mulai lagi
Mau tidak mau saya jadi memikirkan jalur kami pulang besok akan seperti apa. Ngepet.
Sebetulnya bukan vampir sih yang menyedot optimisme saya. Pelakunya adalah siklus biologis pada wanita yang bernama menstruasi. Tanda-tandanya sudah terasa semenjak seminggu sebelum saya berkemas hendak pergi ke Malang, tapi tentu saja dengan optimis saya berpikir, ah, semoga terjadinya sesudah perjalanan. Saya sudah wanti-wanti pada Prinscarming, seandainya menstruasi terjadi sesampai di Malang, saya akan membatalkan ikut ke pulau Sempu sama sekali karena sudah bisa dijamin kondisi akan teramat sangat tidak nyaman. Di dekat Laguna tidak ada sumber air tawar yang dapat dengan mudah digunakan untuk berbilas. Berbilas dengan air laut sepertinya bukan pilihan yang ideal.
Mood saya yang tadinya cukup prima langsung menukik ke titik nol ketika sore hari kami sudah tiba di Laguna setelah setengah hari berkubang lumpur, tenda sudah berdiri, saya berganti baju bersih dan menstruasi. Pada titik ini saya sudah terlalu lelah dan pasrah untuk marah-marah.
Berusaha senyaman mungkin seperti di rumah sementara
Mood saya masih agak buruk ketika jam 9 malam Prinscarming mulai menyalakan bara dengan arang yang dibawa dari Malang, untuk membakar 6 ekor ikan tuna yang dia dan Kriting Keren dapatkan di pasar ikan Sendang Biru. Bumbunya sudah ia siapkan dari Jogja. Sebotol kecil minyak zaitun yang dicampur dengan ulegan bawang putih, garam, segumpal asam jawa dalam plastik yang dibeli di supermarket, dan extra beberapa siung bawang putih untuk jaga-jaga. Ternyata ikan Tuna atau Tongkol itu lebih pas kalau pengolahannya dibakar, dibumbui dengan yang asam-asam. Tekstur dan citarasanya jadi lebih menonjol.
Meskipun enak tapi saya sedang malas mengunyah. Saya hanya makan sedikit. Itu pun karena saya tahu bahwa saya harus makan jika tidak ingin tambah lemas dan manyun. Kami hanya berdelapan atau sepuluh orang yang tabah menunggu ikan matang satu persatu. Peserta kemping lainnya tidak bereaksi waktu kami memanggil-manggil mereka. Pukul setengah dua belas, dua ikan terakhir ada di atas bara. Saya pamit tidur saja. Jam dua belas saya dengar hujan menerpa tenda kami. Cukup deras dan besar.
Ngepet. Padahal saya tahu Babi Ngepet cuma mencuri uang, bukannya bikin hujan. Dan di pulau Sempu memang ada babi hutan liar tapi mereka ada di bagian tengah pulau.
Sepanjang malam saya terjaga sekitar 4 kali mendengar hujan berhenti dan mulai lagi
Mau tidak mau saya jadi memikirkan jalur kami pulang besok akan seperti apa. Ngepet.
Comments