Pangeran Farsi

Sesungguhnya Mike Newell tidak harus bekerja keras karena bisa dibayangkan bahwa cerita lengkap dan visualisasi Pangeran Farsi kemungkinan sudah tuntas dikerjakan oleh tim pengembang program permainan Pangeran Farsi.

Film ini terasa begitu panjang dan melelahkan tetapi hebatnya saya tetap bertahan hingga akhir karena ingin tahu penutupan ceritanya, yang setelah itu membuat sedikit kecewa karena ternyata penutupnya tetap sederhana dan tetap sesuai dengan tebakan saya.


Pujian perlu diberikan pada aktor Ben Kingsley yang memiliki kemampuan untuk menyatu dan tidak terlalu moncer sehingga sesuai jatahnya dalam plot film tersebut. Pujian untuk aktor Alfred Molina yang nyaris tidak bisa dikenali di balik dandanan tebal dan gigi emas palsu. Molina dalam film ini nampak betul seperti berada di rumah sendiri.



Apakah saya akan dimaafkan penggemarnya jika tidak memuji Jake Gyllenhaal? Sepanjang perjalan pulang saya berpikir: Jika ia mengambil peran dalam film ini untuk menghapus ingatan penonton (mungkin dirinya sendiri juga?) dari peran briliannya sebagai koboi pemalu takut istri yang ternyata penyuka sejenis di film Gunung Patah Punggung, maka sejatinya ia berhasil. Karena, jujur saja, jika nama Jake Gyllenhaal disebut, maha hanya Gunung Patah Punggung yang akan muncul di kepala, begitu juga sebaliknya. Nah, sesudah film ini, maka ia akan diingat sebagai Jake Gyllenhaal yang main di Pangeran Farsi.

baiklah, mungkin di sini keliatan lebih macho dan seksi, tapi juga keliatannya agak bau kelek

Adakah ceritanya istimewa?
Teknologi CGI untuk latar filmnya tidak kalah dengan LOTR, saya tidak sempat melihat apakah itu memang pekerjaan WETA.

Kalau Peter Jackson suka menyorot ekspresi wajah aktor-aktornya, sutradara yang ini cukup baik hati mempertunjukkan detil dan tekstur kain, perhiasan dan asesoris lainnya yang dikenakan oleh para pemeran dalam film ini. Wah wah wah mewah, mata sampai bingung harus menyerap detil yang mana.

Tokoh Tamina adalah penyedap rasa yang agak memuakkan walaupun sedikit lebih baik dari karakter Megan Fox dalam Transformer karena belahan dada Tamina tidak terlalu sering dipajang. Namun tetap busuk karena karakter ini tidak becus melakukan apa pun, tidak berswasembada dan berdaya guna, sudah begitu sedikit-sedikit ia minta dicium. Saya bisa membayangkan memainkan program permainan Pangeran Farsi dan muncul hasrat untuk membiarkan karakter gak guna itu mati saja.

Yang menarik adalah bagaimana Kerajaan Farsi digambarkan sebagai kerajaan agung yang dipimpin oleh raja-raja dan para pangeran berbudi luhur, sedangkan dalam film 300 digambarkan sebagai bangsa barbar haus darah yang tak bermoral.

"Dik, kok pijetannya kenceng banget ya, dik?"

Vonis akhir saya?
Karena ia adalah film yang mengandalkan efek khusus dan gambar yang dihasilkan komputer (dan untungnya tidak berlebihan), maka film ini lebih bagus ditonton di layar lebar dengan tata suara memadai. Film ini untuk hiburan, jadi jangan berharap sel-sel kelabu dalam kepala terstimulir secara maksimal.



Prince of Persia
Sutradara:  Mike Newell
Bintang: Jake Gyllenhaal, Gemma Atterton, Ben Kingsley, Alfred Molina

Comments

Anonymous said…
hahaha... suka review anda untuk film ini.
Saya juga kok kurang suka dengan film ini, terutama peran utamanya, Dastan. Kurang greget, gitu. Jalan ceritanya juga cenderung monoton dan membosankan. Dan, yang paling jelek adalah akhirnya. Saya sampai berpikir, "Jadi, saya duduk 2 jam lebih menonton, hanya untuk melihat bahwa akhirnya tidak ada yang terjadi?!"
Well, dulu pernah nonton film Butterfly Effect yang temanya (time travel) kayak gini juga sih. Tapi, kesannya bedaaaa jauuuuhhh...
M. Lim said…
ini masih agak mending dibanding butterfly effect yang kalau diibaratkan adalah sayur sop yang anyep dan dingin.

Yang ini biar anyep tapi masih agak anget... (lho kok kontradiktif hihihi)

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again