Bagaikan Petualangan di Halaman Belakang bagian 5



Selamat pagi!

Jam enam lebih limabelas. Langit cerah. Nona N dan Nona L sudah entah ke mana berjalan-jalan. Prinscaming muncul diikuti anjing asing entah dari mana. Dia itu magnet anjing dan anak-anak. Sesudah diajak mengobrol, si anjing menemukan sisa ikan hiu yang tak termakan dan memutuskan untuk pergi saja sambil menggondol sarapan gratis itu.

Perhatikan, yang selonjor itu nona L. Kami masih kering, dia sudah guling-guling di pasir

Peserta persami lainnya mulai menyusul bangun. Kami sempat foto-foto sejenak. Jam tujuh lewat sedikit, hujan mulai turun lagi. Cukup lama. Saya menunggu hujan reda sampai ketiduran lagi di tenda. Sebentar. Lalu saya bosan dan keluar memakai jas hujan. Jas hujan baru yang dibeli dalam rangka persami, ahoy!

Hujan turun sampai sekitar jam sepuluh. Tidak konsisten. Kadang deras, kadang rintik gerimis. Dalam kondisi seperti itu Layla dengan kekuatan tenaga dalam yang luar biasa main air laut sepanjang hari, mulai dari mendung, gerimis, deras, gerimis, sampai hujan reda sama sekali. Bajunya hanya satu itu saja yang melekat di badan. Mulai dari kering, basah, sampai kering lagi. 

air fishing

Sesudah hujan benar-benar reda, barulah saya bernafsu mencelupkan badan di pantai. Tidak berani jauh-jauh. Sebetulnya sampai jarak 20 meter dari bibir pantai, kedalaman air hanya sampai sebatas pinggang saya, tetapi dasarnya adalah batuan karang yang tajam. Tentu saja di tempat semacam itu berenang harus memakai sepatu yang mencegah kaki sobek, semacam yang dilakukan seorang nelayan setempat yang kami lihat berenang-renang santai sementara kami menatapnya sirik sambil jongkok-jongkok merendam pantat di bibir pantai.

Jam 12 kami bergantian mandi di kamar mandi warung terdekat. Warung itu yang lampunya kami lihat menyala sampai jam 9 malam sebelumnya. Ternyata tempat warung itu berada tidak terhitung sebagai wilayah pantai Sadranan lagi walaupun hanya berjarak 100-200 meteran. Nama pantainya kalau tidak salah adalah pantai Kondang, sempit saja, dengan pasir yang jauh lebih putih dan lebih halus daripada Sadranan.

Pemandangan dari Kondang

Sesudah mandi saya ikut Prinscaming yang sudah duduk nongkrong duluan di warung. Ikut-ikut juga memesan mi instan rebus dan secangkir teh panas. Saya berani memesan teh panasnya karena sudah mencicip teh Prinscaming duluan. Airnya bukan air payau seperti di Drini kemarin siangnya, HURAH!

Sambil menunggu yang lain selesai mandi dan seterusnya, kami ngobrol-ngobrol dengan bapak pemilik warung itu. Air mandi dan air untuk minum di warungnya selalu tersedia segar dan tawar karena sepertinya proyek penyediaan air bersih sudah sampai di situ. Yang belum sampai adalah listrik. Jaringan terdekat jaraknya 5km, perusahaan listrik negara belum menjangkau Kondang dan Sadranan. Ini artinya penginapan tempat kami titip motor itu pun juga mengandalkan generator berbahan solar untuk listriknya.

Jam satu siang kami membongkar tenda. Tidak seperti saat mendirikannya, tentu saja, membongkar tenda makan waktu jauh lebih cepat! Setelah tenda usai dibungkus rapi, semua barang bawaan kami sudah masuk kembali ke dalam tas, semua sampah hasil peradaban manusia yang kami sebabkan sudah dirapikan untuk dibuang/dipungut/diurai alam, kami berfoto sekali lagi dan pergi meninggalkan Sadranan.

oke, semua sudah bersih kan? gak ada yang ketinggalan?

Sip! yuk markipul!

Setelah membayar biaya inap tiga ribu untuk masing-masing motor, kami meluncur ke pantai Baron untuk makan siang. Salah satu peserta persami dari Semarang yang tadinya mau pulang ke rumah naik kereta jam 4 dari Jogja terpaksa membatalkan niat ini dan mencari alernatif lain. Jam 2 siang saja kami baru sampai di Baron, jelas kami tidak akan sampai Jogja jam 4 sore. Perjalanan akan makan waktu 1.5 - 2 jam, sama seperti waktu berangkat, belum lagi ditambah dengan waktu  untuk makan.

Baron adalah pantai yang sangat populer secara komersil. Di pantai ini terdapat hilir sungai, yang sayangnya saya nggak tahu sungai apa. Ia dibingkai bukit yang lumayan hijau, yang dari atasnya pemandangan lumayan indah. Ombak pun tidak tinggi di tempat ini, dan dasar pantainya tidak berkarang tajam, sehingga pantai ini banyak digunakan untuk berenang. Bahaya jelas ada. Tak jauh dari bibir pantai ada gedung Pengawas dan Penyelamat Pantai, mereka bolak-balik berseru-seru dengan sistem pengeras suara, memperingatkan para pengunjung untuk berhati-hati terutama mengawasi anak-anaknya, karena kadang air di hilir sungai naik mendadak membuat orang yang berenang kehilangan pijakan lantas terseret tenggelam. Korban terakhir katanya empat orang dan baru terjadi tak sampai dua bulan silam.

anu...

...anu ... kayaknya...

Baron adalah pantai tempat nelayan berlabuh, banyak kapal di pantainya. Lebih banyak nelayan = lebih banyak hasil tangkapan. Selain itu biasanya kapal berlabuh jam 10-12 siang, jadi kami tidak kehabisan ikan seperti kemarin sewaktu sampai di Drini jam 4 sore. Kami ke pasar ikan dan menunjuk ini itu hasil laut yang kami inginkan: Cakalang, Cumi, Kepiting dan Tuna. Semua ini kami bawa ke salah satu dari deretan warung yang ada di sana untuk dimasak sesuai dengan selera lidah masing-masing: Dibakar, digoreng, dengan saus asam manis, lada hitam, saus padang, dan seterusnya. Makan besar! Untuk semua itu, ditambah dengan nasi 2 bakul dan aneka macam minuman, masing-masing orang patungan 25ribu rupiah. AHAHAHA!

Sebelum

Sesudah

Sesudah makanan habis tandas tak bersisa, kami bersepuluh pulang ke Jogja. Terlalu capai dan kekenyangan, rencana nongkrong melihat sunset dan lampu-lampu kota Jogja di Bukit Bintang juga dibatalkan. Tapi sepertinya tidak ada yang menyesal, semua sudah cukup puas dengan rangkaian kegiatan perkemahan sabtu-minggu itu.

Terima kasih wahai lelaki pacarku, keahlianmu berpramuka membuat puas walau lemas. Hihihi.

Tantangan berikutnya, kemping di gunung. Hmm. Ho ho ho.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again