Bagaikan Petualangan di Halaman Belakang bagian 4
Kadang-kadang lelaki yang saya pacari itu bawel bukan main, padahal tampilan luarnya cool. Karena saya juga bawel, maka seringkali terjadi perebutan kekuasaan di antara kami berdua yang membuat saya seringkali ingin menggigit pantatnya. Pada saat dia berada di alam terbuka jauh dari rumah, dengan sigap mendirikan tenda, membuat simpul ini itu, menyalakan api unggun lalu memasak menggunakan api unggun, di mata saya derajatnya langsung kembali meningkat menjadi pria terseksi abad ini.
Begini ceritanya, masih di Sadranan, setelah tenda-tenda berdiri cukup kokoh menghadap semi serong ke arah tebing agar terhindar dari hembusan angin laut, kami pun nongkrong di belakang tenda-tenda itu. Duduk di atas hamparan platik alas teras tenda Kanada, menghadap laut dan merumpi ke sana-kemari. Angin laut sudah reda. Langit masih kelam. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul itu dalam temaram sinar bulan tua, yang kadang tertutup awan mendung.
Buat saya yang tidak pernah kemping di alam terbuka, rasanya agak kaget-kaget gimana gitu waktu menyadari bahwa bulan yang cuma 2/3 ternyata cukup memberikan cahaya yang memadai untuk melihat samar-samar. Pantai itu bisa dibilang gelap gulita karena lampu listrik terdekat ada di warung yang jaraknya 100 meteran di sebelah Timur tenda kami. Itu pun dimatikan jam 9 malam, karena rupa-rupanya masih menggunakan generator listrik berbahan solar.
Sekitar jam setengah sembilan malam peserta persami mulai gelisah, sehingga omJ yang pramuka mulai menggali lubang. Lubang di pasir, yang lalu dilapisi dengan batu, lalu dilapisi lagi dengan daun pisang. Kemudian omJ sibuk di balik tenda, mempersiapkan ikan hiu dan kakap yang kami beli tadi sore di Drini. Ikan-ikan itu sudah dipotong. Bumbu berupa daun serai dan sedikit kunyit sudah disertakan oleh si ibu warung di Drini tadi sesuai dengan permintaan kami, yang oleh omJ ditambahi lagi dengan jahe dan garam yang sengaja dia bawa dari dapur sendiri.
Ikan-ikan itu ditumpuk berlapis-lapis dengan irisan bumbu, hiu di bawah, kakap di atas. Setelahnya tumpukan ikan ditutup lagi dengan berlembar-lembar daun pisang, ditandai dengan pemberat batu di atasnya, ditutup pasir lalu ditandai batas pinggiran lubangnya dengan batu, kemudian ditumpuklah patahan kayu bakar diatas lubang yang sudah tertutup pasir itu.
Karena saya membawa serta kompor gas portabel, untuk mempersingkat waktu kayu bakarnya dibakar dulu di atas kompor sampai menyala dan dalam waktu 15 menit kami sudah punya api unggun. HORE! Nah, panas dari api unggun itu akan mematangkan ikan-ikan yang terkubur pasir di bawahnya. Secara teori, cara memasak dengan lubang begini sudah sering saya dengar, dan saya tahu memang akan berhasil. Baru kali itulah saya menjadi peserta prakteknya.
Sambil menunggu ikan matang, kami ngerumpi lagi ngalor ngidul, sesekali memasukkan kayu ke dalam api agar nyalanya terjaga. Kecemasan saya bahwa hujan akan turun sudah agak reda, walaupun mendung masih menggantung bergulung-gulung.
Baru dua jam ikan itu dioven dalam pasir, peserta persami sudah menjerit-jerit... "Lapaarr... lapaarr..."
Ketahuilah wahay peserta persami yang berbahagia, sesungguhnya ikan hiu itu tekstur kulitnya tebal dan dagingnya liat, membuatnya kurang oke untuk disteam, dioven, pun direbus, apalagi jika tidak mencapai 4 jam lamanya. Mateng sih, mateng. Tapi booo... alot bagaikan sandal karet Skyway (bukan untuk tujuan iklan). Ndanda dengan kreatifnya membakar ikan hiunya di bara, sehingga menjadi lebih maknyus.
Bagaimana dengan ikan kakap? Ikan kakap baik-baik saja. Matang dengan sukses dan lezatnya!
Sesudah makan, sesi ngobrol dilanjutkan dengan minuman hangat aneka macam. Sekitar jam 1 malam, saya yang udah ngantuk duluan memutuskan untuk, ah tidur sajalah, dan masuk ke tenda, nyempil di ujung dan merem. Setengah sadar, entah jam 3 atau jam 4 pagi, saya dengar akhirnya hujan turun juga. Peserta persami yang masih melek dan ngerumpi pun bubar masuk ke tenda untuk berteduh dan tidur. Sebelum ketiduran lagi saya sempat berpikir, moga-moga paginya cerah jadi saya bisa berenang. Amin.
Begini ceritanya, masih di Sadranan, setelah tenda-tenda berdiri cukup kokoh menghadap semi serong ke arah tebing agar terhindar dari hembusan angin laut, kami pun nongkrong di belakang tenda-tenda itu. Duduk di atas hamparan platik alas teras tenda Kanada, menghadap laut dan merumpi ke sana-kemari. Angin laut sudah reda. Langit masih kelam. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul itu dalam temaram sinar bulan tua, yang kadang tertutup awan mendung.
Buat saya yang tidak pernah kemping di alam terbuka, rasanya agak kaget-kaget gimana gitu waktu menyadari bahwa bulan yang cuma 2/3 ternyata cukup memberikan cahaya yang memadai untuk melihat samar-samar. Pantai itu bisa dibilang gelap gulita karena lampu listrik terdekat ada di warung yang jaraknya 100 meteran di sebelah Timur tenda kami. Itu pun dimatikan jam 9 malam, karena rupa-rupanya masih menggunakan generator listrik berbahan solar.
Sekitar jam setengah sembilan malam peserta persami mulai gelisah, sehingga omJ yang pramuka mulai menggali lubang. Lubang di pasir, yang lalu dilapisi dengan batu, lalu dilapisi lagi dengan daun pisang. Kemudian omJ sibuk di balik tenda, mempersiapkan ikan hiu dan kakap yang kami beli tadi sore di Drini. Ikan-ikan itu sudah dipotong. Bumbu berupa daun serai dan sedikit kunyit sudah disertakan oleh si ibu warung di Drini tadi sesuai dengan permintaan kami, yang oleh omJ ditambahi lagi dengan jahe dan garam yang sengaja dia bawa dari dapur sendiri.
Ikan-ikan itu ditumpuk berlapis-lapis dengan irisan bumbu, hiu di bawah, kakap di atas. Setelahnya tumpukan ikan ditutup lagi dengan berlembar-lembar daun pisang, ditandai dengan pemberat batu di atasnya, ditutup pasir lalu ditandai batas pinggiran lubangnya dengan batu, kemudian ditumpuklah patahan kayu bakar diatas lubang yang sudah tertutup pasir itu.
Karena saya membawa serta kompor gas portabel, untuk mempersingkat waktu kayu bakarnya dibakar dulu di atas kompor sampai menyala dan dalam waktu 15 menit kami sudah punya api unggun. HORE! Nah, panas dari api unggun itu akan mematangkan ikan-ikan yang terkubur pasir di bawahnya. Secara teori, cara memasak dengan lubang begini sudah sering saya dengar, dan saya tahu memang akan berhasil. Baru kali itulah saya menjadi peserta prakteknya.
Sambil menunggu ikan matang, kami ngerumpi lagi ngalor ngidul, sesekali memasukkan kayu ke dalam api agar nyalanya terjaga. Kecemasan saya bahwa hujan akan turun sudah agak reda, walaupun mendung masih menggantung bergulung-gulung.
Baru dua jam ikan itu dioven dalam pasir, peserta persami sudah menjerit-jerit... "Lapaarr... lapaarr..."
Ketahuilah wahay peserta persami yang berbahagia, sesungguhnya ikan hiu itu tekstur kulitnya tebal dan dagingnya liat, membuatnya kurang oke untuk disteam, dioven, pun direbus, apalagi jika tidak mencapai 4 jam lamanya. Mateng sih, mateng. Tapi booo... alot bagaikan sandal karet Skyway (bukan untuk tujuan iklan). Ndanda dengan kreatifnya membakar ikan hiunya di bara, sehingga menjadi lebih maknyus.
Bagaimana dengan ikan kakap? Ikan kakap baik-baik saja. Matang dengan sukses dan lezatnya!
Sesudah makan, sesi ngobrol dilanjutkan dengan minuman hangat aneka macam. Sekitar jam 1 malam, saya yang udah ngantuk duluan memutuskan untuk, ah tidur sajalah, dan masuk ke tenda, nyempil di ujung dan merem. Setengah sadar, entah jam 3 atau jam 4 pagi, saya dengar akhirnya hujan turun juga. Peserta persami yang masih melek dan ngerumpi pun bubar masuk ke tenda untuk berteduh dan tidur. Sebelum ketiduran lagi saya sempat berpikir, moga-moga paginya cerah jadi saya bisa berenang. Amin.
Comments