Bagaikan Petualangan di Halaman Belakang bagian 3
Sadranan berjarak lima menit jalan kaki dari penginapan tempat kami menitip motor. Ya, di sana ada penginapan. Bentuknya sangat sederhana, mungkin fasilitas yang disediakan juga sangat mendasar: tempat tidur, tempat duduk, dan entahlah, mungkin kamar mandi juga? Karena daerah itu susah air bersih, saya meragukan adanya kamar mandi pribadi di tiap kamar.
Ketika menjejakkan kaki ke pasir, matahari sudah jauh sekali di kanan kami. Langit warnanya biru, emas, dan agak kelabu oleh gumpalan awan hujan yang sudah saya cemaskan semenjak kami sampai di Wonosari. Teman serombongan bilang, di pantai tidak pernah hujan. Saya cuma ketawa dalam hati karena setahu saya pantai sering sekali hujan.
Ombak laut Selatan yang terkenal besar dan ganas tetap nampak ganas di Sadranan. Bergulung-gulung dan pecah tidak jauh dari pinggiran pantai. Artinya? Jangan berenang terlalu ke tengah kalau tidak biasa. Saya merelakan jauh-jauh pikiran untuk berenang di Sadranan seperti yang pernah saya lakukan di Ngrenehan. Air di Sadranan lebih bersih dan jernih, tapi paling-paling cuma bisa dipakai berendam-rendam saja di tepian.
Selain kami sudah ada rombongan lain di Sadranan. Sepertinya mahasiswa, mereka paling tidak ada bertujuh dan baru selesai mendirikan tenda. Tiga buah tenda! Saya berjalan susah payah di pasir menyusul prinscarming si praja muda karana yang berjalan duluan mencari titik teraman mendirikan tenda kami, berhubung spot yang paling datar sudah dipatok tiga tenda rombongan tadi.
Seperti pantai-pantai lain di pesisir Selatan DIY, Sadranan dihias tebing-tebing karang tinggi yang menjorok ke arah laut. Kami harus memperhatikan garis pasang air juga, jangan sampai sedang asik tidur tiba-tiba terendam laut. Setelah 50 meter saya makin cemas karena tak juga melihat tempat yang nampak aman. Jangan-jangan satu-satunya tempat yang datar dan nyaman cuma yang tadi kami lewati itu? Rasanya malas kalau harus mendirikan tenda di dekat rombongan tadi.
Ada satu titik di bawah tebing yang jaraknya tak jauh ke air, nampak agak kotor oleh aneka macam debris (termasuk beberapa plastik bungkus makanan yang menunjukkan peradaban manusia), namun nampak datar. Prinscarming pergi bertanya pada penduduk setempat untuk memastikan tempat tersebut tidak akan terendam air pasang.
Tenda pertama berdiri dalam waktu 20 menit hanya dibantu 5 orang sementara yang lain membawa barang dari tempat parkir motor ke tenda dan sebagian mencari daun pisang & kayu bakar untuk api unggun memasak nantinya. Bentuk tenda pertama itu sederhana, dome ukuran sedang yang bisa menampung 6 orang.
Ketika tenda kedua dikeluarkan dari tas untuk didirikan, cahaya matahari sudah hilang. Luarbiasa, ternyata tidak ada dari kami yang membawa lampu darurat. Teman yang tadinya hendak membawa ternyata membatalkan niatnya karena kami tidak jadi kemping di Timang yang terpencil. Prinscarming mengandalkan senter kecil yang menempel di korek api gas, salah satu teman memanfaatkan telepon genggamnya yang dilengkapi fitur lampu senter, dan sisanya bekerja dalam pencahayaan minimal itu.
Tenda kedua berukuran lebih besar dari tenda pertama, dengan struktur yang cukup rumit. Tenda itu pinjaman, sisa dari tenda darurat sumbangan pemerintah Kanada untuk tempat tinggal darurat paska bencana gempa DIY-Jateng tahun 2006. Bagian dalamnya terdiri dari dua ruangan, lalu lapisan luarnya membentuk satu ruang tambahan berupa teras. Demi Tuhan, susah betul merakit tenda itu dalam gelap. Terutama karena tidak satu pun dari kami-- termasuk teman yang membawa tenda itu dan prinscarming yang paling cekatan dalam pertendaan dan paling berpengalaman berkemah--yang tahu cara merakitnya. Di tas pembungkusnya juga tidak ada keterangan perakitan, hanya gambar-gambar ilustrasi tenda dalam keadaan sudah berdiri, yang tidak banyak membantu. Tenda Kanada, saudara-saudara, rumit dan tidak menyertakan manual perakitan.
Bongkar pasang 4 kali, setelah 90 menit bekerja dalam cahaya minim, akhirnya tenda Kanada itu berdiri juga! Sembilanpuluh menit! Dalam sembilan puluh menit itu tiga orang dari rombongan mahasiswa itu melewati kami, ke arah kamar mandi umum yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat tenda kami berdiri, dan mereka membawa lampu darurat! Oh, siriknya kami melihat lampu itu.
Begitu kami selesai jam menunjukkan pukul 7 malam dan langit Sadranan masih berlapis mendung. Sepanjang waktu mendirikan tenda saya sudah cemas hujan akan mendahului kami. Setelah tenda berdiri saya cemas hujan akan membuat kami tidak jadi membuat api.
kesorean
Ketika menjejakkan kaki ke pasir, matahari sudah jauh sekali di kanan kami. Langit warnanya biru, emas, dan agak kelabu oleh gumpalan awan hujan yang sudah saya cemaskan semenjak kami sampai di Wonosari. Teman serombongan bilang, di pantai tidak pernah hujan. Saya cuma ketawa dalam hati karena setahu saya pantai sering sekali hujan.
Ombak laut Selatan yang terkenal besar dan ganas tetap nampak ganas di Sadranan. Bergulung-gulung dan pecah tidak jauh dari pinggiran pantai. Artinya? Jangan berenang terlalu ke tengah kalau tidak biasa. Saya merelakan jauh-jauh pikiran untuk berenang di Sadranan seperti yang pernah saya lakukan di Ngrenehan. Air di Sadranan lebih bersih dan jernih, tapi paling-paling cuma bisa dipakai berendam-rendam saja di tepian.
Selain kami sudah ada rombongan lain di Sadranan. Sepertinya mahasiswa, mereka paling tidak ada bertujuh dan baru selesai mendirikan tenda. Tiga buah tenda! Saya berjalan susah payah di pasir menyusul prinscarming si praja muda karana yang berjalan duluan mencari titik teraman mendirikan tenda kami, berhubung spot yang paling datar sudah dipatok tiga tenda rombongan tadi.
Seperti pantai-pantai lain di pesisir Selatan DIY, Sadranan dihias tebing-tebing karang tinggi yang menjorok ke arah laut. Kami harus memperhatikan garis pasang air juga, jangan sampai sedang asik tidur tiba-tiba terendam laut. Setelah 50 meter saya makin cemas karena tak juga melihat tempat yang nampak aman. Jangan-jangan satu-satunya tempat yang datar dan nyaman cuma yang tadi kami lewati itu? Rasanya malas kalau harus mendirikan tenda di dekat rombongan tadi.
Ada satu titik di bawah tebing yang jaraknya tak jauh ke air, nampak agak kotor oleh aneka macam debris (termasuk beberapa plastik bungkus makanan yang menunjukkan peradaban manusia), namun nampak datar. Prinscarming pergi bertanya pada penduduk setempat untuk memastikan tempat tersebut tidak akan terendam air pasang.
Tenda pertama berdiri dalam waktu 20 menit hanya dibantu 5 orang sementara yang lain membawa barang dari tempat parkir motor ke tenda dan sebagian mencari daun pisang & kayu bakar untuk api unggun memasak nantinya. Bentuk tenda pertama itu sederhana, dome ukuran sedang yang bisa menampung 6 orang.
Ketika tenda kedua dikeluarkan dari tas untuk didirikan, cahaya matahari sudah hilang. Luarbiasa, ternyata tidak ada dari kami yang membawa lampu darurat. Teman yang tadinya hendak membawa ternyata membatalkan niatnya karena kami tidak jadi kemping di Timang yang terpencil. Prinscarming mengandalkan senter kecil yang menempel di korek api gas, salah satu teman memanfaatkan telepon genggamnya yang dilengkapi fitur lampu senter, dan sisanya bekerja dalam pencahayaan minimal itu.
Tenda kedua berukuran lebih besar dari tenda pertama, dengan struktur yang cukup rumit. Tenda itu pinjaman, sisa dari tenda darurat sumbangan pemerintah Kanada untuk tempat tinggal darurat paska bencana gempa DIY-Jateng tahun 2006. Bagian dalamnya terdiri dari dua ruangan, lalu lapisan luarnya membentuk satu ruang tambahan berupa teras. Demi Tuhan, susah betul merakit tenda itu dalam gelap. Terutama karena tidak satu pun dari kami-- termasuk teman yang membawa tenda itu dan prinscarming yang paling cekatan dalam pertendaan dan paling berpengalaman berkemah--yang tahu cara merakitnya. Di tas pembungkusnya juga tidak ada keterangan perakitan, hanya gambar-gambar ilustrasi tenda dalam keadaan sudah berdiri, yang tidak banyak membantu. Tenda Kanada, saudara-saudara, rumit dan tidak menyertakan manual perakitan.
Inilah dia lapisan dalam tenda Kanada yang susah itu! Ini setelah percobaan keempat
Bongkar pasang 4 kali, setelah 90 menit bekerja dalam cahaya minim, akhirnya tenda Kanada itu berdiri juga! Sembilanpuluh menit! Dalam sembilan puluh menit itu tiga orang dari rombongan mahasiswa itu melewati kami, ke arah kamar mandi umum yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat tenda kami berdiri, dan mereka membawa lampu darurat! Oh, siriknya kami melihat lampu itu.
Begitu kami selesai jam menunjukkan pukul 7 malam dan langit Sadranan masih berlapis mendung. Sepanjang waktu mendirikan tenda saya sudah cemas hujan akan mendahului kami. Setelah tenda berdiri saya cemas hujan akan membuat kami tidak jadi membuat api.
Comments
sama dong..
*ninggalin jejak ahh*