Bagaikan Petualangan di Halaman Belakang bagian 2

Pada hari yang ditentukan peserta berkumpul terlambat dari jam yang dijanjikan karena satu (terlambat bangun sehingga ketinggalan kereta dan terpaksa naik bus dari Semarang pagi-pagi) dan lain hal (benar-benar tidak bisa bangun meskipun sudah ditelpon berkali-kali sepanjang pagi) akhirnya jam 1 siang, setelah molor 3 jam dari jadwal, kontingen berjumlah 10 orang dengan 5 sepedamotor pun berangkat dari Yogyakarta ke arah Selatan.

Selain barang-barang keperluan pribadi, bersama kami di atas 5 motor itu adalah dua unit tenda, satu kompor gas portabel, dan berbotol-botol air mineral. Sebagian besar peserta acara persami alias perkemahan Sabtu-Minggu itu tahu bahwa persediaan air bersih di daerah Gunung Kidul, termasuk pantai-pantainya, sangat terbatas.

Peserta N dan Peserta S yang slow motorbike rider, berwah-wah-wah-indah sepanjang jalan

Perjalanan mengambil rute Imogiri Timur lantas naik ke Wonosari Gunung Kidul melewati Panggang. Karena pranata mangsa sudah acak adul tidak karuan dengan hujan deras rajin berkunjung di bulan Mei, maka sepanjang perjalanan mata kami dimanja pemandangan hijau di kiri kanan. Setelah saya ingat-ingat, dua kali kunjungan saya sebelumnya ke Wonosari juga selalu pada musim hujan, jadi saya belum pernah benar-benar melihat daerah itu jadi kuning coklat gersang di musim kering.

Perjalanan itu makan waktu dua jam, sesuai perkiraan. Sebetulnya bisa pas 90 menit, tapi beberapa kali kami berhenti di jalan, saling menunggu yang lain sambil meredakan pegal pantat. Kali ini, belajar dari pengalaman, prinscarming dan saya menyewa sebuah motor bebek 150 cc yang normal-normal saja. Pantat memang pegal tapi tidak sepegal naik matic.


stop dulu tunggu yang lain sambil meredakan pegal pantat


Sedang ada proyek besar pelebaran jalan dari Panggang ke arah Pantai Baron.  Mesin-mesin besar memecah dinding kapur, menyekop tanah dan kapur ke ruas jalan dan memadatkannya seperti membuat kue lapis. Ketika kami lewat, belum nampak mesin pengaspal, hanya backhoe dan penumbuk raksasa yang sedang memadatkan lapisan jalan baru itu. Karena sebagian jalan itu belumlah selesai dipadatkan, apalagi diratahaluskan, motor-motor kami seperti mengalami perjalanan offroad mini selama kuranglebih 20 menit. Cukup menegangkan dan seru, tapi tetap saja untung untung untung seribu untung perjalanan kami hanya dihambat backhoe dan bukannya dihambat hujan! Seandainya hujan turun, perjalanan kami akan sangat sengsara dan durjana berusaha menembus lapisan lumpur.

Dihadang backhoe: hiiiyyy! ampun, megatron!

Setelah berguncang-guncang di lapisan jalan tak rata, jalan beraspal hitam membentang membawa kami ke sebuah portal berbayar yang menjaga di ujungnya, lalu jalan beraspal bercabang dua menjadi lebih kecil ke arah kiri atau kanan, meliuk di antara ladang-ladang jagung dan singkong. Di balik pepohonan dan bukit batu hitam, garis laut terlihat jelas. Aroma asin dalam hembusan angin sejuk membuat berdebar. Hore!

itu dia! di balik pepohonan itu! yang warnanya pucat itu! laut!!!

Kami mengambil arah ke kiri, ke arah Timur. Palang penunjuk jalan mengatakan Kukup. Ini adalah pantai yang cukup terkenal juga, tapi kami berjalan terus melewatkan belokan ke Pantai Kukup, dan berhenti di Drini.

Drini

Drini kecil dan sepi. Selain lima motor kami hanya ada satu minibus yang disewa sekelompok ABG. Saya bisa melihat mereka bermain air di kejauhan. Rombongan kami membeli ikan untuk dimasak di kemah nanti malam. Yang tersisa di pusat pasar ikan Drini yang kecil hanyalah tiga ekor bayi hiu yang kesepian. Dengan percaya diri prinscarming pun membelinya. Kami sepakat memilih yang berukuran sedang. Ibu penjual pun membersihkan dan memotong-motongnya.

dasar abege jaman sekarang, naik bis aja pilih yang bisa online!

Selain hiu itu kami juga membeli dua ekor ikan lain untuk dimasak di kemah, dan sekilo lagi ikan untuk dimasak dan dimakan di tempat. Kami menunggu cukup lama sambil mengistirahatkan pantat, begitu ikan-ikan itu masak, kami bersepuluh menyerbunya dengan nasi dan sambal. Hoho, udara laut memang membuat cepat lapar!

yang sedang-sedang saja

Teh di warung itu diseduh dengan air payau. Bagaimana rasanya? Seperti minum oralit yang kental dan sepet. Jelas tidak akan menghapus haus. Untung saja saya bawa 5 liter air mineral botolan.

Sesudah makan, jam empat sore kami langsung meneruskan perjalanan. Sadranan tidak jauh lagi. Hanya setengah jam naik motor dari situ.

bye-bye Drini

Comments

kivaa said…
hiunya keliatan enak..
M. Lim said…
Tapi dimasaknya kurang lamaaaa ;(

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa