Kenapa Lupa Harus Dilawan?
Kemarin saat saya sekali lagi kembali ke kamar mandi, untuk memeriksa apakah saya yang semi otomatis ini terlupa atau terlewat satu atau dua prosedur akhir buang air (yang terdiri dari 4 hal; kunci pintu, buang hajat, siram lubang wc, cuci tangan), saya mendadak terpikir soal lupa.
Kenapa kita harus melawan lupa?
Ada orang-orang yang berpendapat bahwa masa lalu itu harus dikubur agar kita bisa terus maju ke depan. Kenapa harus menyeret-nyeret beban ke mana-mana yang menyebabkan kita berhenti maju jalan?
Saya memahami pendapat itu. Saya seringkali dihantui sesuatu yang terjadi di masa lalu. Sesuatu yang tidak bisa saya ubah dan sekeras apapun saya berusaha menerimanya dan menjadikannya bagian dari diri saya, tetap saja ia menjadi sebuah ganjalan. Lebih baik, saya yakin, lebih baik kalau saya melupakannya. Tetapi, terkadang badan lebih ingat daripada pikiran. Bahkan pada saat saya kira saya sudah lupa, ternyata masa lalu tersebut masih bercokol di bawah sadar saya, menimbulkan gejala-gejala fisik yang kerap tidak mengenakkan. Psikosomatis, begitu bahasa ilmiahnya. Trauma. Atau apa lah.
Di sisi lain ada pendapat bahwa kita harus belajar dari masa lalu. Karena ada yang namanya sejarah berulang. Apabila sejarah itu baik, jaman keemasan, oh alangkah baiknya. Kalau sejarah itu seperti mimpi buruk, bala bencana, oh amit-amit jabang bayi.
Konon dengan belajar dari masa lalu, dari sejarah, kita bisa merunut semampu kita, melakukan analisa yang mempreteli suatu kejadian menjadi elemen-elemen yang terkuantifikasi. Sehingga di akhir perenungan dan pembelajaran atas sejarah itu, kita bisa mengambil tindakan pencegahan, bisa menganulir elemen-elemen yang kiranya memberi sumbangsih besar atas kekelaman yang pernah terjadi di masa lalu, sehingga kekelaman itu tidak berulang lagi.
Pendapat yang kedua ini saya juga sepakat. Tidak lucu kalau kita jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali, apalagi tiga kali. Namanya bodoh kalau sampai tidak belajar dari kesalahan yang pernah dibuat di masa lalu. Mempelajari sejarah itu menurut saya memang perlu.
Dari sini saja sudah bisa ketahuan, bahwa lupa itu tidak satu sisi saja. Kadang lupa bisa jadi surga, kadang lupa itu bisa jadi neraka. Apalagi buat orang-orang yang memiliki kesadaran. Yang tidak sadarkan diri ya biarkan saja. Sadar saja tidak, pastilah lupa atau tidak lupa bukanlah masalah bagi mereka. (Ah, jangan! Saya tahu pasti terbetik juga pemikiran soal hubungan antara lupa, rasa bersalah, dan dosa. Jangan teruskan! Nanti saya jadi harus mencari jawaban untuk menjelaskan dan menjabarkan. Jangan!)
Tergoda sungguh saya untuk menyertakan referensi tentang film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, seandainya saya bisa ingat dengan detil alur cerita film itu. Masalahnya, saya lupa.
Jadi ya sudahlah.
Sesungguhnya saya masih ingat kenapa saya meracau tentang lupa dan tidak lupa ini, saya terlewat update blog 2 hari karena minim koneksi internet. Tadinya saya mau menuliskan tentang Harta Karun Warisan Mbahmu bagian 4. tapi malas melanda saya. Malas, bukan lupa, walaupun keduanya kadang bersimbiosa.
Sampai jumpa besok saja.
Kenapa kita harus melawan lupa?
Ada orang-orang yang berpendapat bahwa masa lalu itu harus dikubur agar kita bisa terus maju ke depan. Kenapa harus menyeret-nyeret beban ke mana-mana yang menyebabkan kita berhenti maju jalan?
Saya memahami pendapat itu. Saya seringkali dihantui sesuatu yang terjadi di masa lalu. Sesuatu yang tidak bisa saya ubah dan sekeras apapun saya berusaha menerimanya dan menjadikannya bagian dari diri saya, tetap saja ia menjadi sebuah ganjalan. Lebih baik, saya yakin, lebih baik kalau saya melupakannya. Tetapi, terkadang badan lebih ingat daripada pikiran. Bahkan pada saat saya kira saya sudah lupa, ternyata masa lalu tersebut masih bercokol di bawah sadar saya, menimbulkan gejala-gejala fisik yang kerap tidak mengenakkan. Psikosomatis, begitu bahasa ilmiahnya. Trauma. Atau apa lah.
Di sisi lain ada pendapat bahwa kita harus belajar dari masa lalu. Karena ada yang namanya sejarah berulang. Apabila sejarah itu baik, jaman keemasan, oh alangkah baiknya. Kalau sejarah itu seperti mimpi buruk, bala bencana, oh amit-amit jabang bayi.
Konon dengan belajar dari masa lalu, dari sejarah, kita bisa merunut semampu kita, melakukan analisa yang mempreteli suatu kejadian menjadi elemen-elemen yang terkuantifikasi. Sehingga di akhir perenungan dan pembelajaran atas sejarah itu, kita bisa mengambil tindakan pencegahan, bisa menganulir elemen-elemen yang kiranya memberi sumbangsih besar atas kekelaman yang pernah terjadi di masa lalu, sehingga kekelaman itu tidak berulang lagi.
Pendapat yang kedua ini saya juga sepakat. Tidak lucu kalau kita jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali, apalagi tiga kali. Namanya bodoh kalau sampai tidak belajar dari kesalahan yang pernah dibuat di masa lalu. Mempelajari sejarah itu menurut saya memang perlu.
Dari sini saja sudah bisa ketahuan, bahwa lupa itu tidak satu sisi saja. Kadang lupa bisa jadi surga, kadang lupa itu bisa jadi neraka. Apalagi buat orang-orang yang memiliki kesadaran. Yang tidak sadarkan diri ya biarkan saja. Sadar saja tidak, pastilah lupa atau tidak lupa bukanlah masalah bagi mereka. (Ah, jangan! Saya tahu pasti terbetik juga pemikiran soal hubungan antara lupa, rasa bersalah, dan dosa. Jangan teruskan! Nanti saya jadi harus mencari jawaban untuk menjelaskan dan menjabarkan. Jangan!)
Tergoda sungguh saya untuk menyertakan referensi tentang film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, seandainya saya bisa ingat dengan detil alur cerita film itu. Masalahnya, saya lupa.
Jadi ya sudahlah.
Sesungguhnya saya masih ingat kenapa saya meracau tentang lupa dan tidak lupa ini, saya terlewat update blog 2 hari karena minim koneksi internet. Tadinya saya mau menuliskan tentang Harta Karun Warisan Mbahmu bagian 4. tapi malas melanda saya. Malas, bukan lupa, walaupun keduanya kadang bersimbiosa.
Sampai jumpa besok saja.
ohiya saya nyaris lupa bahwa postingan ini merupakan bagian dari
Comments
Waaa ... kita sehati ;)