Dalam Perjalanan Mengunjungi Ibu pada Maret 2010



Di bangku 4 aku duduk sendiri. Begitu juga ibu-ibu di seberangku. Aku membawa 3 tas, ibu itu tiga. Isi salah satu tasku makanan, ibu itu juga. Dia berkacamata, aku tidak. Setelah kereta berjalan kami sama-sama memasang syal menutup kepala. Bedanya punyaku kusut diikat asal, punya dia disemat rapi memakai bros di dekat dagu. Rapi sekali.

Ibu itu mungkin umurnya 55 tahun atau lebih. Selain syal penutup kepala, bajunya juga licin rapi. Nggak kayak bajuku yang, seperti isi lemariku lainnya, jarang disetrika.

Ibu itu meminta bantal pada pramugara kereta. Bantal itu menyewa 1500 saja. Aku kadang kelewat pelit jadi aku diam saja waktu pramugara menawariku juga.
Si ibu juga minta teh panas pada pramugara berikutnya. Sementara aku malah menghabiskan pisang sale keju yang tadinya kubeli dengan niat oleh-oleh tapi kemudian aku lapar sehingga berubah pikiran.
Kemudian aku sibuk membaca bekal perjalanan. Si ibu entahlah melakukan apa, mungkin menikmati pemandangan.

Ngomong-ngomong, make up si ibu juga rapi. Aku diam-diam melirik-lirik. Frame kacamatanya bergaya kuno, membulat besar, dan sepertinya sudah bertahun-tahun karena ada aura yang hanya dipancarkan oleh barang-barang yang sering dipakai dalam waktu yang lama.

Bekal bacaanku masih menarik saat itu jadi aku tidak mencuri lirik lama-lama. Kemudian karena di luar masih terang, aku jadi memperhatikan sawah, perumahan di tengah sawah, jalan aspal berbingkai sawah (ataukah sawah berbingkai jalan aspal?), rumah di tepi rel kereta. awan mendung, awan putih, naik turun kabel listrik, dan pepohonan yang diam tak berlari. Di tengah-tengah memikirkan kenapa mereka nggak lari lagi seperti dulu, aku ketiduran.

Aku terbangun lagi jam setengah enam. Kereta sedang melewati Sragen. Aku tahu karena papan-papan penanda terbaca sekilas tulisannya. Matahari belum sepenuhnya tenggelam. Jadi awan hitam yang kami songsong itu masih kelihatan jelas menggantung.

Hujan gerimis menerpa dari arah Selatan seperti kabut. Aku tidak menutup jendela karena aku duduk di kiri. Tampias tak masuk dari sisi Utara ini.
Kurang lima menit kami keluar dari gerimis itu. Untuk kemudian masuk ke dalam hujan deras lainnya.
Kereta kami tergesa menyongsong setiap hujan lalu meninggalkannya begitu saja dengan terburu-buru juga.

Sementara itu dari pantulan jendela aku bisa melihat penumpang yang duduk di kursi depan sedang makan nasi rames dalam bungkus kertas. Mereka adalah sepasang yang menjelang paruh baya. Si istri makan nampak ogah-ogahan, menyebalkan karena sementara itu aku jadi lapar lagi. Mulai terbayang berbagai makanan yang ingin dilahap tapi Surabaya masih 4 jam lagi. Meneruskan membaca sampai sekitar setengah jam. Sebelum kemudian memutuskan, persetan, aku makan saja lah bekal mi instan itu sekarang.

Sambil merasa sedikit riang mulailah sibuk mengeluarkan termos air panas, mi instan, sosis bohong-bohongan, dan satu saset kopi instan. Aduk-aduk. Seduh-seduh.
Si ibu di kursi seberang melihat tanpa komentar.
Sesudah hangat dan kenyang, kembali membaca bekal yang klimaksnya mengecewakan karena mirip Harlequin semata. Jadi belum selesai satu buku aku memutuskan mengeluarkan notes dan menulis.

Ibu itu turun di Madiun, digantikan sepasang suami-istri yang begitu duduk dan kereta melaju lagi, melakukan tayamum dan langsung bersembahyang bersebelahan.


Comments

salamatahari said…
Gua suka posting ini. Pas gua baca, visualisasinya dapet bgt. Rasanya jadi kayak nonton satu film pendek ...
@dewikhami said…
Enak sekali buat dibaca. ._.
M. Lim said…
deskripsi dan foto curian saling melengkapi ya? hahaha

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again