Pohon Tak Bisa Berlari


Seorang bekas kakak kelas yang dulu pernah saya kecengi mengunggah sebuah komik pendek yang dia buat di akun facebook-nya. Dua batang pohon berlomba lari setiap hari di tepi rel kereta api. Mereka berlomba lari menuju bola matahari di ufuk barat sebelum hari jadi gelap. Salah satu pohon yang selalu kalah larinya hari itu mendapat bantuan dari seorang bocah penumpang kereta. Si bocah memberinya bola untuk mengecoh pohon satunya lagi, sehingga pohon yang biasanya kalah itu pun menang.

Sebetulnya komik itu membuat saya agak sedih. Sudah lama sekali semenjak saya bisa melihat pohon-pohon berlari di luar jendela kendaraan yang sedang saya tumpangi. Sungguh saya lupa kapan terakhir saya sedang pergi ke suatu tempat lantas melihat keluar jendela dan tertawa melihat pepohonan berlomba lari satu sama lain, berlomba lari dengan mobil atau bus atau kereta yang saya sedang saya naiki. Terakhir kali saya naik kereta dari Jogja ke Surabaya, saya menatap keluar jendela dan pepohonan hanya diam saja dilewati kereta.

 I can't see the trees running from my windows anymore. 

Saya bilang di akun pribadi blog mikro saya mengenai hal ini. Aneka macam tanggapan muncul sebagai reaksi. "Apakah karena sekarang sudah tidak ada pohon lagi?"

Dari jaman saya masih SD, sepertinya berkurangnya populasi pohon sudah menjadi hirauan banyak orang. Sampai-sampai saat ujian sekolah pun, kosakata "Reboisasi" menjadi salah satu bahan yang harus dihafal luar kepala. Dihafal saja, tapi tidak dipahami dan diterapkan. Kalau dipahami dan diterapkan, harusnya sekarang hutan-hutan itu sudah mulai kembali hijau karena Reboisasi adalah program yang dicanangkan 20 tahun yang lalu. Jika satu hektar tanah ditanami pohon jati saat itu, pasti sudah seperti hutan mini saat ini. Nyatanya?

Gerakan perduli lingkungan, perduli alam, tolak pemanasan global, dan lain sebagainya yang sejatinya sama tapi hanya beda nama itu sempat menjadi trend yang gaya. Gencar di media massa. Gencar di kalangan muda dan kota-kota besar. Kosakata "Reboisasi" sudah jarang dipakai lagi karena terlalu berbau Orba dan menimbulkan konotasi yang tidak menggairahkan. Jargon yang banyak dipakai sekarang lebih spesifik aksi sehari-hari, agar bisa langsung kena sasaran, mungkin.

Jangan pakai plastik, jangan asal buang-buang kertas dengan mencetak yang tidak penting, hematlah listrik dan air, hematlah bensin dan kurangi polusi dengan naik kendaraan umum atau sepeda setiap hari, pisahkan sampah sesuai jenis dan jangan dibuang sembarangan. 

Anehnya hanya sedikit sekali yang menganjurkan hal semacam: tanamlah buah dan sayuranmu sendiri, atau tanam dan peliharalah minimal satu pohon besar untuk satu keluarga. Mungkin karena temanya dianggap masuk ke kampanye apotik hidup dan terlalu berbau PKK, terlalu orde baru, terlalu ketinggalan jaman. Mungkin karena kaum yang trendi yang harus diajari cara membuang sampah dengan beradab itu bermukim di kota dan jenis tanah yang mereka tahu hanyalah cor-coran beton, semen, aspal dan conblock.

Seandainya pohon-pohon itu benar-benar bisa lari, apakah mereka akan lari mendekati manusia, atau menjauhi manusia?

Comments

waw... imajinasi jaman kecilnya sama min :D, tapi jangan sedihlaaa, sekarang digantiin tiang listrik berlari kok hehehehehe cuma beda warna item sama besi doang wkwkwkwkwkw ... salut buat mirna yg udah bikin ulasan 'hijau' sejalan makna utuh visual yg dibuat :)))
salamatahari said…
Gua suka posting ini, Mirrrr ...

Pohonnya ngejer2 karena emang pengen bilang sesuatu kayaknya, tuh ...
M. Lim said…
@ Pirmen: ah tianglistrik sih kayak monster rambut kusut yang bikin ngeri :(

@ Dea: Anak-anak kecil sekarang masih bisa ngeliat pohon lari nggak ya?

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa