Ketahuilah: Bahwa Bahasa Indonesia untuk Pomegranate adalah Buah Delima. Camkan itu!
Katanya, hubungan orang jaman dulu dengan pohon itu sedemikian dekatnya sehingga setiap peristiwa ditandai dengan menanam pohon. Bayi lahir, tanam pohon. Ganti nama, tanam pohon. Meninggal, tanam pohon. Yang terakhir ini dapat kesan yang kurang baik, terutama mencemari imej pohon pisang, karena dalam film cuci otak penuh kekerasan, G30S/PKI, konon kuburan massal korban kudeta militer itu ditandai dengan sebatang pohon pisang.
Istana tempat tinggal Yang Mulia Ratu Alam Semestaku Ibu dulu punya tiga pohon. Satu pohon cemara yang baunya harum sekali, entah jenis cemara apa, konon menjadi salah satu poin menarik yang memperkuat keputusan untuk membeli rumah itu dulu. Sebatang pohon buah delima ditanam berjejer dengan cemara itu. Bibitnya cangkok dari pohon delima di rumah nenek Ummi, nenek dari Bapak saya. Lalu di bagian belakang rumah, yang dibiarkan masih ada tanah dan tanpa atap, ditanam pohon belimbing wuluh sebagai penanda kelahiran adik saya sekaligus awal rumah tersebut ditempati. Bibit belimbing wuluh cangkok juga dari tanaman yang ada di halaman rumah nenek Ibu, nenek dari Ibu saya.
Ketiga pohon itu sudah tidak ada.
Yang paling pertama pergi adalah si belimbing wuluh, waktu saya SMP. Lalu pohon delima menyusul saat saya SMA karena ekspansi bangunan hingga ke depan. Bersamaan dengan delima itu si pohon cemara yang jadi korban untuk ekspansi garasi. Saya paling sedih waktu cemara itu harus pergi. Bau daunnya wangi dan ia menyaksikan saya tumbuh dari kecebong menjadi saya yang remaja cantik mempesona yang memikat banyak pemuda. Hihihi. Sebetulnya saya hanya sedih karena daunnya yang wangi itu. Bentuk dahannya juga cantik menurut saya.
Bapak ternyata juga merasa sayang pohon itu dibuang. Jadi badan pohonnya dibiarkan seutuh mungkin, lalu dicat putih dan dipasang dengan semen di depan pagar. Kelihatannya artistik memang, tapi kalau dipikir-pikir lagi itu bangkai pohon.
Untungnya kedua orangtua saya memiliki kesamaan pendapat tentang tanaman, tanah dan ruang terbuka. Ekspansi bangunan rumah masih selalu menyisakan ruang terbuka di bagian samping rumah, petak tanah di belakang, dan beberapa jengkal tanah di halaman depan.
Pengganti ketiga pohon itu adalah berpot-pot tanaman bonsai koleksi Bapak, yang dengan berlalunya tahun, banyak juga yang gagal, yang sukses sepertinya dijual atau diberikan pada orang, entah saya juga tidak terlalu tahu. Setelah renovasi rumah yang terakhir 2005, di halaman belakang sempat ditanam rumput, tapi tidak berhasil karena bangunan rumah tetangga yang makin tinggi tiap tahunnya tidak menyisakan banyak cahaya matahari untuk petak tanah kecil di belakang rumah itu. Rumput di halaman depan tumbuh cukup subur seperti karpet di antara pot-pot tanaman aneka macam dan gerumbul kecil bambu kuning yang nyempil di pojokan.
Istana tempat tinggal Yang Mulia Ratu Alam Semestaku Ibu dulu punya tiga pohon. Satu pohon cemara yang baunya harum sekali, entah jenis cemara apa, konon menjadi salah satu poin menarik yang memperkuat keputusan untuk membeli rumah itu dulu. Sebatang pohon buah delima ditanam berjejer dengan cemara itu. Bibitnya cangkok dari pohon delima di rumah nenek Ummi, nenek dari Bapak saya. Lalu di bagian belakang rumah, yang dibiarkan masih ada tanah dan tanpa atap, ditanam pohon belimbing wuluh sebagai penanda kelahiran adik saya sekaligus awal rumah tersebut ditempati. Bibit belimbing wuluh cangkok juga dari tanaman yang ada di halaman rumah nenek Ibu, nenek dari Ibu saya.
Ketiga pohon itu sudah tidak ada.
Yang paling pertama pergi adalah si belimbing wuluh, waktu saya SMP. Lalu pohon delima menyusul saat saya SMA karena ekspansi bangunan hingga ke depan. Bersamaan dengan delima itu si pohon cemara yang jadi korban untuk ekspansi garasi. Saya paling sedih waktu cemara itu harus pergi. Bau daunnya wangi dan ia menyaksikan saya tumbuh dari kecebong menjadi saya yang remaja cantik mempesona yang memikat banyak pemuda. Hihihi. Sebetulnya saya hanya sedih karena daunnya yang wangi itu. Bentuk dahannya juga cantik menurut saya.
Untungnya kedua orangtua saya memiliki kesamaan pendapat tentang tanaman, tanah dan ruang terbuka. Ekspansi bangunan rumah masih selalu menyisakan ruang terbuka di bagian samping rumah, petak tanah di belakang, dan beberapa jengkal tanah di halaman depan.
Pengganti ketiga pohon itu adalah berpot-pot tanaman bonsai koleksi Bapak, yang dengan berlalunya tahun, banyak juga yang gagal, yang sukses sepertinya dijual atau diberikan pada orang, entah saya juga tidak terlalu tahu. Setelah renovasi rumah yang terakhir 2005, di halaman belakang sempat ditanam rumput, tapi tidak berhasil karena bangunan rumah tetangga yang makin tinggi tiap tahunnya tidak menyisakan banyak cahaya matahari untuk petak tanah kecil di belakang rumah itu. Rumput di halaman depan tumbuh cukup subur seperti karpet di antara pot-pot tanaman aneka macam dan gerumbul kecil bambu kuning yang nyempil di pojokan.
Comments