Menangis di Pembukaan Pameran Seni Rupa
Terus terang tadi saya sedang bosan, ingin jalan-jalan, dan sedang lapar. Ketika Nyai Geni Sambernyowo mengirim pesan pendek mengajak saya datang ke pembukaan pameran di Jogja National Museum, segera saja saya iyakan karena tiga alasan tadi. Saya juga tidak membawa kamera.
Nama G. Sidharta Soegijo sering saya dengar sebelumnya. Beliau pematung, dulunya mengajar di ITB, dan sudah mangkat tahun 2006 kemarin karena sakit. Hanya segini informasi yang saya tahu. Pembukaan yang saya datangi itu adalah pembukaan pameran Homage: G. Sidharta dalam Seni Rupa Indonesia. Sebuah pameran yang diadakan untuk memperingati 1000 hari meninggalnya G. Sidharta.
Dari dulu ingatan saya selalu tertukar antara G. Sidharta dan GM Sudarta, seorang karikaturis. Bahkan kadang-kadang ingatan saya menukar antara G. Sidharta dan St. Sunardi. Ya kepala saya kadang-kadang suka konslet kayak begini.
Kami tidak dapat katalog, karena datang tanpa undangan. Sesudah mengambil minuman dan cemilan, saya dan Nyai Geni duduk di deretan belakang sambil bergunjing menyusun akal dan rencana untuk mengambil katalog tanpa undangan. Di kursi sebelah terdapat sebuah buku, yang tadinya kami kira semacam kalender cenderamata pameran. Ternyata setelah saya buka, isinya adalah semacam buku kenangan tentang G. Sidharta, sepertinya disusun oleh keluarga. Tulisan dan foto di dalam buku itu terasa sangat intim dan pribadi, seperti layaknya surat cinta dan bukannya memorabilia. Mendadak saya merasa sedikit aneh membacanya, jadi saya tutup lagi buku itu, saya taruh, dan saya berusaha menikmati gending-gending jawa pengisi waktu yang disediakan panitia (LIVE!), tentunya sambil menikmati cemilan hingga perut terasa kenyang. Tujuan awal saya pergi ke sana kan memang itu.
Setelah serangkaian pidato pengantar dan pembuka yang membuat saya ngantuk dan mbak Sinden makan kacang dengan wajah antara bosan dan bengong, akhirnya pameran resmi dibuka. Saya dan Nyai Geni ikut berbondong ke Galeri Pamer JNM.
Pameran hanya menempati lantai satu saja dari tiga lantai gedung pamer. Yang dipamerkan adalah model resin, poliresin dari karya G. Sidharta. Ada juga beberapa karya lukisan dan cetak grafis. Yang memilih karya mana saja yang dipamerkan adalah kurator Rizky Djaelani.
Saya langsung menyukai karya-karya patung G. Sidharta. Ayam-ayam yang terlihat hidup, bentuk-bentuk totem yang begitu rapi dan simetris, detil-detil kecil dalam karya yang terlihat begitu rapi, mudah dan sederhana, padahal pastilah sang pematung membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk membuatnya. Beberapa patungnya membuat saya sangat jatuh cinta karena membuat saya langsung teringat pada cerita yang sedang saya susun.
Karya lukisannya bergaya klasik. Karya cetak grafisnya bergaya agak jadul tentunya, karena dibuat di era 70-80an. Yang membuat saya terkejut karena ternyata salah satu karya cetak grafisnya pernah saya lihat sebelumnya. Cukup sering malah. Hampir setiap hari di tahun 2007, ketika saya bekerja di sebuah toko buku bekas di Bandung yang bagian atasnya dahulu sebuah galeri seni.
Di salah satu ruangan dipamerkan karya yang tidak usai, yang belum sempat diselesaikan karena G. Sidharta keburu jatuh sakit dan kemudian berpulang. Sebuah model kecil dari plastisin berbentuk figur manusia, dan sebuah kuda kayu yang belum sempurna karena tak berekor. Di dinding ruangan tersebut ditempelkan foto-foto yang menunjukkan saat kuda tersebut sedang dibentuk dengan pahat oleh G. Sidharta. Di ruangan yang sama, berdiri di atas stelsel, sebuah lukisan cat minyak potret diri G. Sidharta yang dibuat tahun 1962. Ia nampak tampan, masih muda, matanya cerah. Di sudut kanan atas dituliskan, "Untuk istriku". Saya dan Nyai Geni berbisik-bisik sambil cekikikan. Sungguh manis dan romantis, menghadiahkan lukisan kepada istrinya. Tetapi bahwa hadiah itu adalah potret dirinya sendiri, sedikit bernuansa narsis, begitu pikir kami.
Sudah agak sepi ketika saya akhirnya memotret-motret beberapa karya yang saya sukai dengan menggunakan telepon genggam. Kualitas gambar jelas tidak akan sebagus menggunakan kamera poket, tapi saya ingin menatap bentuk-bentuk karya itu lebih lama sesudah saya pulang.
Saya sedang berjongkok di hadapan model resin patung berjudul Pengantin Adat I, dalam salah satu ruang pamer yang sudah sepi, ketika dari sisi kanan di belakang saya terdengar langkah kaki. Saya menoleh dan melihat istri almarhum dengan dituntun dua orang di kiri dan kanannya memasuki ruangan itu. Saya segera berpaling kembali ke arah patung tersebut, tetapi, langkah ketiga orang itu berhenti di pintu masuk tersebut. Cukup lama. Ketika saya menolehkan kepala lagi, mereka beranjak keluar dari ruangan tersebut. Mendadak saya merasa sangat sedih.
Saya menatap lagi patung Pengantin Adat itu dan semakin bertambah sedih sampai air mata saya mengalir. Tepat pada saat ini Nyai Geni masuk dan mengajak saya ke luar, mencari minum. Di luar, sambil memegang segelas jahe panas, mendadak kesedihan kembali menyerang saya sampai air mata saya keluar berbulir-bulir tanpa bisa ditahan. Saya tahu yang melihat pasti keheranan, saya sendiri juga agak heran, tapi sungguh... rasanya begitu sedih tak tertahankan lagi. Saat itu saya membuktikan kata-kata Nyi Tolombong, bahwa menangis membuat menelan jadi susah. Saya sampai sempat tersedak air jahe gara-gara berusaha menghentikan tangis saya dengan minum. Air mata saya mengalir lagi. Besar-besar.
Sepertinya yang membuat saya merasa sedih adalah nuansa rindu dan kehilangan yang kental mewarnai pameran tersebut. Padahal tidak ada satu pun gambar atau foto yang menunjukkan G. Sidharta bersama keluarga dalam ruang pamer. Mungkin karena sebelumnya saya sudah membaca sekilas buku memorabilia itu. Mungkin juga karena sebelumnya saya juga sekilas-sekilas memperhatikan sambutan yang diucapkan oleh perwakilan keluarga almarhum--sepertinya anak lelakinya--pada prosesi peresmian pameran. Atau mungkin saya saja yang sedang melankolia.
Tapi beginilah. Saya pun merasa harus menuliskannya di blog bahwa hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menangis di sebuah pembukaan pameran seni rupa.
Pameran Homage: G. Sidharta dalam Seni Rupa Indonesia akan berlangsung di Jogja National Museum hingga tanggal 2 Februari 2010.
Jogja National Museum terletak di Jalan Amri Yahya no.1 Yogyakarta.
Nama G. Sidharta Soegijo sering saya dengar sebelumnya. Beliau pematung, dulunya mengajar di ITB, dan sudah mangkat tahun 2006 kemarin karena sakit. Hanya segini informasi yang saya tahu. Pembukaan yang saya datangi itu adalah pembukaan pameran Homage: G. Sidharta dalam Seni Rupa Indonesia. Sebuah pameran yang diadakan untuk memperingati 1000 hari meninggalnya G. Sidharta.
Kami tidak dapat katalog, karena datang tanpa undangan. Sesudah mengambil minuman dan cemilan, saya dan Nyai Geni duduk di deretan belakang sambil bergunjing menyusun akal dan rencana untuk mengambil katalog tanpa undangan. Di kursi sebelah terdapat sebuah buku, yang tadinya kami kira semacam kalender cenderamata pameran. Ternyata setelah saya buka, isinya adalah semacam buku kenangan tentang G. Sidharta, sepertinya disusun oleh keluarga. Tulisan dan foto di dalam buku itu terasa sangat intim dan pribadi, seperti layaknya surat cinta dan bukannya memorabilia. Mendadak saya merasa sedikit aneh membacanya, jadi saya tutup lagi buku itu, saya taruh, dan saya berusaha menikmati gending-gending jawa pengisi waktu yang disediakan panitia (LIVE!), tentunya sambil menikmati cemilan hingga perut terasa kenyang. Tujuan awal saya pergi ke sana kan memang itu.
Setelah serangkaian pidato pengantar dan pembuka yang membuat saya ngantuk dan mbak Sinden makan kacang dengan wajah antara bosan dan bengong, akhirnya pameran resmi dibuka. Saya dan Nyai Geni ikut berbondong ke Galeri Pamer JNM.
Pameran hanya menempati lantai satu saja dari tiga lantai gedung pamer. Yang dipamerkan adalah model resin, poliresin dari karya G. Sidharta. Ada juga beberapa karya lukisan dan cetak grafis. Yang memilih karya mana saja yang dipamerkan adalah kurator Rizky Djaelani.
Saya langsung menyukai karya-karya patung G. Sidharta. Ayam-ayam yang terlihat hidup, bentuk-bentuk totem yang begitu rapi dan simetris, detil-detil kecil dalam karya yang terlihat begitu rapi, mudah dan sederhana, padahal pastilah sang pematung membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk membuatnya. Beberapa patungnya membuat saya sangat jatuh cinta karena membuat saya langsung teringat pada cerita yang sedang saya susun.
Karya lukisannya bergaya klasik. Karya cetak grafisnya bergaya agak jadul tentunya, karena dibuat di era 70-80an. Yang membuat saya terkejut karena ternyata salah satu karya cetak grafisnya pernah saya lihat sebelumnya. Cukup sering malah. Hampir setiap hari di tahun 2007, ketika saya bekerja di sebuah toko buku bekas di Bandung yang bagian atasnya dahulu sebuah galeri seni.
Di salah satu ruangan dipamerkan karya yang tidak usai, yang belum sempat diselesaikan karena G. Sidharta keburu jatuh sakit dan kemudian berpulang. Sebuah model kecil dari plastisin berbentuk figur manusia, dan sebuah kuda kayu yang belum sempurna karena tak berekor. Di dinding ruangan tersebut ditempelkan foto-foto yang menunjukkan saat kuda tersebut sedang dibentuk dengan pahat oleh G. Sidharta. Di ruangan yang sama, berdiri di atas stelsel, sebuah lukisan cat minyak potret diri G. Sidharta yang dibuat tahun 1962. Ia nampak tampan, masih muda, matanya cerah. Di sudut kanan atas dituliskan, "Untuk istriku". Saya dan Nyai Geni berbisik-bisik sambil cekikikan. Sungguh manis dan romantis, menghadiahkan lukisan kepada istrinya. Tetapi bahwa hadiah itu adalah potret dirinya sendiri, sedikit bernuansa narsis, begitu pikir kami.
Sudah agak sepi ketika saya akhirnya memotret-motret beberapa karya yang saya sukai dengan menggunakan telepon genggam. Kualitas gambar jelas tidak akan sebagus menggunakan kamera poket, tapi saya ingin menatap bentuk-bentuk karya itu lebih lama sesudah saya pulang.
Saya sedang berjongkok di hadapan model resin patung berjudul Pengantin Adat I, dalam salah satu ruang pamer yang sudah sepi, ketika dari sisi kanan di belakang saya terdengar langkah kaki. Saya menoleh dan melihat istri almarhum dengan dituntun dua orang di kiri dan kanannya memasuki ruangan itu. Saya segera berpaling kembali ke arah patung tersebut, tetapi, langkah ketiga orang itu berhenti di pintu masuk tersebut. Cukup lama. Ketika saya menolehkan kepala lagi, mereka beranjak keluar dari ruangan tersebut. Mendadak saya merasa sangat sedih.
pengantin adat
Saya menatap lagi patung Pengantin Adat itu dan semakin bertambah sedih sampai air mata saya mengalir. Tepat pada saat ini Nyai Geni masuk dan mengajak saya ke luar, mencari minum. Di luar, sambil memegang segelas jahe panas, mendadak kesedihan kembali menyerang saya sampai air mata saya keluar berbulir-bulir tanpa bisa ditahan. Saya tahu yang melihat pasti keheranan, saya sendiri juga agak heran, tapi sungguh... rasanya begitu sedih tak tertahankan lagi. Saat itu saya membuktikan kata-kata Nyi Tolombong, bahwa menangis membuat menelan jadi susah. Saya sampai sempat tersedak air jahe gara-gara berusaha menghentikan tangis saya dengan minum. Air mata saya mengalir lagi. Besar-besar.
Sepertinya yang membuat saya merasa sedih adalah nuansa rindu dan kehilangan yang kental mewarnai pameran tersebut. Padahal tidak ada satu pun gambar atau foto yang menunjukkan G. Sidharta bersama keluarga dalam ruang pamer. Mungkin karena sebelumnya saya sudah membaca sekilas buku memorabilia itu. Mungkin juga karena sebelumnya saya juga sekilas-sekilas memperhatikan sambutan yang diucapkan oleh perwakilan keluarga almarhum--sepertinya anak lelakinya--pada prosesi peresmian pameran. Atau mungkin saya saja yang sedang melankolia.
Tapi beginilah. Saya pun merasa harus menuliskannya di blog bahwa hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menangis di sebuah pembukaan pameran seni rupa.
Pameran Homage: G. Sidharta dalam Seni Rupa Indonesia akan berlangsung di Jogja National Museum hingga tanggal 2 Februari 2010.
Jogja National Museum terletak di Jalan Amri Yahya no.1 Yogyakarta.
Comments
tapi, eke ngerti rasanya kenapa jij sedih. baca tulisan lu dan liat foto2nya juga bikin trenyuh. sementara kemaren malem, gw ke pembukaan pameran di lawangwangi dan merasa ... dingin. sampe ga bisa jawab pas ditanya mana karya yang paling gw suka.
Bert: he bert... huhuuuuu ;TT"^"TT; hauuu