Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony (review)
Eh buset!
Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony by Rudolf Mrazek
My rating: 3 of 5 stars
Selama ini ada semacam getun yang tidak rasional merasuki pikiran saya, entah produk dari proses atau sistem apa, sedikit malas juga saya merunutnya. Saya curiga kegetunan itu karena saya kurang informasi saja. Getun tersebut adalah kenapa Indonesia ini dijajahnya sama Belanda? Kenapa bukan sama Inggris aja?
Alasan di balik getun ini adalah ketika membandingkan negara-negara ex-koloni Belanda (Indonesia tentu saja) dengan negara-negara ex-koloni Inggris (tetangga terdekat misalnya Singapura, Malaysia, Australia), betapa terbelakangnya kita, betapa apartheid masih merajalela hingga awal 90-an di Afrika Selatan, betapa majunya Singapura kini, betapa supremacist-nya Australia, dan betapa sombongnya jiran kita Malaysia.
Dijajah sedemikian lamanya Indonesia oleh Belanda, yang jejaknya tertinggal hanyalah korupsi jaman VOC, berbagai istilah serapan yang hilang pengetahuan akan akarnya, dan yang terakhir diberi istilah menarik oleh Ayu Utami: mental bangsa terjajah.
Sedemikian lamanya dijajah Belanda, tetapi bahasa Belanda asing betul buat orang Indonesia. Mungkinkah karena ini buah sukses kaum Nasionalis yang akibat kebenciannya pada penjajah sehingga membentuk retensi dan penolakan habis-habisan atas bahasa ini?
Dalam bukunya ini, Mrazek menganalisa peranan kolonial Belanda dalam membentuk 'bangsa' yang kini Indonesia. Bahwa, betapa modernitas dibawa masuk oleh Belanda ke Hindia ini. Mereka sepertinya beranggapan bahwa Nusantara ini sungguh seperti sehelai kertas yang masih bersih, sepetak kotak pasir yang bisa dibentuk dan dibangun sesuai kebutuhan untuk mengakomodasi koloni-koloni Eropa.
Mereka berusaha membangun replika rumah dan tanah air mereka di tanah koloni Hindia. Mereka membawa kemajuan teknologi dan penemuan termutakhir Eropa demi kenyamanan warga koloni mereka di tanah yang masih buas, liar, terbelakang, namun eksotis mempesona ini.
Tetapi, kolonial Belanda rupanya tidak sadar--yang kemungkinan besar orang Indonesia sendiri juga tidak menyadarinya--bahwa penduduk pribumi Nusantara ini bukanlah idiot seperti yang disangkakan.
Pribumi Nusantara ternyata terbukti sangat reaktif, tangkas dalam menyerap dan mengadaptasi apa pun hal yang baru yang disodorkan. Semoga saja ini bukan berarti bahwa kaum pribumi sekedar monyet atau beo peniru, yang begitu mendapatkan pengaruh baru segera semakin gencar dan semakin gencar saja menerapkan hal tersebut dalam kehidupan dan keseharian mereka; menjadikan hal baru itu bagian yang tak terpisahkan dari cara hidup dan kebudayaan mereka. Contohnya: cara berpakaian, menyetir mobil, profesi-profesi khusus yang tadinya eksklusif kulit putih (bekerja untuk jawatan kereta api, dokter, supir, ilmuwan, pengacara). Kaum pribumi juga sangat tangkas mengadaptasi yang paling buruk: mental bangsa terjajah dan kebudayaan korupsi dalam tubuh VOC di mana birokrasi adalah sama dengan pelicin yang identik dengan uang, maka bekerja untuk pemerintah (clerk) sama dengan kaya raya dan bergengsi.
Jadi, tidak sepenuhnya benar asumsi bahwa Belanda tidak memperkenalkan kemajuan pada Hindia. Hanya saja dalam upaya mereka untuk secara kaku menciptakan tatanan yang bersih dan rapi yang menyerupai sterilnya negara asal mereka, mereka melewatkan beberapa aspek yang mustinya diperhatikan:
a. edukasi, memanusiakan pribumi di Nusantara, yang hingga akhir masa kolonial tetap dianggap monyet rimba berbaju berbedil dengan julukan inlander dan extremist.
b. kesuburan, nusantara terlalu subur untuk disterilkan :D
Oke, kolonial Belanda gagal menerapkan engineering mereka kepada Hindia Belanda, sehingga gini berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang acak adul mowat-mawut dan tetap fertil tidak steril. Pertanyaannya: efek dari kegagalan itu, apakah penduduk NKRI sekarang unhappy alias tidak bahagia, atau happy-happy saja?
Senin, 3 Agustus 2009
View all my reviews >>
Resensi awal buku ini sudah pernah diunggah ke jurnal digital ini. Dalam bahasa Linggis karena di rak buku ada dua versi buku ini, versi bahasa Inggris yang fotokopian, dan versi bahasa Indonesia yang asli. Bacanya berganti-ganti karena Rudolf Mrazek menulis dengan gaya bahasa yang kurang familier. Naskah asli buku itu memang bahasa Linggis, sementara bahasa ibu Mrazek itu kemungkinan Polandia.
Membaca satu buku dalam dua bahasa ini bukannya menggairahkan malah membingungkan. Tapi untungnya berhasil membaca sampai habis. Yang ini adalah resensi tuntas dalam bahasa Indonesia, yang setelah dibaca lagi ternyata acak-acakan dan gak nyambung. Bae lah!
My rating: 3 of 5 stars
Selama ini ada semacam getun yang tidak rasional merasuki pikiran saya, entah produk dari proses atau sistem apa, sedikit malas juga saya merunutnya. Saya curiga kegetunan itu karena saya kurang informasi saja. Getun tersebut adalah kenapa Indonesia ini dijajahnya sama Belanda? Kenapa bukan sama Inggris aja?
Alasan di balik getun ini adalah ketika membandingkan negara-negara ex-koloni Belanda (Indonesia tentu saja) dengan negara-negara ex-koloni Inggris (tetangga terdekat misalnya Singapura, Malaysia, Australia), betapa terbelakangnya kita, betapa apartheid masih merajalela hingga awal 90-an di Afrika Selatan, betapa majunya Singapura kini, betapa supremacist-nya Australia, dan betapa sombongnya jiran kita Malaysia.
Dijajah sedemikian lamanya Indonesia oleh Belanda, yang jejaknya tertinggal hanyalah korupsi jaman VOC, berbagai istilah serapan yang hilang pengetahuan akan akarnya, dan yang terakhir diberi istilah menarik oleh Ayu Utami: mental bangsa terjajah.
Sedemikian lamanya dijajah Belanda, tetapi bahasa Belanda asing betul buat orang Indonesia. Mungkinkah karena ini buah sukses kaum Nasionalis yang akibat kebenciannya pada penjajah sehingga membentuk retensi dan penolakan habis-habisan atas bahasa ini?
Dalam bukunya ini, Mrazek menganalisa peranan kolonial Belanda dalam membentuk 'bangsa' yang kini Indonesia. Bahwa, betapa modernitas dibawa masuk oleh Belanda ke Hindia ini. Mereka sepertinya beranggapan bahwa Nusantara ini sungguh seperti sehelai kertas yang masih bersih, sepetak kotak pasir yang bisa dibentuk dan dibangun sesuai kebutuhan untuk mengakomodasi koloni-koloni Eropa.
Mereka berusaha membangun replika rumah dan tanah air mereka di tanah koloni Hindia. Mereka membawa kemajuan teknologi dan penemuan termutakhir Eropa demi kenyamanan warga koloni mereka di tanah yang masih buas, liar, terbelakang, namun eksotis mempesona ini.
Tetapi, kolonial Belanda rupanya tidak sadar--yang kemungkinan besar orang Indonesia sendiri juga tidak menyadarinya--bahwa penduduk pribumi Nusantara ini bukanlah idiot seperti yang disangkakan.
Pribumi Nusantara ternyata terbukti sangat reaktif, tangkas dalam menyerap dan mengadaptasi apa pun hal yang baru yang disodorkan. Semoga saja ini bukan berarti bahwa kaum pribumi sekedar monyet atau beo peniru, yang begitu mendapatkan pengaruh baru segera semakin gencar dan semakin gencar saja menerapkan hal tersebut dalam kehidupan dan keseharian mereka; menjadikan hal baru itu bagian yang tak terpisahkan dari cara hidup dan kebudayaan mereka. Contohnya: cara berpakaian, menyetir mobil, profesi-profesi khusus yang tadinya eksklusif kulit putih (bekerja untuk jawatan kereta api, dokter, supir, ilmuwan, pengacara). Kaum pribumi juga sangat tangkas mengadaptasi yang paling buruk: mental bangsa terjajah dan kebudayaan korupsi dalam tubuh VOC di mana birokrasi adalah sama dengan pelicin yang identik dengan uang, maka bekerja untuk pemerintah (clerk) sama dengan kaya raya dan bergengsi.
Jadi, tidak sepenuhnya benar asumsi bahwa Belanda tidak memperkenalkan kemajuan pada Hindia. Hanya saja dalam upaya mereka untuk secara kaku menciptakan tatanan yang bersih dan rapi yang menyerupai sterilnya negara asal mereka, mereka melewatkan beberapa aspek yang mustinya diperhatikan:
a. edukasi, memanusiakan pribumi di Nusantara, yang hingga akhir masa kolonial tetap dianggap monyet rimba berbaju berbedil dengan julukan inlander dan extremist.
b. kesuburan, nusantara terlalu subur untuk disterilkan :D
Oke, kolonial Belanda gagal menerapkan engineering mereka kepada Hindia Belanda, sehingga gini berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang acak adul mowat-mawut dan tetap fertil tidak steril. Pertanyaannya: efek dari kegagalan itu, apakah penduduk NKRI sekarang unhappy alias tidak bahagia, atau happy-happy saja?
Senin, 3 Agustus 2009
View all my reviews >>
Comments