Telur


Yang Mulia Ratu Alam Semesta-ku pernah bercerita tentang masa kecilnya di jaman paceklik era 60an. Ketika harga barang melambung dan mata uang mengalami penurunan nilai. Mereka tiga bersaudara dan ayah mereka, kakekku yang ganteng bak bintang film dengan rambut licin berbelah tengah itu, baru saja meninggal. Nenekku pun pusing mengurus tiga anaknya yang masih kecil dengan predikat janda kembang. Usianya mungkin baru duapuluh lima.

Telur adalah barang langka dan mewah saat itu. Namanya juga sembako. Sembilan Bahan Pokok. Ada yang ingat apa saja? Beras, Gula, Tepung, Telur, Minyak, ... apa lagi? Yang teringat saat ini cuma Thomas Djorgi dengan kemeja yang kancingnya terbuka sampai pertengahan dada, menari-nari sambil bernyanyi dangdut Sembako Cinta. Thomas Djorgi itu putih sekali.

Kembali ke telur. Sebagai bahan mewah, tetap telur lebih terjangkau daripada daging ikan, ayam, apalagi sapi dan kambing. Untungnya si nenek masih bisa membeli telur. Ada keluarga yang sampai tidak mampu beli apa-apa saking susahnya. Kalau tidak percaya, tanya Titiek Puspa. Dia pernah cerita anaknya si Petty pingin es lilin dan itu pun Titiek tidak mampu beli saking miskinnya.

Kembali ke telur lagi. Meskipun si nenek masih bisa beli telur tapi anaknya ada tiga dan tiga-tiganya butuh makan empat sehat lima sempurna. Ada yang hafal empat sehat lima sempurna itu apa aja? Jangan kuatir, kali ini nggak akan ngelantur lagi. Hahaha. Ibu Yang Mulia Ratu Alam Semesta-ku berkisah waktu kecilnya itu, untuk sarapan mereka makan telur rebus satu dibagi tiga sebagai lauk makan bubur. Telurnya pun kecil sekali karena telur ayam kampung, karena ternak ayam petelur yang hasil telurnya besar-besar dan berwarna coklat itu baru ngetren satu dekade kemudian ketika perekonomian sudah membaik di bawah binaan Bapak Pembangunan Indonesia, Jenderal Purnawirawan H.M. Soeharto almarhum.

Saat mendengar cerita ini umur saya masih 8 atau 9 tahun. Waktu itu serial Oshin masih tayang di TVRI. TVRI masih satu-satunya stasiun televisi. Dan Oshin makan bubur campur lobak yang encer sekali. Mereka cuma makan bubur itu saja setiap hari. Makannya pakai sumpit! Orang Jepang itu memang canggih!

Saya suka sekali telur. Rebus. Goreng. Bakar. Ceplok. Campur. Apa saja! Telur ayam, telur angsa, telur bebek, bahkan telur penyu sudah pernah mencoba. Memang belum pernah mencoba itu telur yang sudah jadi anakan lantas dimasak dan dimakan utuh-utuh, geli rasanya.

Masih di umur yang 8 atau 9 tahun itu, saat itu keluarga kami tinggal di Mojokerto. Waktu itu bapak saya masih tugas lapangan penyuluhan ternak dan sebagainya. Salah satu yang disuluhkan adalah penggunaan mesin tetas bertenaga listrik untuk menetaskan telur ternak. Jadi peternak nggak harus bergantung membeli DOC, day-old-chicken alias piyik yang masih kuning, dari pemasok, karena mereka bisa tetaskan sendiri telur ayam ternaknya. DOC hanya perlu dibeli sebagai bibit awal.

Nah. Rumah kontrakan keluarga kami di kompleks perumahan mewah alias mepet sawah itu banyak cicaknya. Sering sekali ketemu itu telur cicak, satu, dua, bahkan pernah nemu sampai empat! Tentunya sebagai anak dokter hewan saya tahu bahwa telur cicak tidak mungkin diperlakukan sama seperti telur ayam. Tapi saya ingin menetaskan telur itu. Jadi waktu nemu tiga butir, saya buntel mereka pakai kapas dan saya tarus di mangkuk sambil wanti-wanti pada asisten rumah tangga ibu saya untuk tidak membuangnya.

Setelah dua hari saya nggak sabar. Sebagai anak dokter hewan yang nggak pernah baca ensiklopedia reptil dan hewan melata, saya nggak tahu itu telur cicak butuh waktu berapa lama buat menetas. Apakah telur itu sudah busuk? Apakah masih hidup? Ditenggelamkan ke segelas air dia mengambang. Saya coba metode mengintip seperti yang pernah saya baca di buku petunjuk cara beternak ayam dari kantor bapak. Nggak keliatan! Kecil sekali.

Akhirnya di hari ketiga saya pecahkan telur itu. Telur pertama ternyata sudah ada isinya. Hati saya berdebar kencang penuh rasa bersalah. Kalau saya tidak pecahkan, tentunya dia bisa menetas. Tapi namanya juga anak kecil saya pecahkan juga telur kedua. Busuk. Telur ketiga biasa saja.

Oke. Episode kilas balik saat masih kecilnya sampai sini saja.

Barusan saya berusaha membuat crepes dan gagal. HAHAHA. Pakai telur ayam tentu saja. Setiap turun dari pan langsung masuk ke mulut. Gagal berganda. Terus jadi terpikir... kalau bikin dadar dari telur cicak... butuh berapa banyak ya? Pasti lucu sekali ceplok kecil-kecil banyak untuk hiasan nasi goreng.

Hmm... mungkin suatu saat nanti akan mencoba ceplok telur puyuh. Telur cicak susah nyarinya.

Comments

Antonini said…
Adzania, kamu menulis dengan bahasa yang menyenangkan, tp itu tidak boleh membuat kamu ngelantur bgtu aja. Kamu emang kritis (jika g mw dibilang jago kritik orang lain, tp apa sebenarx yg ingin kamu sosialisasikan pd org2 NKRI?Thx.
M. Lim said…
Saya nggak senasionalis itu kok.
La la la la.

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again