Fiksi Diksi Fisik Disik Fks Dks



Sudah lama tidak memutakhirkan catatan harian ini bukan berarti berhenti menulis sama sekali. Sebetulnya ada banyak dalam kepala yang menunggu keluar dalam bentuk deretan huruf, tapi... karena malas, mulai dari bahasan yang paling terpanas saja.

Terpanas, tapi belum tentu yang terbaru!

Diksi, dari piranti lunak yang terpasang di unit komputer ini, memiliki arti sebagai gaya bahasa.
Gaya bahasa ya tentunya mencakup pilihan kosa kata yang digunakan dalam kalimat saat menulis atau berbicara. Jika Diksi adalah gaya bahasa, dan mengingat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang tentunya berkaitan erat dengan konsep sosial (mencakup interaksi antar manusia, dan seterusnya dan sebagainya), maka! Aman untuk menarik kesimpulan bahwa diksi ini dipengaruhi oleh pengalaman sosial individu pengguna.

Penggunaan dan pemilihan diksi sangat dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, lingkungan pergaulan, dan... hmm ideologi. Ada yang terlewat? Boleh ditambahkan.

Fiksi, dari piranti lunak yang terpasang di komputer ini, suatu karangan atau buatan yang tidak faktual alias tidak betulan alias tidak nyata, dan berhubungan dengan sastra.

Meskipun ngarang, fiksi kerapkali didasarkan pada kenyataan. Dan kata orang, kenyataan seringkali lebih aneh daripada fiksi yang paling ngarang.

Sebetulnya jurnal kali ini mau cerita apa sih?

Ceritanya begini, beberapa hari yang lalu saya membaca sesuatu di jejaring jagad jembar. Ya, namanya juga dunia maya, banyak tulisan yang susah dibedakan antara fiksi dan fakta. Kebetulan penulis yang tulisannya saya baca itu adalah orang yang mendapat predikat mumpuni dalam bidangnya. Bidang dia itu meliputi banyak hal tapi salah satunya adalah itu tadi: tulis menulis.

Dalam bidang menulis beliau ini profesional, yang dalam pengertian pribadi saya adalah orang yang mendapatkan bayaran atau penghasilan dari apa yang ia kerjakan. Tentunya saya, yang gemar berasumsi, segera memiliki bayangan bahwa tentunya beliau ini paham dan sadar diksi, selain paham dan sadar diri. Standar tulisan beliau tentunya sudah masuk kelas lanjut, karena dari tulisannya beliau bisa mendapat uang.

Lantas?

Lantas saya membaca kontradiksi dalam diksi tulisan beliau ini. Setelah paragraf awal yang membuka tulisan dengan penjelasan tentang musabab judul, paragraf berikutnya meluncur menyusun argumen pendukung musabab judul. Metodis dan sistematis. Memberikan gambaran bahwa beliau terbiasa dengan pola tulisan yang rapi terpelajar dan bahkan mungkin ilmiah akademis.

Dalam paragraf isi yang berisi argumen pendukung musabab judul, diselipkanlah beberapa ilustrasi penjelas. Ilustrasi tidak hanya berupa gambar saja, jangan salah kaprah. Ilustrasi dapat berupa contoh kasus sebagai pembanding, atau semacam cerita simbolik yang bisa digunakan sebagai analogi pembanding.

Pusing?

Kembali ke tulisan yang saya baca beberapa hari lalu itu, sebagai ilustrasi penjelas si penulis yang profesional ini memilih menyelipkan contoh kasus pembanding berupa percakapan antara diri penulis dan beberapa teman penulis. Petikan kutipan yang dicantumkan tentunya sudah dipilih pilah dengan seksama, karena bukankah ilustrasi dimaksudkan sebagai penjelas, bukan sebagai penjerumus hingga bablas? Akan tetapi, sayang sekali bahwa kemudian runutan paragraf yang demikian rapi sistematis metodis berbau ilmiah akademis itu malah rusak gara-gara petikan kutipan percakapan yang mengandung diksi berbau fiksi.

HA!

Saya tertawa.

Kemarin, siang-siang sambil menunggu mi instan makan siang saya matang di penjerangan, saya mendapat ilham untuk menelpon seorang teman. Tersambung, Diangkat. Teman saya ini sedang ada di kamarnya, menghadap komputernya, yang menurut informasinya sudah terhubung ke jejaring jagad jembar selama duapuluh empat jam. Sebut saja teman saya ini T.

Saya tanya kabar. T sedang sakit kepala, karena itu ia sedang ada di kamar dan bukannya di tempat kerja. Saya ucapkan turut bersimpati karena sakit kepala itu bisa berarti macam-macam selain rasa nyeri yang terasa di daerah kepala. Saya tanya apakah T sedang membuka piranti lunak jendela dunia maya. T bilang belum tapi sedang membukanya. Saya sebutkan alamat situs tempat saya menemukan bacaan penuh kontradiksi dan sensasi itu. T menuju ke TKP.

Situs itu bukanlah tempat yang asing bagi T karena sama seperti saya, dia juga pernah membaca beberapa tulisan yang diunggah ke sana oleh pemilik situsnya. Saya sebutkan pada T judul artikel yang saya maksud. T menemukannya dan mulai membaca keras-keras sementara saya mengangkat panci mi instan dari atas kompor.

Sampai pada ilustrasi yang saya maksud, suara T berangsur lirih dan sepersekian detik dari ujung sana terdengar umpatan di antara bacaan teks.


Saya senang!

Kenapa?

Karena saya punya teman.

HA!

Jadi, inti dari entri catatan harian daring kali ini apa? Entahlah. Kemungkinan besar tidak bermanfaat bagi orang lain, selain dari paparan terbatas yang kurang bisa dipertanggungjawabkan tentang istilah "DIKSI" dan "FIKSI". Ada juga beberapa informasi tentang makanan apa yang saya makan di suatu siang, kebiasaan saya bertelepon, dan kebiasaan saya berselancar di dunia maya. Jika yang membaca memiliki latar belakang pendidikan dan pelatihan psikologi, tentunya mereka sedikit banyak bisa membaca isi kepala saya, yang saya sendiri enggan mengintipnya.

HA! Ya, tapi, kalau setelah membaca entri ini dan merasa tercerahkan, bukan saya pelakunya, tapi anda sendiri, dan mungkin juga Tuhan. Cieeh....

Comments

@dewikhami said…
Nampaknya entri ini ditulis dalam kondisi kepadatan pikiran ketika 23k novelnya belum maju-maju. HAHAHAH.

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa