Pengakuan Seorang Nyai
Menjelang subuh di pertengahan tahun 2000, saat menunggu telepon dari pacar yang tinggal di tanah yang berbeda waktu 4 jam dari negeri ini, mendadak saya memikirkan tentang tradisi. Beberapa hari terakhir ini, pemikiran itu muncul kembali, seperti kapal selam dari dasar palung terdalam bawah sadar saya.
Lahir dan besar sebagai orang Jawa dalam keluarga yang nampak liberal di pulau Jawa, saya tetap dikelilingi dan dibentuk dalam tradisi. Orang Jawa sangat menyukai tradisi. Segala macam upacara dan tata cara dalam hidup orang Jawa dilandasi berbagai simbol dan filosofi. Javanese are suckers for ceremonies and symbols, begitu kesimpulan saya.
Ibu saya sebetulnya jenis orang yang tak terlalu gemar upacara dan simbol-simbolan, tetapi sebagai seorang yang dididik secara akademis untuk menjadi skeptis, ibu ternyata bisa menemukan jawaban dan alasan yang rasional untuk beberapa upacara tradisi yang berlaku dalam adat Jawa. Misalnya ketika dulu saya pertama kali menstruasi, ibu tetap membuatkan bubur merah, walaupun tidak menyebarkannya ke tetangga dari ujung ke ujung jalan tempat kami tinggal. Beliau menjelaskan bahwa di masa lampau, bubur merah itu menjadi pengumuman ke seluruh desa bahwa di rumah si pengirim kini sudah ada seorang anak gadis yang sudah siap untuk dibuahi, sehingga seisi desa bisa turut menjaga si anak gadis. Sekaligus jika ada yang menaruh hati pada si anak gadis, bubur merah itu menjadi penanda bahwa kini si anak gadis sudah bisa sah untuk dinikahi karena sudah akil balig. Dari ibulah saya jadi sadar bahwa di balik semua upacara bertele dan tetek bengek tradisi yang kadang tidak rasional itu tersimpan suatu rasionalitas.
Seperti yang lalu saya pelajari juga di bangku sekolah dan kuliah dalam subjek Sosiologi, tradisi merupakan salah satu pengikat rasa kebermilikan, tradisi memisahkan antara "kita" dan "mereka". Melihat beberapa kasus nyata di sekeliling saya, tradisi juga yang menjadi semacam pelampung penyelamat atau malah jangkar penahan yang kuat saat individu mulai terekspos dunia di luar rumah orangtuanya, lalu seluruh nilai-nilai dalam hidupnya berbenturan dengan yang sesuatu yang dengan menterengnya disebut budaya global. Inti masalahnya cuma itu-itu saja: gegar budaya.
Pacar saya tahun 2000 itu dibesarkan dalam kebudayaan yang sama sekali berbeda. Buyutnya adalah migran, dan pohon keluarganya bisa ditarik hingga ke Erik si Merah, pelaut Skandinavia yang mendarat dan "menemukan" Greenland dan lantas merambah ujung Utara benua Amerika. Tradisi yang dia alami hanyalah sebatas kebiasaan yang berkaitan dengan agama, itupun tidak banyak karena kedua orangtuanya bukanlah penganut Anglikan yang fanatik. Pacar yang ini menganggap tradisi Jawa eksotik, sama seperti saya yang eksotik di matanya. AHAHEY! Dia tertarik dan terpesona pada tradisi Jawa yang saya ceritakan. Bahkan, sempat berkata jika kami jadi menikah dan punya anak, anak-anak kami akan dibesarkan dalam tradisi budaya Jawa. WAAH! Tapi, lima tahun kemudian saya putus dari pacar saya yang ini. AHAHAH.
Pacar yang sekarang dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang tradisi budaya, yang jika dirunut terhitung cukup tua, kuno malah. Dia juga lama tinggal di lingkungan yang sarat dan kental budaya Jawa, di pusat pulaunya pula. Tapi, kebalikan dengan pacar saya yang dulu, dia tidak terlalu tertarik pada tradisi apapun. Sebagai pemberontak sejati, dia berusaha sebisa mungkin menghindar dari hal-hal yang mengikat, termasuk tradisi. Cool abis, kan?
Mungkin karena sekarang saya sudah mengalami lebih banyak hal dibandingkan saya yang 9 tahun lalu, atau mungkin karena saya sudah terlampau lama jauh dari keluarga, serta terlalu lama tinggal di kota besar, saya mengambil sikap yang lebih asing terhadap "akar budaya" saya sendiri. Sekarang buat saya budaya tradisional Jawa itu eksotik. Menarik untuk dilihat dan dialami seperti layaknya pelesir keluar kota. Singkatnya, kondisi lingkungan saya saat ini membuat saya merasa bahwa saya adalah manusia yang modern, yang global, manusia yang --meminjam dari istilah yang seringkali digunakan kawan saya-- tercerabut dari "akar budaya"-nya. Akademis, analitis dan sistematis, dingin dan berjarak.
Maka, lumayan canggung saya akhir pekan ini, menghabiskan perayaan lebaran 1430 Hijriyah di kota kelahiran saya, sesuai dengan tradisi. Mudik. Pulang untuk lebaran dengan pemikiran bahwa "mudik adalah tradisi" selalu membebani saya. Selama ini saya pulang untuk lebaran di rumah dengan satu motivasi: liburan dan pulang ke rumah orangtua.
Kemudian, selama mudik kali ini, sungguh terkejut saya ketika mendapati isi pikiran saya ternyata masih wacana tradisional: ingin dinikahi, ingin melahirkan anak sendiri, ingin mengurus rumah dan melayani suami. Pemicunya tentu saja interaksi dengan keluarga besar saya dan teman-teman sepantaran dari jaman sekolah di Surabaya. Ditambah dengan hormon (kambing hitam favorit saya), dan sepertinya dipicu juga dengan krisis usia (agak menyebalkan jika harus diakui, tapi terpaksa dimasukkan juga dalam daftar tersangka).
Ya tentunya saya masih punya banyak keinginan dan mimpi di luar hal-hal domestik tradisional itu, tapi kaget kan boleh-boleh saja. Saya agak kecewa karena ternyata saya masih termasuk mereka yang terjebak dalam sindrom dongeng putri raja (tujuan hidup: diselamatkan pangeran tampan dari kehidupan yang keras, menikah, dan bahagia sampai akhir hayatnya). Selebihnya saya pasrah, karena memang beginilah saya, tradisional. Heh, curiganya saya berhasil melewati berkali-kali gegar budaya sejauh ini justru karena saya ini tradisional.
Ibu saya mungkin akan merasa lega karena selama ini ia seringkali merasa gagal mendidik saya jadi wanita, wani ing tata. Di matanya dan mata banyak orang sejauh ini, saya seringkali berhasil kabur berkelit dalam hal keberanian untuk menata hidup saya sendiri (apalagi kalau harus menata hidup orang lain, AHAHA!). Tapi ternyata tidak. Ternyata saya masih Jawa. Masih perempuan. Saya menyadarinya, dan masih bisa berusaha berpikir di luar kerangka tersebut. Jadi, saya akan baik-baik saja. Masalahnya hanyalah, saya tidak tahu harus mulai bercerita dari mana pada beliau.
NB: Nanti, saya ingin menamai anak saya Salvation, lalu kalau dia perempuan, tidak akan saya biarkan dia membaca dongeng-dongeng putri raja yang menyesatkan itu.
Comments
Hormonlah! Hormonlah penyebabnya! ahahahah!