Bordir Perempuan Persepolis yang Hidup di Masa yang Sangat Menarik


Mari kita mundur ke suatu hari di tahun 2004, saat gue lagi menyatroni kamar kosan si Onyit kecil buat nagih jatah keamanan (kehkehkeh) dan di atas karpet lantai kamarnya tergeletaklah sebuah buku berjudul Embroideries. Hmm, benda apa ini?


Halaman-halaman buku itu berisi gambar-gambar minimalis yang sepertinya digambar memakai kuas, mirip seperti ilustrasi. Figur-figur tokohnya bernarasi dan berdialog dengan balon percakapan, seperti komik tetapi tanpa garis panel seperti pada umumnya komik yang eke kenal. Dalam bahasa Inggris, ia berkisah tentang kehidupan perempuan di sebuah negara yang sepertinya penduduknya mayoritas Muslim dan pemerintahannya cukup opresif (belakangan baru ngeh kalo negaranya adalah Iran). Pengarangnya Marjane Satrapi. Oh! Perempuan! India? Pakistan? (Iran, bert) Dan ia menggambar sendiri semua 'ilustrasi' itu. Keren sekali!

Sekitar beberapa pekan kemudian barulah gue untuk pertama kalinya mendengar istilah "Graphic Novel" atau "Novel Grafis". Hmm, benda apakah itu? Berikut kata om Wiki:

"The evolving term graphic novel is not strictly defined, and is sometimes used, controversially, to imply subjective distinctions in artistic quality between graphic novels and other kinds of comics. It suggests a story that has a beginning, middle and end, as opposed to an ongoing series with continuing characters; one that is outside the genres commonly associated with comic books, and that deals with more mature themes. It is sometimes applied to works that fit this description even though they are serialized in traditional comic book format. The term is commonly used to disassociate works from the juvenile or humorous connotations of the terms comics and comic book, implying that the work is more serious, mature, or literary than traditional comics."

Tahun lalu di lapak DVD bajakan mulai beredar film animasi Persepolis, adaptasi dari graphic novel berjudul sama yang dibuat oleh Marjane Satrapi juga. Bukunya gue sempet baca juga sekilas waktu lagi browsing-browsing di Aksara. Tahun lalu juga anak-anak TWC sempat nonton film ini buat diskusi. Gue sendiri udah beli DVDnya dari bulan Januari tahun ini. Bajakan tentu saja. Ahahaha. Maap ya mbak Marjane.


Baru tadi sore, sambil tarik nafas sesudah bersih-bersih dan mencuci baju, gue berhasil nonton Persepolis. Ceritanya sama dengan bukunya tapi dengan runutan narasi yang berbeda.



Karena kisahnya berupa auto-biografi, dari kehidupan Satrapi sendiri, otomatis membuatnya menjadi menarik. Bagaimana seorang anak, yang keturunan bangsawan Iran sebelum digulingkan oleh Shah, menghayati hidupnya di bawah masa-masa kritis dan krisis di Iran. Anak itu dibesarkan di sebuah negara yang menekan dan mengekang kebebasan rakyatnya melalui berbagai cara, yang sukses membuat rakyatnya lupa pada "sejarah" dan "buta" atas kenyataan di sekelilingnya. Untungnya si anak dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang cukup kritis, dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menarik, dan menghasilkan kemampuan untuk mempertahankan semangat 'pemberontakan'-nya. Bagaimana anak itu mendapatkan identitas dirinya, bertumbuh dewasa di negeri orang yang sangat berbeda dengan tanah airnya, mempertanyakan kembali identitas dirinya, lantas menemukan dirinya kembali, terus hingga berkali-kali. Si anak itu, Marjane Satrapi, dikutuk untuk hidup di masa yang sangat menarik.



"Kenapa ini tulisannya salah? Mestinya Dead!"
"Maaf, Bu, saya bikinnya manual, pake spidol."

Lapisan ketebalan warna film ini sangat kaya walau warna yang digunakan hanya hitam dan putih (dan berbagai derajat bayang keabuan), dan mampu memberikan kesan penuh warna meskipun terbatas pada kontras gelap-terang. Yang lebih istimewa adalah animasinya yang hitam-putih itu dirender manual dengan tangan, sebuah teknik pengerjaan film animasi yang sebetulnya sudah lama ditinggalkan di Perancis, negara tempat Satrapi bermukim dan bekerja saat ini. Karena dirender dengan tangan menggunakan drawing pen, mereka harus sangat berhati-hati agar garis yang dihasilkan konsisten ketebalannya. Sedangkan untuk satu detik gambar saja dibutuhkan sekitar sepuluh frame, alias sepuluh lembar gambar yang serupa tapi tak sama, jadi bisa dibayangkan itu merendernya seperti apa. Keterangan ini disertakan dalam DVDnya sebagai bonus, membuat gue makin menghargai kualitas film ini. (Spirited Away-nya Hayao Miyazaki juga dikerjakan studio Ghibli dengan teknik animasi yang serupa, ah jadi pengen nonton itu lagi)

Ketika akhirnya film sudah selesai, dan semua bagian bonus filmnya juga sudah selesai ditonton, oh ternyata malam sudah menjelang. Gue jadi telat mandi gara-gara terhanyut dalam cerita Marjane Satrapi. Hehehek.

Kalau penasaran seperti apa buku novel grafis karya Marjane Satrapi, hampir semua bukunya tersedia sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di toko-toko buku besar di Indonesia. :)

Comments

andika said…
Mira, buku ini juga pernah dibahas Erick dan Niken pas acara sky book club jaman dulu, loh..
M. Lim said…
Ohk, aku lupaaaaa... ha ha ha...
Tapi ini ngomongin filmnya sih sebetulnya...hihihi
Diane said…
Oh my, Persepolis was soooooo good!! I have yet to watch the film but I hear it was pretty well done. I can't read your post but have you seen the film?

It makes me happy to know that you like reading comics!

P.S. I know this is a late-ish reply to a question you had asked me on my blog but I think batik prints can be beautiful when they're done right. I think I only have the one dress that's kinda batik print-ish but it's usually very hard for me to pull it off.

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa