Angels and Demons and Cans and Cans of Beer



Akhirnya setelah gagal dua kali, tadi menonton Angels and Demons di bioskop. Padahal rencananya hari ini nonton Terminator. Tapi ya sudahlah. Sudah resiko datang telat. Toh saya memang pengen nonton film ini semenjak minggu lalu.

Angels and Demons diangkat dari buku yang berjudul sama, yang ditulis oleh Dan Brown. Buat yang belum tahu Dan Brown itu siapa, silahkan meluncur ke situs Wikipedia dan mencari informasi mengenai beliau. Buat yang sudah pernah menonton atau membaca The Da Vinci's Code, film ini masih berhubungan erat dengan cerita Da Vinci's Code.

Pertama, tokohnya masih sama, Robert Langdon. Seorang profesor ahli simbol dari universitas Harvard yang agak-agak ngocol (kalau di bukunya).

Kedua, sebetulnya novel Angels and Demons ditulis dan terbit lebih dulu daripada Da Vinci's Code. Samar-samar saya bisa menebak kenapa di Indonesia versi terjemahan buku ini diterbitkan justru sesudah Da Vinci's Code meledak di pasaran dengan segala kontroversinya. Rupa-rupanya Hollywood pun menerapkan strategi yang sama dengan membuat film ini justru sebagai sequel dan bukannya prequel.

Seorang teman yang juga sudah baca bukunya dan nonton filmnya, mengeluh tidak ada tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang menurutnya penting dalam adaptasi filmnya. Dia juga menyayangkan peran Vittoria Vetra, si tokoh utama perempuan, yang menurutnya dikecilkan. Waktu dia mengeluh-ngeluh begitu saya belum nonton filmnya, jadi nggak bisa berkomentar. Lagipula, saya sendiri hampir lupa detil cerita dalam bukunya seperti apa.

Nah, sekarang saya bisa berkomentar. Sekaligus untung sekali saya membaca Angels and Demons di masa saya rajin sekali membuat resensi dari setiap buku yang saya baca. Buku tersebut saya baca bulan April 2005. Catatannya saya unggah di Goodreads.com dan bisa dibaca dengan lengkap di
http://www.goodreads.com/review/show/2393417.

Jika didasarkan pada catatan yang itu, saya nggak punya banyak keberatan pada versi adaptasi Ron Howard ini. Tom Hanks tidak lagi nampak aneh dengan rambut gondrong bak hasil rebonding gagal di salon Dao Ming Tse. Semua kejadian penting yang diperlukan untuk membuat cerita bergulir tetap ada dalam film. Howard bahkan membuat Vittoria Vetra nampak sangat manusiawi dan alamiah ketimbang versi bukunya.

Ya, saya samar-sama ingat kenapa saya menuliskan, "
Vittoria Vetra yang entah kenapa lebih terimajikan sebagai Lara Croft berwajah Italia; khas tokoh game RPG dengan ketangguhan fisik dan keunggulan mental yang tidak manusiawi. " Tokoh perempuan yang digambarkan sangat cantik dan berotak sangat encer ini oleh Dan Brown dibuat sangat mandiri, enerjik, mampu melakukan aksi-aksi stunt-nya sendiri. Vittoria Vetra versi buku sebetulnya tidak terlalu membutuhkan orang lain (kecuali Langdon, karena dia tokoh utamanya).

Howard mengurangi bagian aksi fisik Vetra dalam film. Vittoria membantu Langdon dalam memecahkan berbagai teka-teki tetapi tidak lantas bergelantungan di tali menantang bahaya seraya menghunus belati dan mengokang senjata. (Hehe, ini agak berlebihan, seingat saya di bukunya juga dia nggak secara literer menghunus belati dan mengacung senjata terkokang sambil gelantungan... ah nvm.) Di buku, ada semacam saling goda-rayu antara Vetra dan Langdon, yang tidak ada di filmnya. Tidak masalah, ini tidak mengganggu inti cerita.

Perubahan lain adalah bentuk logo Illuminati yang dicap ke badan sang Camerlengo. Di buku, segel kelima dan terakhir Illuminati berbentuk belah ketupat dan seingat saya cukup rumit (Dan Brown menyertakan gambarnya dalam buku). Dalam film ini simbol terakhir berbentuk dua kunci yang bersilang, yang dapat ditemukan juga dalam simbol Vatikan. Baiklah, perubahan ini juga tidak mengganggu inti cerita. Teruskan kerjamu, Howard!

Howard juga memodifikasi tokoh Camerlengo, yang menurut catatan saya di bukunya, "
...bernama tampan Carlo Ventresca dan juga digambarkan sangat rupawan secara fisik, yang setengah jenius setengah gila, ... ". Di film ia bernama Patrick McKenna, seorang Irlandia fanatik, dan diperankan oleh Ewan McGregor (yang orang Skotlandia). Entah kenapa dimodifikasi, tapi masih senada seirama mengingat bahwa sama seperti orang Italia, betapa seringnya orang Irlandia digambarkan sebagai penganut Katolik yang fanatik. Kalau di Indonesia mungkin sama seperti ketika orang menggambarkan mayoritas orang Madura sebagai penganut Islam yang fanatik.

Modifikasi berikutnya yang agak lemah. Di buku sang pembunuh bayaran yang menculik dan menghabisi keempat kardinal preferiti digambarkan Brown sebagai seorang penganut kepercayaan lama, Hashis, sehingga karenanya disebut Hassasin (assasin). Di buku sang Hassasin ini memang agak rasis digambarkan sebagai keturunan arab, dan kemungkinan besar berlatarbelakang muslim, serta memiliki kecenderungan sadistik mematikan karena fanatisme buta membuatnya bisa diperalat.

Howard, mungkin karena ngeri pada legenda FPI yang termahsyur hingga ke mancanegara, membuat sang Hassasin menjadi seorang kaukasia tak bernama yang tampangnya membuat saya menebak pastilah ia orang Jerman atau semacamnya. Dan motivasi sang Hassasin dalam film digambarkan condong kepada fanatisme terhadap uang. Dialog-dialog sang Hassasin dalam film tidak memberikan petunjuk pada apapun yang spesifik mengenai motivasinya melakukan pembunuhan selain imbalan uang, dan justru mengesankan tokoh ini sebagai agnostik. Sayang sekali, padahal Brown menjelaskan secara mendetil mengenai legenda Hassasin ini dalam bukunya. Tapi ya sudahlah, meskipun modifikasinya lemah, tetapi sesungguhnya tidak terlalu mengganggu jalannya cerita dalam film. Si pembunuh tetap menjalankan peran dan tugasnya secara super duper efisien. OWRAIT!



Okelah kalau begitu.

Film memuncak menjadi klimaks dengan ledakan di langit Vatikan. Lalu tensi menurun... lalu, eh tidak juga, ada lagi klimaks kedua, .... yang mana sebelum sampai pada klimaks kedua ini si Manyun pamit ke kamar mandi karena kebelet pipis (siapa suruh ngabisin bir banyak-banyak, huh!). Dia nggak balik sampai film selesai. Heh. Jadi saya merasa berkewajiban menceritakan penutup film itu. (itu sih guenya aja yang bego... hhhh)



Di perjalanan kami pulang si Manyun mengeluhkan plot film yang menurutnya bergulir terlalu lambat. Capek. Bosan. Oke deh, Mister. Memang tadinya dia pengen nonton Terminator saja, dan dibandingkan dua film yang kami tonton sebelum ini (Crank2 dan Night at the Museum 2), Angels and Demons memang seperti siput di hari hujan.

Putusan akhir: Sama seperti putusan akhir saya untuk novelnya,
I was not illuminated. Lumayanlah buat hiburan, tapi gak usah nonton di bioskop kalau lagi nggak pengen buang uang.

Comments

Bang Mupi said…
gua sih lebih suka film ini daripada Terminator Salvation. Dimana TS hanya keren dan seru di awal tapi membosankan di pertengahan film sampai habis.

Salam kenal :D

Saya suka tulisan anda.
Nia Janiar said…
Waaah, gue gak baca bukunya nih yang ini. Jadi enggak banyak komplen begitu keluar bioskop. Hehe.
natazya said…
gw ga nonton film ini... kayanya kalau ga baca buku akan ga ngerti karna seperti biasa pasti banyak detail yang dilupakan sebagaimana umumnya tie-in movie jadi mending ngga deh...

terminator juga ga terlalu "jedang" gimana...

heum... tahun ini menaruh harapan besar pada transformer dan harry potter! :p

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again