This is How We Travel!

Gue adalah mahluk pemabuk. Gampang banget mabuk kendaraan. Moda transportasi yang paling sering digunakan untuk perjalanan jarak jauh adalah kereta api. Kalau pake bus... ha ha ha... pasti huek. Kalau naik pesawat, urm... ga punya uang.

Terus terang gue hampir tidak pernah pakai kelas eksekusi kalau naik kereta. Kalau buat yang itu, bisa tanya Lioni gimana rasanya. Untuk perjalanan ke arah Timur kali ini gue naik Senja Utama Yogyakarta, kelas bisnis yang berangkat dari Stasiun Pasar Senin pukul 19.20. Kalau perekonomian memadai biasanya gue lebih milih Eksekutif Gajayana, yang berangkat dari Gambir jam 5 sore. Tapi long weekend menyebabkan harga yang berlaku adalah harga terjauh, setara dengan perjalanan Gambir - Malang. Bokek lah hay.


Entah kenapa, kemarin Senja Utama Yogya penuh sesak, terutama gerbong 3 yang gue tumpangi. Masa karena long weekend? Saya pernah pulang dengan kereta Bisnis menjelang long weekend, dan tidak sepenuh kemarin.

Benar-benar penuh!

Ini orang, bukan pindang. Masih hidup, bukan mayat. Lagi tidur, bukan pingsan.

Sambil berharap cemas, gue berdoa semoga tidak mendung atau turun hujan. Kalau mendung biasanya udara menjadi berat dan gerah. Pasti tersiksa di dalam gerbong berkipas angin minim, terutama sampai dengan stasiun Cirebon. Kalau hujan akan lebih parah lagi karena otomatis semua jendela akan ditutup dan jelas ini memperkeruh suasana. hehehe.

Doa terkabul. Sampai dengan stasiun Tugu di Jogja, cuaca bersahabat. Sejuk selalu.
Untungnya lagi dalam gerbong gue isinya mayoritas bapak-bapak. Aromanya memang agak acem aneka rupa, tapi lebih baik daripada segerbong isi bayi-bayi dan anak kecil. Perjalanan lama dan berjejal akan bertambah senewen dengan tangisan dan rengekan anak kecil.
Fotonya blur, tentu saja. Keretanya goyang-goyang dan gue agak segan pakai blits motret orang yang lagi tidur.

Yang bikin takjub adalah para pedagang yang sungguh gigih melewati lautan orang terkapar, dan kemudian bencong Wates yang tetap bernyanyi merdu sambil melewati lautan orang yang terkapar itu tadi. Takjub karena kemaren lautan pindang itu bener-bener padet sesek maknyus.

Es, es, es campurnya..

Tahu, tahu, lontong telur puyuh...

Karena nggak bisa bergerak, maka minum cairan pun dikit saja biar nggak kebelet pipis. Bordes penuh orang. Masuk wc juga pasti susah dan entah baunya udah kayak apa. Karena alasan ini gue jarang naik kereta eksekusi. Gue bukan orang yang rewel perkara buang hajat, tapi kadang fasilitas urinoir di kereta api suka nggak manusiawi dan bikin ilfil.

Sepanjang jalan karena mati gaya dan belum juga bisa tidur akhirnya gue nulis jurnal lumayan banyak. Ajaibnya nggak pusing! Biasanya baca - nulis di kendaraan udah bikin mual-mual dan pusing. SMSan aja kadang jadi mabok. Tadinya sempet keukeuh dengerin radio, tapi selepas Tangerang memutuskan buat menyerah kalah dan beralih ke jurnal itu tadi.

Pas lagi motret-motret di atas itu seorang bapak-bapak (sok) ceria yang mukanya kena kaki pedagang liwat beberapa kali karena dia rebah di lantai sebelah kursi gue, nyeletuk, "Pemandangan baru ya, difoto-foto?" Gue cuma ketawa. Dalam hati gue peh balik, "justru karena gue udah pernah tau rasanya duduk di lantai sabab keabisan tiket duduk, makanya gue bisa duduk di kursi sekarang gini, pak. Belinya 3 minggu sebelumnya gitu lhoooo...."

Perjalanan kereta api nan eksotik begini pasti nggak bakalan ada di New York. Hahahaha

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa