Sastra dan (/di?) Ruang Kota


Nama acara tersebut adalah Sastra di Ruang Kota.

Undangan acara tersebut berbentuk kartu pos berwarna cerah, dengan kutipan teks yang cukup provokatif, dibagi-bagikan oleh seorang pria yang terkenal banyak mengenakan aneka rupa kalung di lehernya. Meskipun pria tersebut terkenal saya tidak tahu namanya, juga pacar saya selalu lupa nama pria itu namun ingat bahwa dia konon bekerja untuk Antara. Undangan memberi tahu acara diadakan di Taman Menteng pada hari Sabtu pukul 4 sore. Ada iming-iming berupa 300 helai kaos yang akan dibagikan gratis kepada 300 orang yang hadir awal ke acara tersebut.

Sementara, teks yang provokatif dalam kartu pos tersebut adalah karena ia merupakan kutipan dari Misbach Yusa Biran yang pada tahun 1971 sepertinya pernah menuliskan sebuah kalimat dalam karyanya yang berbunyi "Kalau Bung seniman, jangan tinggal di kampung." Tentunya ia menjadi provokatif karena kartu pos yang saya ceritakan ini disebarkan pada malam pembukaan pameran Bandung Art Now yang tentunya penuh dengan seniman.

Tadinya saya tak berniat untuk datang ke acara tersebut, meskipun kartu posnya saya simpan. Kemudian saya ingat beberapa hari sebelumnya seorang teman memasang pengingat untuk acara ini di akun multiplynya, tentu tanpa kutipan provokatif. Saya bertanya untuk memastikan. Ternyata teman saya yang lain juga berencana datang ke sana. Acaranya pada akhir pekan dan tampaknya lebih menarik dibandingkan pergi ke mall. Ya, meskipun saya tahu bahwa Taman Menteng itu perbandingan antara cor-coran beton dan pepohonan adalah 50:50, bukan jenis taman yang total ijo royo-royo bin sejuk. Lagipula saat itu Jakarta sering diguyur hujan terutama di sore hari.

Saya memutuskan untuk jadi datang bukan semata-mata karena iming-iming kaosnya, tetapi juga karena pada akhir pekan tersebut Bert datang ke Jakarta dan salah satu agenda acara kami adalah mengunjungi GNI untuk melihat pameran seni rupa. Sastra di Ruang Kota sangat pas diletakkan di slot kegiatan berikutnya karena dari GNI kami tinggal naik Kopaja 20 satu kali ke Taman Menteng, dan dengan prakiraan bahwa acara akan berlangsung sampai matahari terbenam, maka di slot kegiatan berikutnya kami menjadwalkan makan di Menteng sebelum pulang.

Di hari yang ditentukan sebetulnya kami sampai di Taman Menteng terlambat dari jadwal yang dituliskan dalam undangan. Dalam bayangan di kepala, 300 orang lebih mestinya telah memadati taman tersebut. Tapi ternyata kami disambut ... oleh antrian yang panjang meski tak meliuk. Antrian tersebut bermuara di dua buah meja panitia di mana nampaknya kami harus mengisi semacam buku tamu, lalu kami bisa mendapatkan kaos gratis yang diimingkan dalam undangan. Karena antrian terdiri dari 3 baris, kami mengantri berpencar-pencar. Saat mengantri saya mengenali beberapa orang, teman dari Bandung. Ah, sepertinya memang jodoh kami untuk selalu ketemu di acara-acara macam begini nggak di Bandung ya di Jakarta, perjodohan yang sedikit basi. hahaha.

Sesudah lepas dari antrian kami membandingkan goodie-bag yang kami dapatkan. Saya mendapatkan kaos warna biru dengan sablon wajah Misbach Yusa Biran di bagian depan, dan di bagian belakangnya disablon kutipan kata-kata provokatif yang sama dengan di kartu pos undangan. Bert, bert dan Iie mendapatkan kaos putih yang sama; bersablon gambar wajah Goenawan Muhammad di bagian depan, dan kutipan dari beliau di bagian belakangnya. Dalam plastik bungkus kaus itu kami juga mendapatkan sekian jumlah stiker kuning bersablon berbagai kutipan tulisan sastrawan yang bertemakan kota Jakarta.

Panitia acara berkali-kali mengingatkan kami untuk memakai kaos-kaos gratisan tersebut dan "mewarnai" Taman Menteng. Ternyata kaos-kaos tersebut tidak hanya warna putih dan biru saja. Ada yang merah, hijau, dan saya lupa apakah oranye atau kuning ataukah itu seragam orang-orang yang sedang futsal di ujung sana? Saya tidak ingat sablon gambar wajah siapa sajakah pada kaos warna-warna lain itu, pun saya tidak tahu kutipan yang tertulis di bagian belakangnya.

Setelah memaksa kaus tersebut melar dan memakainya, kami duduk paling depan menghadap sebuah layar putih yang sudah terbentang layaknya gawang, dengan meja diatur di depan layar tersebut, berikut beberapa tiang mikropon. Menunggu.

Susunan acara seharusnya begini: Upacara berupa pidato pembukaan ini dan itu dari pejabat ini dan pejabat itu, lantas pembacaan puisi dan syair, lantas poetry battle atau yang sejenisnya, lantas layar tancap (ini menjelaskan gawang layar putih tersebut) mengenai muralisasi puisi (mu apa?), lantas acara berakhir.


Gerobak memberikan bajigur gratis yang langsung diserbu

Pada praktiknya yang terjadi hanyalah upacara berupa pidato-pidato, kemudian panitia mengingatkan untuk tidak buang sampah sembarangan. Silahkan ambil sendiri itu di kanan kiri tersedia gerobak makanan gratis. Ya, ya tentu saja langsung diserbu. Kemudian muncul seorang penyair membacakan puisi, kemudian panitia mengatakan bahwa rekaman tentang muralisasi puisi (mu apa?) itu tidak jadi karena alasan teknis. Baiklah, lalu berikutnya apa? Oh pembacaan puisi lagi dan cerita dari panitia yang menjelaskan apakah muralisasi puisi itu.

Jadi, acara Sastra di Ruang Kota ini merupakan rangkaian acara Jakarta Biennale, acara dua tahunan di Ibu Kota. Mungkin karena ketua DKJ, lembaga yang punya gawe menyelenggarakan Biennale ini, adalah Marco Kusumawijaya yang seorang arsitek, maka inilah dia acara yang menyatukan "Sastra" dan "Ruang Kota", di mana yang terakhir itu adalah wacana yang sudah digeluti Marco paling tidak setahu saya semenjak tahun 2004.


Dedengkot Sastra, coba tebak yang mana siapa


Lalu yang dimaksud dengan mu-apa-itu, adalah upaya menghias ruang publik dengan mural yang diilhami oleh tulisan-tulisan berbagai sastrawan. Panitia menyebutkan beberapa lokasi. Saya cuma pernah memperhatikan lokasi di samping Plaza Semanggi (diilhami tulisan Sitor Situmorang) karena setiap pagi saya lewati menuju kantor, dan saya pernah sekilas melihat satu lagi lokasi di depan TransTV karena saya pernah melewatinya menuju kantor sepulang menginap dari tempat bert di blok M.

Acara membaca puisi dimulai lagi sambil panitia mengingatkan untuk tidak buang sampah sembarangan di Taman Menteng.

Sepanjang pembacaan puisi, termasuk rapilisasi atau hiphopisasi (hihihi), yaitu musikalisasi puisi dengan dijadikan semacam lagu rap beriringkan musik hiphop, saya duduk termangu memandang latar belakang belantara beton Jakarta yang menjulang mengkhawatirkan. Setiap karya yang dibacakan, ada yang ditulis bahkan di tahun 70an, seakan semakin meyakinkan saya tidak cocok dengan kota ini. Saya tak nyaman dengan dinamikanya, tidak terlalu menikmati pemandangan lampunya di saat malam, tak suka baunya, tak suka bunyinya, bosan dengan pusat perbelanjaannya, muak dengan "kami bukan preman tapi kami pengamen jalanan", "buat sekolah mbak, buat makan" di angkutan umum dan di jalan-jalan.
Di dalam kepala saya bergaung-gaung: "ternyata sejak dulu pun [Jakarta] sudah seperti ini", dan "Ah, keterpaksaan. Keterpaksaan adalah basi!" Jieeeh....


Namanya Nova Ruth, rapilisasi dua syair ditemani iBook


Lalu karena sudah kehabisan acara, termasuk yang dibilang poetry battle tapi petarungnya cuma satu karena tidak ada penantang lagi--kami? Kami di situ untuk menonton-- panitia mengumumkan acara sudah usai. Silahkan hadirin --itu termasuk kami-- untuk tinggal dan berbincang dan menghabiskan makanan yang sudah tersedia tadi di kiri kanan -- "Sudah habis, kok". Jangan buang sampah sembarangan diulang lagi dua kali.

Kami duduk bengong. Jakarta masih cerah dan terang. Matahari saja belum tenggelam, dan acara sudah usai? Sial. Padahal agenda kami berikutnya adalah makan-makan di Menteng situ. Tapi hari masih seterang ini dan kami masih kenyang dari makan siang tadi. Level energi masih tinggi. Kami masih belum puas. Belum ingin pulang. Mau terus nongkrong di taman? Basi. Taman itu isinya lapangan cor-coran beton. Sebelah sana masih ada hehijauan tapi kurang menggairahkan.

Lho? Udah? gitu doang? Peh


Terlalu kreatif di saat bosan... hihihih

Maka inilah yang kami lakukan setelahnya: kami makan di Menteng itu sesuai agenda awal, lalu kami pergi ke arcade center di mall terdekat untuk bermain game sampai sekitar jam setengah sembilan, lalu kami pulang.

Upaya mendekatkan kaum Urban pada Ruang Kota dan Sastra : Coba lagi.


Photos: courtesy of Novani Nugrahani.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again