Nietszhe dan Gerombolan Piyik

Sekalian karena ada Bert datang berkunjung dari Bandung, pada hari Minggu tanggal 11 Januari saya datang lagi ke Galeri Nasional sekalian menemani Bert. Saya ingin menikmati Bandung Art Now dengan lebih tenang dan seksama.

Seperti yang sudah saya bilang, saya agak bingung melihat ada nama "pemain lama" yang nyelip di antara "gerombolan piyik". Selain GB, nama yang saya kenali adalah RE Hartanto--dikenal juga dengan nama pop Tanto, yang dua tahun belakangan ini melejit menjadi seniman berpenghasilan stabil dengan seri lukisan potret dan seri lukisan gambar-gambar berbau morbid--melibatkan tulang belulang berbagai mahluk.

Terakhir saya melihat karya Tanto secara langsung adalah di Galnas juga, dalam pameran Manifesto tahun lalu. Saya tidak hafal judul dan serinya, tapi lukisan itu BESAR, sekitar 2 meter panjang kanvasnya dan entah berapa lebarnya, dengan latar hitam menampilkan seorang penari Bali yang sedang histeris, mangap lebaaaar sekali.

Tentunya melihat nama Tanto di wall text, saya mengira akan melihat karya kanvas dengan tema yang sama; potret, orangnya mangap, ukurannya besar. Karena saya tidak menemukan karya kanvas Tanto di pembukaan malam Rabu itu, maka salah satu niat saya di hari Minggu siang itu adalah mencari yang mana karya Tanto.

Apakah terlewat? Kalau karya kanvas pasti ukurannya besar, masa bisa terlewat? Mungkin objek kecil? Seperti tryptich yang pernah dia pamerkan di Selasar Soenaryo? Tarikan kuas Tanto cukup khas, dan saya sudah pernah melihat cukup banyak karyanya untuk bisa mengenali yang mana kira-kira karya Tanto. Saya memeriksa semua karya kanvas, tapi tak menemukan karya Tanto...
Lho, yang mana sih?
Ternyata itu dia.... saya sudah melewatinya sekitar 6 kali, sempat memotretnya pula, dan nggak ngeh kalau itu dia yang saya cari-cari.

Halo, Keluarga Ranger. Apakah kalian sempat berfoto di depan karya ini? Pasti keren!

Kalimat itu sangat familiar tapi saya tidak ingat siapa yang mengatakannya.
"Itu kan Zarathustra" Lioni memberi tahu.
Ya, saya tahu Zarathustra. Itu nama anaknya Pam; Tristan Zarathustra.
"Quote Nietszhe, aku pernah pake di kaosku," kata omJ di telpon. Oh, makasih Om. Kapan bikin kaos lagi?

Saya nggak pernah baca Nietszhe.

Kembali ke karya RE Hartanto: berukuran besar, berwarna putih sama dengan tembok, secara visual karya ini tampak bagus, quotenya juga kedengaran keren. Jelas karya ini menjadi objek foto yang menarik, macam quote lirik lagu The Beatles di Hardrock Bali. Hari Minggu itu selain Iie, banyak krucil entah dari mana (curiga TPB IKJ atau anak SMA sedang fieldtrip) berfoto di depan karya Tanto dengan aneka gaya standar muda-mudi masa kini. Meski semua itu, entah kenapa saya merasa karya ini hambar saja.

Lioni lantas menceritakan penjelasan Tanto mengenai karya ini padanya.
"Biasanya di karya kanvas, selain tanda tangan Tanto juga nulis quote. Nah kali ini karyanya adalah quote itu sendiri."
Nice.
Ok.
Penjelasan ini masuk katalog nggak ya?
Ah, demn saya lupa, saya kan nggak dapet katalognya. Untung Lioni sempat menceritakan penjelasan senimannya.


Moral of this story:
Jikalau pergi ke sebuah pameran seni rupa dan tidak paham maksud sebuah karya, baca esai kuratorialnya (biasanya ditemukan di katalog). Kalau esai kuratorial gagal memberikan penjelasan dan pemahaman, tanya langsung ke senimannya atau kuratornya. Kalau penjelasan langsung dari seniman dan kurator tetap tidak dipahami, pasrah saja. Mungkin karya itu memang bukan buat konsumsi anda. Nikmati saja sebisanya.


Photo courtesy of Novani Nugrahani.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again