Merampok Konsumsi Pembukaan Pameran Seni Rupa di Jakarta Dalam Satu Pekan!


Selama satu pekan lebih saya menghadiri empat pembukaan pameran. Sebetulnya melihat pameran bukan pada saat pembukaannya juga lebih ideal karena tidak berjejalan dengan para undangan pesta pembukaan. Kelebihan datang pada saat pembukaan adalah katalog biasanya diberikan gratis. Kalau datang pada hari lain, belum tentu dapat katalog. Selain itu, biasanya karena banyak sekali media yang diundang, peraturan mengenai berfoto di ruang pamer sangat longgar. Jepret-jepret lebih leluasa.

Sembilan dan Putu Sutawijaya

Entah Kamis (20/11) atau Jumat (21/11) saya menghadiri dua pembukaan di satu malam. Yang pertama adalah pameran 4+5 di Roemah Rupa di Kemang. Pameran yang menampilkan karya 4 Seniman bandung dan 5 Seniman Yogya ini merupakan upaya pembacaan yang dilakukan oleh duo kurator Agung Hujatnikajennong dan Sudjud Dartanto terhadap seniman yang masih muda di dunia seni rupa Indonesia. Kebetulan sebagian besar seniman yang ditampilkan masih sepantaran, kecuali mungkin Roumy Handayani Pesona alias Roim dari Bandung, yang meskipun bergelut dalam dunia seni rupa sejak lama, baru dua tahun terakhir ini kembali giat berkarya.

Pada pameran tersebut saya tidak mengambil gambar. Ruang Roemah Rupa yang minimalis seperti terbebani karena harus memajang karya yang kebanyakan menggunakan medium kanvas dan berukuran di atas 1x 1 m. Karya Erik Pauhrizi yang berupa potret orang dengan wajah yang buram karena mukanya seakan-akan ditarik sebuah tangan bahkan agak susah dilihat dengan baik. Lampu display yang dipasang di langit-langit sepertinya terlalu dekat jaraknya dengan karya, dan pantulan cahayanya silau, membuat karya itu tidak begitu jelas dipandang kecuali kita bergerak menyesuaikan sudut pandang. Sayang sekali.

Katalog pameran ini berupa CD, tadinya saya berasumsi gambar karya bisa diambil dari sana untuk ilustrasi tulisan ini tapi katalog yang saya ambil buat saya sendiri akhirnya saya relakan buat Cucunguk Purba.

Tak berapa lama kemudian saya menumpang mobil orang dan pergi ke Galeri Nasional karena ada pembukaan pameran Putu Sutawijaya.

Putu Sutawijaya adalah seniman yang dari namanya saja tentunya berdarah Bali, tapi setahu saya beliau tinggal dan berkarya di Jogja. Termasuk dalam jajaran seniman yang sudah senior dan mapan, Sutawijaya memamerkan banyak sekali karya berupa kanvas berukuran besar-besar dan bernuansa sepia dengan sosok-sosok tubuh menari. Tetapi, saya lebih tertarik pada karya yang berupa objek.

Selain menggunakan besi, Putu Sutawijaya juga menggunakan resin untuk produksi ratusan sosok kecil berbentuk manusia bening tembus pandang dengan gesture menari dan memanjat.

Dalam kepala saya saat menyaksikan karya berjudul "Don't Know When to Stop" adalah: Lucu. Banyak sekali sosok manusia kecil tembus pandang itu seperti berlomba memanjati sebidang dinding di tengah galeri nasional dengan mengurut banyak utasan benang merah yang terjuntai. Saat saya melihat teks dinding yang berisi judul dan medium karya, di kepala saya terbersit: Resin kan bahan berbahaya?



Saya memperhatikan karya lain yang nampak lebih indah "Dance under the Moon". Ratusan manusia resin mini membentuk bulatan penuh seperti bulan kecil yang melayang di tengah ruangan. Cantik sekali. Dalam kepala saya masih bergaung "Resin... tapi ini resin".


Redy Rahardian

Pameran ini diadakan di Nadi Gallery. Tadinya nyaris batal ke sana karena saya tidak dapat tebengan, tapi ternyata bujuk rayu saya pada Dugong Ratu berhasil, dan saya pun nebeng taksi dia. Hore!

Saya tidak kenal Redy, sebelumnya, walaupun kalau melihat karyanya, pastilah ini bukan pameran dia yang pertama. Redy membuat patung. Patungnya bagus.


Patung-patung Redy terbuat dari besi, Sebagian besar terbentuk dari lempengan-lempengan yang nampaknya disatukan menjadi bentuk besar dengan menggunakan las.

Kurator pameran ini, Enin Supriyanto, memuji-muji ketekunan Redy mengerjakan patungnya. Enin juga menjelaskan panjang lebar mengenai sistem produksi patung, terutama yang bermedium besi dan logam, beserta teori-teori penjelas lainnya dalam katalog yang rapi dan cantik. Saya belum membacanya lengkap karena malas. Lagipula karya Redy cukup menarik untuk dinikmati tanpa memusingkan teori. Mungkin suatu saat nanti, ketika saya kehabisan bacaan, saya akan membaca tulisan kuratorial Enin dan kembali teringat pada patung-patung Redy yang sudah saya apresiasi dengan cara saya sendiri itu, lalu menjadi kagum kembali.


Saya dan Dugong Ratu merasa senang dengan pameran patung itu, walaupun kami tidak kenal siapa-siapa, meskipun kata pembuka acara dari Enin panjang sekali sampai kami bergoyang-goyang gelisah dan tidak nyaman, dan sekalipun kami tidak ikut meminum bir dingin yang segar dan tersedia bebas di garasi Nadi Gallery.


Aris Prabawa

Aris Prabawa yang akrab dipanggil Manyul adalah teman pacar saya. Manyul sudah lama tidak pameran, apalagi yang tunggal.

OmJ sudah lama mempromosikan tentang Manyul ini, tapi saya baru bertemu orangnya satu kali, dan saya cuma pernah lihat foto salah satu lukisan lamanya yang menggambarkan sebuah pohon besar. Saya sepakat detilnya menarik tetapi bukan selera saya.

Sembilan lukisan di atas kanvas dan satu objek patung dari alumunium buatan Manyul dipamerkan di Langgeng Icon Gallery. Saya menghadiri pembukaannya di Kemang hari Rabu tanggal 26 November sambil tidak enak badan. Kurator pameran ini adalah Hendro Wiyanto, salah seorang kurator senior di Indonesia.

Lukisan Manyul bukan selera saya. Ia membuat pose penunggang, dengan berbagai variasi hewan sebagai tunggangan, dan penunggangnya semuanya bersosok seperti manusia berjenis kelamin lelaki yang berbadan gemuk, mengenakan baju seragam penanda pegawai pemerintahan atau yang sejenisnya lengkap dengan topi, dan berwajah tengkorak. Masing-masing penunggang membawa objek mulai dari pedang hingga pulpen, dan tunggangannya pun berpakaian aneka macam: pakaian kantoran.

Perhatian saya langsung tersita oleh satu-satunya objek berukuran besar yang diletakkan di tengah. Detilnya menarik. Saya suka sarung tangan yang dipakai di kaki tikus itu. Tikus itu kelihatan keren. Ya, patung itu kelihatan sangar dan kickass!

Lalu saya kembali mengelilingi ruang pamer Icon Langgeng yang kecil dan terbatas itu. Setelah dua kali berputar-putar seperti orang bloon baru saya menangkap detil-detil kecil yang ada dalam tiap kanvas Manyul. Kemudian saya melirik teks dinding untuk mencari judulnya. Kemudian saya terpesona.

Segera saya sms pacar saya untuk mengabari saya sudah bertemu dengan Manyul dan menyampaikan salam darinya. Saya juga menuliskan dalam sms itu:
"Senang! Karyanya sudah bicara tanpa perlu bantuan tulisan kuratorial. Secara visual sudah menjelaskan seniman bereaksi terhadap apa dengan detil dan up to date. Memang tidak cocok untuk pajangan dinding, tapi berharga untuk dijadikan bagian pencatatan sejarah."

Ah, saya benar tidak berharap apa-apa saat datang di pameran karya Manyul itu. Tetapi saya pulang dengan merasa senang karena merasa bisa memahami apa yang bisa disampaikan Manyul tanpa sekalipun harus melirik isi leaflet katalog untuk membaca penjelasan dari kurator pameran.

Mengenai apa isi pemahaman itu, dibahas lain kali saja. Hari ini saya janji mau datang ke Sigi, ada pembukaan pameran Terra Bajraghosa. Kata Lioni makanannya enak. Saya lapar.

Foto-foto lebih banyak ada di sini

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again