Review Novel Orange

Orange Orange by Windry Ramadhina


My review



rating: 3 of 5 stars
Jujur saya sengaja mencari buku ini karena penulisnya adalah teman saya. Tebal cetaknya 286 halaman dan saya juga kenal editornya.


Hal yang paling melegakan buat saya adalah tidak dipasangnya endorsement di sampul belakang buku. Yang ada adalah potongan dari cerita di dalam novel ini, berbunyi sebagai berikut:

”Ia mengunci pintu di belakangnya, lalu bersandar lemas di sana. Sesaat, ia seolah dipaksa menyadari sebuah kenyataan. Konyol rasanya, bercinta dengan Diyan di dalam kamar yang penuh dengan kenangan mengenai Rera—siapapun dia. Ah, dirinya kesal setengah mati.”

Lalu di bawah paragraph itu adalah ringkasan pendek plot cerita novelnya:

“Faye ditunangkan. Tanpa dasar cinta, murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Diyan, adalah eligible bachelor yang paling diinginkan di Jakarta. Laki-laki yang tak bisa melepas kenangan masa lalunya dengan seorang model cantik blasteran Prancis.

“Harusnya hubungan mereka hanya sebatas ikatan artificial saja. Tapi cinta, ego dan ambisi yang rumit mendorong mereka ke situasi yang lebih emosional. Situasi yang mengharuskan mereka memilih dan melepaskan.

“Pertanyaannya: apa… dan siapa?”

Jujur lagi, ini yang membuat saya jadi rela membeli buku novel perdana Windry ini setelah berhasil menemukannya di antara novel popular lainnya di rak-rak buku Gramedia. Seandainya yang dipasang endorsement semata, atau sinopsis yang dicetak di sampul belakang itu basi, sungguh saya hanya akan menunggu sampai bisa pinjam saja untuk membacanya.

Mari kita mulai.

Novel ini bernuansa romantis dengan latar belakang budaya metropolis Jakarta. Plotnya standar saja sebetulnya, perjodohan anak-anak dua keluarga kaya di Jakarta, dan hubungan cinta segi empat antara Faye, Diyan, Rera si model, dan Zaki the prodigal child yang juga adik lelaki Diyan.

Setelah satu bab Prolog yang tidak menangkap perhatian atau meninggalkan kesan yang kuat, dan lima bab perkenalan yang terasa terlalu lah panjangnya, barulah cerita mulai mengalir dengan ritme yang lebih baik di bagian “1st Rendezvous”. Meskipun sudah ada bab perkenalan karakter, justru di bab inilah, melalui interaksi pertama mereka, karakter dua tokoh utama buku ini mulai terasa tiga dimensi dan menjadi utuh.

Dalam dialog antar karakter cerita yang berlatar belakang keluarga berada, berpendidikan tinggi, atau malah bukan orang Indonesia, Windry membebaskan diri menggunakan Bahasa Inggris. Percobaannya bisa dibilang berhasil seandainya saja bahasa yang digunakan tidak terlalu kaku. Contohnya: Seluruh percakapan yang terjadi antara Rera sang model blasteran, dengan Jean sang manajer berkebangsaan Prancis yang terjadi sepanjang bab “Intro: Rera”.

Saya tidak menemukan unsur yang berlebihan pada drama-dramaan cinta dalam konflik asmara yang terjadi antara Diyan dan Faye. Meski latar belakang hubungan antara karakter Faye dengan orangtuanya masih terasa samar untuk saya, tapi karakter Faye tetap utuh. Perihal latar belakang, menurut saya karakter Diyan justru lebih muncul ke depan dikarenakan masa lalunya yang hadir kembali dalam plot cerita, hal yang digunakan Windry untuk menambah bahan bakar drama cinta tadi.

Mengenai masa lalu yang hadir kembali, saya paling suka dengan adegan kilas balik yang diselipkan Windry dalam narasinya di halaman 148. Tanpa adegan ini karakter Rera hanya akan menjadi template dua dimensi pengisi ruang plot cerita saja.

Menurut saya, Windry belum sepenuhnya menggunakan kekuatan deskripsinya, tetapi setting yang ia gunakan untuk latar belakang adegan-adegan penting (misalnya: pertemuan pertama Rera dan Diyan, banjir di studio Faye di Kemang, pertemuan kembali Faye dan Diyan) ditulis dengan cukup baik sehingga membuat adegan tersebut terasa lebih realistis dan hidup. Klimaks cerita dan penutup kisahnya juga berhasil. Plotnya terolah dengan cukup baik sehingga saya bertahan membaca hingga tuntas tanpa dibuat mual dengan klise yang berlebih.

Tentang desain tampilan sampul depan novel Orange ini, berhubung saya pernah melihat ide desain yang awalnya diinginkan Windry, saya heran kenapa ide Windry tersebut tidak diwujudkan penerbitnya dengan lebih baik.

Akhirnya, Orange adalah novel romansa yang cukup manis. Dengan suntingan yang lebih baik novel ini bisa lebih maksimal dalam pengembangan karakternya.

Berapa bintang? Tiga dari Lima. Belum sampai tahap fenomenal tapi karya novel pertama ini membuat saya ingin mengikuti perkembangan Windry di novel berikutnya.

Rekomendasi: Kalau suka dengan romansa, Orange akan membuat senyum-senyum sendiri.

Warning: Sayang sekali kualitas cetakannya agak mengecewakan, jadi periksa dulu tiap halaman buku dan jangan langsung buang tanda bukti pembelian agar bisa langsung ditukar kalau ada halaman kosong seperti punya saya. Hiks.

View all my reviews.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa