Menjalani Hidup a la Aishwarya Rai Bachchan

Bisa dibilang saya ini menggemari Aishwarya Ray. Nah, kemaren si Lioni pulang dari India memaksa gue nonton pilem-pilem India. Salah satu yang udah gue tonton berjudul Om Shanti Om. Bintang utamanya Shahruk Khan. Pemeran ceweknya bernama Deepika Padukone, bintang pendatang baru yang masih super kinyis kinyis dan dikader sebagai pengganti Aishwarya di masa mendatang.


Deepika Padukone: asli cantiknya

Terus kenapakah "Life According to Aishwarya Ray"? Sesorean gue muter-muter di antara rak alat tulis di Gramedia Jl. Merdeka Bandung dan yang ada di kepala gue adalah kalimat itu. Terus menerus selama kurang lebih 90 menit.

Sebenarnya yang pengen gue tunjukin ada di bawah ini.

Potongan-potongan ini gue ambil dari majalah Visual Arts Anniversary Edition vol 25 no 25, Juni-Juli 2008.

Rubrik Tekstur, artikel Agus Dermawan T berjudul "80 Tahun: Penulisan Seni Rupa (di) Indonesia":
Kalau karya perupa ditakdirkan hidup terus melawan waktu, kiprah pemikir seni hanya dikenang bila didokumentasikan oleh (tulisannya yang dimuat di - red) media seni rupa yang sepesial dan bermutu.

Dalam rubrik Kritik, tulisan oleh Bambang Bujono berjudul "Pameran MANIFESTO: Sebuah Tawaran dan Beberapa Pertanyaan":
Pameran Manifesto saya pahami dari sudut pandang Affandi 54 tahun lalu . yakni yang kita perlukan adalah melengkapi dunia seni rupa kita yang pincang, Kalau Affandu 54 tahun lalu menyadari pentingnya prasarana seni rupa, apalagi di zaman internet sekarang.
Pluralisme itu tak akan bermanfaat bagi kita bilamana seni rupa Indonesia sendiri tidak berupaya mengangkat apa yang di bawah sadar itu. Mengangkat di sini bermakna majemuk: perumusannya termasuk dunia kritiknya; juga penampilannya baik dalam ruang pameran nyata maupun dalam ruang pameran berupa dokumentasi (media cetak--majalah, buku, rekaman), dan dalam dunia virtual--internet.

Rubrik Pasar, artikel Wiyu Wahono berjudul "Memilih Lukisan yang Baik":
Karena selera seseorang tergantung dari pengetahunannya, maka lamanya seseorang berkecimpung dalam dunia seni rupa tidaklah menolongnya untuk mencapai selera yang tinggi, jika dia selalu ignorant, tidak tertarik dengan pendapat orang lain dan tidak berusaha untuk selalu menambah pengetahuan dari narasumber yang mempunyai reputasi baik.
Rajin menghadiri acara pembukaan bisa menambah pengetahuan, asalkan penjelasan kurator didengarnya.
Seringnya seseorang mengikuti acara lelang hanya menolongnya dalam mendapatkan informasi harga dan bersosialisasi dalam dunia seni rupa, namun hampir tidak menolongnya mendapatkan pengetahuan tentang seni rupa yang lebih banyak. (Di samping itu, mengobrol dengan teman saat seorang kurator memberikan penjelasan tentang pameran, menunjukkan perilaku tidak hormat dan minimnya budaya seseorang)

Tulisan Amir Sidharta berjudul "Seni Rupa: harga, nilai dan makna" dalam bagian yang bersubjudul Nilai dan Makna:
Kita semua terpaksa menyambut gembira boom seni rupa yang kini sudah juga merambah ke pasar seni rupa kontemporer kita. Namun yang saya sayangkan adalah peningkatan harga begitu besar dan pesat sebenarnya tidak mencerminkan mutu karya yang berarti". (seorang perupa kontemporer Indonesia)
Tidak dapat disangkal bahwa permasalahan nilai dalam seni rupa Indonesia pada saat ini sangat ditentukan oleh teori ekonomi dan marketing. Hal itu diakibatkan apresiasi terhadap seni rupa didasarkan pada faktor investasinya ketimbang faktor artistiknya.
Sebelum nilai makna dari karya seni rupa dijunjung tinggi oleh para peminatnya, apresiasi seni rupa akan tetap saja hanya menjadi persoalan jual beli dan hanya memiliki nilai komersial yang bisa pula lenyap.
Adalah tantangan semua pekerja dan peminat seni rupa untuk bersama-sama meningkatkan apresiasi atas makna dalam seni rupa. Barulah kalau itu sudah terbentuk dan terbangun, akan kita lihat peningkatan mutu karya seni rupa kontemporer Indonesia yang berarti.

Rifky Effendy dalam reportasenya tentang CIGE di Beijing:
Pendapat kurator dan direktur Tang Contemporary Art Space asal Singapura Josef Ng, menilai bahwa banjirnya perupa dan galeri Indonesia di Beijing merupakan fenomena komersial yang perlu dibarengi dengan penggalian pemikirannya."
Ia menyebutnya dengan "a massive commercial invasion of Indonesian art in china art scene" Sayang bila serbuan ini hanya dari aspek komersialnya saja, perlu adanya pemahaman melihat praktek yang lebih mendalam.

--

Luar biasa mirip sekali kondisi dunia Seni Rupa ini dengan kondisi dunia Sastra.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again